Jakarta, CNN Indonesia --
Komite Seleksi Oscar Indonesia (IOSC) menunjuk Sore: Istri dari Masa Depan sebagai wakil Indonesia untuk Piala Oscar 2026. Film itu terpilih bersaing masuk nominasi Best International Feature Film Academy Awards ke-98.
Hasil ini menjadi capaian baru bagi rumah produksi Cerita Films, Yandy Laurens, kru dan pemeran, serta pencinta Sore yang merasakan euforia sejak film itu tayang hingga mencetak tiga juta penonton.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, ada pertanyaan yang sulit terabaikan dari terpilihnya Sore: mau dibawa ke mana setelah ini, IOSC?
Pertanyaan itu bukan tanpa sebab. Sebelum Sore, IOSC tercatat 26 kali mengirim delegasi Indonesia ke Oscar. Namun, belum ada satu pun film yang tembus nominasi Best International Feature Film.
Indonesia sudah terpaut jarak dari negara Asia lain, seperti Jepang yang menang lima kali, Iran dua kali, atau Taiwan dan Korea Selatan yang menang satu kali.
Tetangga RI, Thailand, bahkan sudah mencetak sejarah baru saat How to Make Millions Before Grandma Dies masuk daftar pendek kategori tersebut--hasil yang juga belum pernah dicicipi Indonesia.
Komite Seleksi Oscar Indonesia (IOSC) menunjuk Sore: Istri dari Masa Depan sebagai wakil Indonesia untuk Piala Oscar 2026. (Cerita Films)
Peneliti film Hikmat Darmawan menilai ada hal yang lebih mendasar dibanding kualitas ketika berbicara soal melempemnya wakil Indonesia dalam Piala Oscar. Menurut Hikmat, kampanye menjadi aspek krusial yang belum diperhatikan sampai sekarang.
"Piala Oscar itu sebetulnya mekanismenya adalah polling anggota The Academy yang jumlahnya ribuan di sana. Dan itu biasanya butuh kampanye. Jadi, enggak hanya karena mutu filmnya," ujar Hikmat kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Kampanye menjadi kepingan penting yang dapat membawa sebuah film berbicara lantang di Piala Oscar. Aspek ini sudah teruji setiap tahun, hingga medan perang terpusat di bagian promosi dan iklan.
Keseriusan meracik strategi kampanye itu bahkan menjadi keharusan bagi film-film Hollywood yang notabene menjadi tuan rumah. Studio ramai-ramai melancarkan aktivasi supaya film jagoan mereka menarik perhatian anggota The Academy.
Sebut saja iklan di media Hollywood, pemutaran eksklusif di daerah basis anggota Academy, tanya jawab dengan sineas yang terlibat, hingga terus membanjiri media massa dan internet dengan konten seputar film tersebut.
Tujuannya juga jelas: memantik perbincangan di ruang publik, membangun citra positif mengenai film tersebut, dan memastikan jagoannya tetap menjadi top of mind para pemilik hak suara di Oscar.
Dengan begitu, bagi negara seperti Indonesia, keseriusan menyusun kampanye adalah suatu keniscayaan jika mau melangkah lebih jauh di Academy Awards.
"Saya tidak memperdebatkan mutu film yang dikirim. Peluangnya tidak dalam mutu filmnya, tetapi di dalam kampanyenya, seberapa serius kampanye di Amerika," ujar Hikmat Darmawan. "Kalau cuma hore-hore di Indonesia kan enggak ada pengaruhnya di sana."
Sudahkah terlambat untuk berkampanye?
Sore: Istri dari Masa Depan secara teknis masih memiliki waktu beberapa bulan untuk melakoni kampanye Piala Oscar. Namun, harus dipahami pula bahwa ratusan film lain juga semakin gencar berpromosi demi tujuan yang sama.
Hikmat juga menyoroti ada beberapa momentum yang sebenarnya bisa menggaungkan nama Sore di telinga anggota The Academy. Salah satunya gelaran festival film internasional yang menjadi ajang berkumpulnya kritikus dan sineas kancah global.
Sayangnya, nyaris semua festival film bergengsi, seperti Berlin, Cannes, Venice, hingga Toronto sudah digelar dan Sore tidak diputar di ajang tersebut.
"Kalau dari segi window time mungkin enggak [terlambat], tapi kita akhirnya urusannya misalnya dengan timeline sekian banyak film lain yang juga berebut kampanye di sana," ujar Hikmat.
"Biasanya, kalau mau serius itu ada beberapa festival internasional yang bisa menarik perhatian media besar di Amerika sebelum Oscar... dan kita sudah lewat," sambungnya.
Pengiriman film perwakilan Indonesia ke Academy Awards pada akhirnya hanya bak pepesan kosong jika tanpa kampanye yang memadai. IOSC perlu lebih serius dalam mendukung perjalanan film yang dipilih, seperti menggandeng distributor internasional dan menyusun strategi kampanye.
Hikmat bahkan menilai keseriusan komite perlu ditunjukkan sejak awal proses memilih delegasi. Menurutnya, film yang mewakili Indonesia tidak hanya butuh apresiasi di dalam negeri, tapi juga kesesuaian dengan ekosistem perfilman dunia.
"Enggak bisa nih gara-gara laku dan dianggap bagus di dalam negeri, terus ya udah ini aja. Itu kan kayak pemilihannya kayak metodenya asik sendiri," ujar Hikmat. "Sibuk sama dalam negeri doang gitu. Enggak mempertimbangkan ekosistem perfilman global."
(frl/end)