Jakarta, CNN Indonesia --
Bagi Widianti Widjadja atau Oey Kiem Lian, meneruskan usaha batik warisan kakeknya, Oey Soe Tjoen, yang kini sudah menginjak satu abad adalah hal yang semakin menantang di era digital.
Bukan hanya karena zaman yang sudah sangat berbeda, tetapi ada yang lebih penting dari itu: langkanya para pembatik penerus dari generasi muda yang bisa sama kualitasnya dengan genarasi pendahulu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Batik Oey Soe Tjoen yang berasal dari Kedungwuni, Pekalongan, ini sudah menjadi salah satu jenama legendaris dalam industri batik di Indonesia.
Selama satu abad, usaha batik itu dikelola oleh keturunan Oey Soe Tjoen, yakni anaknya, Oey Kam Long, baru kemudian ke cucunya, Widianti Widjadja atau Oey Kiem Lian.
"Saya masih pakai pembatik yang di zamannya Papa. Mereka mulai bekerja di zamannya Papa semua," kata Widianti Widjadja atau Oey Kiem Lian saat ditemui di pameran batik Oey Soe Tjoen di Jakarta, beberapa waktu lalu.
"Ada beberapa generasi muda yang membatik, tapi standarnya tidak sesuai dengan apa yang saya inginkan. Jadi takutnya menurunkan standar," lanjutnya.
Widianti Widjadja atau Oey Kiem Lian, generasi ketiga pengelola batik Oey Soe TjoenPekalongan. (CNN Indonesia/Dyah Ayu Nurina Malinda)
Kesulitan Widianti tidak berhenti pada masalah menemukan pekerja pembatik yang sesuai standar, bahkan anaknya juga belum berminat untuk terjun ke bisnis batik ini.
Namun perempuan 23 November 1976 itu tidak menyerah. Demi menjaga cerita turun-temurun dan merayakan 100 tahun batik Oey Soe Tjoen, Widianti menggelar pameran di galeri Emiria Soenassa di Taman Ismail Marzuki pada 25 Juli - 3 Agustus 2025.
Dalam pameran ini, nama Oey Soe Tjoen dirayakan sepenuhnya. Nama Oey Soe Tjoen terpampang besar pada pintu masuk galeri.
Pameran 100 tahun batik Oey Soe Tjoen menampilkan kisah dan perjuangan batik Oey Soe Tjoen yang hingga kini masih teguh memegang teknik pembuatan batik tulis pada dua sisi kain. (CNN Indonesia/Dyah Ayu Nurina Malinda)
Pintu berwarna merah dengan motif batik itu menjadi pintu lapis pertama bagi para pengunjung pameran batik yang dibuka secara gratis tersebut. Setelah itu, pengunjung akan berdiri di depan pintu merah lainnya yang berornamen khas Cina sebagai pintu lapis kedua.
Ketika pintu lapis kedua terbuka, pengunjung dapat menelusuri beragam kain batik yang dipajang. Lantai 1 merupakan karya generasi pertama dan kedua, sedangkan lantai dua merupakan karya generasi ketiga atau era Widianti.
Pameran ini menampilkan kisah dan perjuangan batik Oey Soe Tjoen yang hingga kini masih teguh memegang teknik pembuatan batik tulis pada dua sisi kain.
Batik motif Dewi Kwan Im dalam pameran 100 tahun batik Oey Soe Tjoen.: (CNN Indonesia/Dyah Ayu Nurina Malinda)
Namun bukan hanya teknik membatik secara tulis yang membuat karya batik Oey Soe Tjoen terasa unik, tetapi juga karena memiliki corak yang kaya nilai budaya dan sejarah, serta komposisi gradasi warna nan rumit.
Demi mencapai kesempurnaan, batik Oey Soe Tjoen juga dihasilkan melalui proses pengerjaan yang memakan waktu rata-rata 3 tahun untuk setiap helainya. Berbagai keunggulan ini menjadikan batik Oey Soe Tjoen lebih dari sekadar kain, tapi sebuah mahakarya seni.
Hal itu lah yang membuat wastra adibusana ini tidak bisa sembarangan dibuat atau dibandingkan, apalagi dengan teknik massal secara cetak.
Demi mencapai kesempurnaan, batik Oey Soe Tjoen juga dihasilkan melalui proses pengerjaan yang memakan waktu rata-rata 3 tahun untuk setiap helainya. (CNN Indonesia/Dyah Ayu Nurina Malinda)
Sementara itu, di lantai dua atau era Widianti, terdapat batik dengan motif karakter komik asal Belgia, Tintin, dan beragam sosok terkenal lainnya seperti Nyi Roro Kidul.
"Sesuai dengan kondisi Ibu Widi, jadi ibu Widi penggemar Tintin. Centre piece ada tiga, yaitu Ratu Kidul, Dewi Kwan Im, dan Bunda Maria. Itu mewakili dia," kata ketua penyelenggara pameran, Damiana Widowati.
"Dewi Kwan Im karena dia peranakan Cina. Ratu Kidul karena dia tinggal di Jawa. Lalu Bunda Maria karena dia Katolik. Jadi centre piece itu adalah lambang dari bu Widi," paparnya.
Tak banyak yang diharapkan Widianti Widjadja dari pameran yang ditutup pada 3 Agustus 2025 tersebut, selain bahwa nama kakek dan ayahnya serta keluarganya ikut terpatri dalam ingatan kolektif bangsa Indonesia.
Ia juga sedang mengumpulkan tim yang bisa membantu untuk mendata karya batik Oey Soe Tjoen agar semuanya tercatat dengan baik.
"Saya ingin Oey Soe Tjoen walaupun saya nanti seandainya sudah tidak bisa meneruskan, masih ada jejaknya bahwa di Indonesia pernah ada batik Oey Soe Tjoen," kata Widianti Widjadja.
(end)