Review Film: Gowok, Kamasutra Jawa

6 hours ago 2

img-title Endro Priherdityo

Hanung Bramantyo ternyata memberikan lebih dari sekadar film dengan judul sangat kentara 'dewasa'.

Jakarta, CNN Indonesia --

Di balik judulnya yang bikin alis saya terangkat sebelah, secara mengejutkan saya menikmati cerita Gowok Kamasutra Jawa. Hanung Bramantyo ternyata memberikan lebih dari sekadar film dengan judul sangat kentara 'dewasa'.

Saya bisa mengatakan film yang digarap Hanung dan ditulis bersama ZZ Mulja Salih ini adalah film campuran sejarah, budaya, feminisme, dan thriller dengan kedok drama berjudul 'dewasa'.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tim penulis jelas bukan cuma membawa profesi gowok dan mengeksploitasinya sebagai bahan jualan, tetapi memberikan pengetahuan dan 'klarifikasi' terkait profesi yang sering disalahpahami dari sudut pandang masyarakat beragama.

Menariknya, pengetahuan akan profesi gowok tersebut disampaikan oleh penulis dan Hanung dengan cara yang mulus, tanpa harus membuat film ini terkesan menggurui atau pun terasa seperti film sejarah atau dokumenter.

Bahkan, falsafah di balik profesi ini juga disampaikan dengan baik. Sekaligus, memberikan jawaban mengapa profesi ini ada pada saat itu padahal kitab populer seperti Serat Centhini sudah eksis di masyarakat Jawa. Informasi latar belakang ini sangat penting untuk jalannya cerita, bahkan bisa mengubah sudut pandang secara keseluruhan akan ilmu gowokan dan profesi gowok itu sendiri.

Gowok Kamasutra JawaReview film Gowok Kamasutra Jawa: tim desain produksi, set properti, tata rias, dan wardrobe membuat film ini kental unsur budaya dan masa lampau. (dok. MVP Pictures/Dapur Film via IMDb)

Penonton yang benar-benar asing akan kebudayaan Jawa mungkin akan kesulitan mencerna atau mengingat sejumlah istilah yang dituturkan dalam film ini. Namun saya rasa itu tidak mengganggu jalan pemahaman akan cerita ini secara umum.

Selain dengan latar sejarah, film ini juga menunjukkan ciri khas dan kegemaran Hanung yang menyinggung isu sosial dan politik dalam sejarah Indonesia. Gowok Kamasutra Jawa mungkin bisa saya masukkan ke dalam daftar film yang 'Hanung banget' di antara berbagai filmografi sineas itu.

Satu hal yang saya suka dari film ini adalah nafasnya masih sejiwa dengan Tuhan, Izinkan Aku Berdosa (2023). Dibuat oleh sutradara pria, kedua film ini memiliki semangat feminisme yang cukup terasa meskipun bermain dalam ranah isu abu-abu dan bisa dimaknai secara berbeda.

Namun untuk Gowok Kamasutra Jawa, Hanung terlihat berusaha untuk lebih jelas dalam menunjukkan posisinya soal isu abu-abu itu dibanding film rilisan 2023 tersebut, yakni seperti dengan memperluas isu sosial yang berkaitan dengan perempuan pada masa cerita berjalan.

Satu sisi keputusan tersebut terkesan berlebihan karena membuat film ini melebar dari urusan per-gowok-an, seperti yang dikumandangkan dalam judulnya. Apalagi, Hanung menunjukkan kemampuan dan kekuatan perempuan itu dalam sejumlah cara yang bisa disalahartikan oleh mereka yang sensitif.

Namun sisi lainnya adalah, Hanung menyampaikan pesan pemberdayaan dan woman power ini menyesuaikan dengan latar waktu dan sosial pada saat itu supaya relevan. Sehingga memang akan agak sulit memahami narasi pesan itu bila menggunakan dengan kaca mata era modern.

Terlepas dari itu, tim penulis saya anggap mampu memadukan kompleksitas masalah lintas dekade dalam Gowok Kamasutra Jawa dalam satu rangkaian cerita, lengkap dengan berbagai kejutan di dalamnya. Yang jelas, Hanung tahu betul bagaimana kekuatan dari pillow talk.

Beruntungnya, Gowok Kamasutra Jawa juga dimainkan oleh para pemain yang memiliki kapasitas dan pemahaman yang cukup akan pesan-pesan tersirat Hanung ini. Tak perlu diragukan performa dari nama-nama besar dalam Gowok Kamasutra Jawa dalam membawakan perannya.

Namun saya ingin memberikan pujian lebih kepada duet Alika Jantinia dan Devano Danendra. Bagi saya, mereka adalah api yang membuat film ini penuh gairah, emosi, dan chemistry.

Satu sisi rasanya gemas melihat asmara pemuda era Indonesia baru merdeka, tapi sisi lain, keberanian keduanya untuk beradu peran dalam situasi yang berpeluh patut diapresiasi. Film ini memang menyediakan versi 17+, tapi saya tak yakin sensasinya akan sama seperti saat melihat versi 21+.

Selain itu, saya juga ingin memberikan salut kepada tim desain produksi, set properti, tata rias, dan wardrobe, yang membuat film ini kental unsur budaya dan masa lampaunya.

Gowok Kamasutra JawaReview film Gowok Kamasutra Jawa:Alika Jantinia dan Devano Danendra adalah api yang membuat film ini penuh gairah, emosi, dan chemistry. (dok. MVP Pictures/Dapur Film via IMDb)

Saya tak meragukan niat Hanung untuk membangun properti masa lalu seperti yang ia lakukan dalam Bumi Manusia (2019), dan sangat menyenangkan bila film-film lokal lainnya juga punya niat sebesar ini karena meningkatkan nilai ceritanya.

Hanya saja, sedikit catatan, tampilan dari set properti yang dibangun dalam Gowok tampak masih sangat baru dan kurang pemberian efek aging. Selain itu, lokasi gubuk juga tak logis karena berada di tengah aliran sungai yang jelas mencirikan jalur lahar gunung berapi.

Catatan terbesar saya dari film ini adalah soal komputerisasi dan efek visual. Saya merasa sangat terganggu dengan kualitas efek visual yang disajikan Gowok Kamasutra Jawa. Hanung rasanya belum memperbaiki kualitas efek visualnya setelah Tuhan, Izinkan Aku Berdosa (2023).

[Gambas:Youtube]

Untuk studio yang mampu mendirikan set properti masa lalu dengan cukup proper, rasanya ganjil bila memberikan efek visual komputerisasi yang kaku, out of date, dan terkesan tak sebanding dengan bujet produksinya. Apalagi pada era sekarang, AI sudah mampu menghasilkan gambar bergerak yang mirip dengan hasil manual.

Selain itu, saya juga memberikan catatan terkait tone warna yang digunakan dalam film ini. Jujur saja, sinematografi dan visual yang semestinya indah karena berisikan pemandangan alam, teknik pengambilan gambar berani, dan properti serta wardrobe cantik, harus ternoda dengan tone kuning macam pandangan orang demam serta saturasi mencolok mata.

Meskipun cerita film ini terbilang menarik, sayangnya penyuntingan visualnya tak berkata demikian. Padahal komposisi warna dalam properti dan lokasinya sudah on point. Efek visual, editing warna, hingga judul yang mestinya bisa lebih baik mengurangi keindahan autentik yang sebenarnya bisa jadi pendorong saya memberikan nilai penuh untuk Gowok Kamasutra Jawa.

[Gambas:Video CNN]

(end)

Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi