Jakarta, Gizmologi – Aksi demonstrasi di Indonesia telah berlangsung sejak 25 Agustus dan sejak itu lah terjadi tindakan represi digital. Sejumlah kota menghadapi gelombang demonstrasi yang mencerminkan keresahan mendalam masyarakat terhadap kondisi politik serta ketidakadilan sosial dan ekonomi di Indonesia.
Namun, dalam tindakan tersebut tetap diwarnai dugaan pelanggaran hak asasi manusia pada para peserta, dan berdampak pada hak-hak digital pengguna internet atau represi digital di Indonesia secara masif. SAFEnet melihat situasi di lapangan juga menunjukkan adanya praktik-praktik yang diduga melanggar prinsip kebebasan berekspresi di ruang digital oleh pemerintah dan platform media sosial.
”SAFEnet sebagai organisasi yang memperjuangkan hak-hak digital memandang situasi ini sebagai wujud nyata pembatasan kebebasan berekspresi, otoritarianisme digital, dan militerisasi ruang siber Indonesia,” kata SAFEnet dalam siaran rilisnya.
Baca Juga: YouTube Tanggapi Situasi Demo di Indonesia, Hapus Konten Pelanggaran
SAFEnet Tuntut Pemerintah Indonesia atas Represi Digital

SAFEnet mencatat beberapa represi digital yang terjadi selama beberapa hari ke belakang. Kejadian pertama ialah kriminalisasi terhadap Khariq Anhar, aktivis mahasiswa dari Universitas Riau. Ia merupakan pengelola akun media sosial Aliansi Mahasiswa Penggugat (AMP) dan ditangkap pada 28 Agustus 2025 di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta setelah melakukan kampanye mengenai aksi protes bulan Agustus melalui akun Instagram AMP.
Tuntutan kedua adanya represi digital dengan beredarnya kontak WhatsApp sejumlah pegiat koalisi masyarakat sipil yang secara keliru dipresentasikan sebagai milik sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Kejadian ini menimbulkan spam, pelecehan, sampai gangguan keamanan kepada mereka yang terdampak. Lebih lanjut, SAFEnet menemukan berbagai macam intimidasi secara masif di ruang digital mulai dari pengancaman, pengungkapan data pribadi, kekerasan berbasis gender online, dan berbagai serangan digital lainnya yang menargetkan individu-individu yang menyampaikan kritik di media sosial.
Lalu adanya gangguan terhadap akses internet dan informasi di ruang digital. Moderasi konten, pembatasan akses terhadap sejumlah fitur, dan pemadaman listrik yang terjadi di beberapa bagian wilayah Jakarta dan Bandung.

Selain itu, ditemukan represi digital di dugaan sabotase kabel optik server dengan pembakaran yang berpotensi mengganggu jaringan internet serta memengaruhi arus komunikasi dan informasi di Jakarta. Menurut SAFEnet, pola ini serupa dengan pola-pola gangguan akses internet pada sejumlah demonstrasi selama beberapa tahun belakangan, di mana peserta kesulitan untuk terhubung ke Internet selama aksi berlangsung.
Penangguhan fitur LIVE TikTok juga termasuk dalam pelanggaran yang dicatat organisasi ini. Platform ini telah menjadi saluran alternatif untuk mendokumentasikan jalannya demonstrasi di jalanan berbagai kota di Indonesia dan merekam tindakan brutal aparat penegak hukum, atas alasan keamanan.
”Penangguhan ini selain membatasi akses informasi dan komunikasi, juga berimbas pada aspek ekonomi, di mana pengusaha UMKM yang mengandalkan fitur siaran langsung untuk berjualan telah terdampak,” jelas SAFEnet.

Lalu juga adanya indikasi adanya operasi informasi yang bertujuan mengalihkan perhatian publik dari isu kekerasan polisi. Narasi yang disebarkan berupaya mengarahkan fokus massa untuk menyasar DPR, alih-alih menuntut pertanggungjawaban atas brutalitas polisi.
Pada saat yang sama, peserta aksi semakin sering dilabeli sebagai kelompok anarkis, sebagai upaya untuk mendelegitimasi tuntutan mereka. Selain itu, juga terdapat narasi hasutan untuk melakukan tindak kekerasan kepada etnis Tionghoa yang memunculkan trauma peristiwa 1998.
Menurut pantauan SAFEnet, militer juga tampak mencari panggung dengan adanya narasi dari sejumlah akun media sosial, termasuk @PuspenTNI, yang menyatakan bahwa Tentara Nasional Indonesia hadir sebagai penengah. Padahal, TNI tidak memiliki tugas pokok dan fungsi untuk mengamankan atau mencairkan suasana di titik-titik demonstrasi.

Terakhir, dalam daftar hal yang melanggar represi digital ialah dikeluarkannya pernyataan dari Kementerian Komunikasi dan Digital mengenai rencana pemanggilan perwakilan Meta dan TikTok pada 26 Agustus 2025 untuk mendiskusikan pemberantasan konten yang dilabeli pemerintah sebagai disinformasi, fitnah, dan ujaran kebencian (DFK). Hanya dalam beberapa hari, moderasi konten berlebihan (overmoderation) terjadi di platform milik kedua perusahaan tersebut, antara lain Instagram, YouTube, dan TikTok.
Sejumlah akun juga ditangguhkan dan banyak unggahan terkait kekerasan polisi diturunkan dengan dalih “penghasutan dan kekerasan”. Selain itu, beberapa pengguna X (Twitter) juga mendapatkan notifikasi permintaan penurunan konten dari Komdigi.
”Padahal, konten-konten yang disebarkan merupakan ekspresi yang sah, termasuk dugaan video perintah penembakan dari Kapolri terhadap massa aksi,” kata SAFEnet.

Di akhir siaran rilisnya, SAFEnet meminta beberapa pihak untuk mengambil tindakan dari daftar peristiwa represi digital tersebut. Pihak tersebut adalah pemerintah Indonesia, perusahaan media sosial, TNI, Komnas HAM, serta Komite HAM PBB.
“Demi memastikan keamanan dan keselamatan bersama selama aksi, kami juga mengimbau agar seluruh elemen masyarakat sipil untuk meningkatkan keamanan holistik, tidak terprovokasi oleh upaya yang berpotensi menciptakan konflik dan terus memantau perkembangan terbaru mengenai situasi hak-hak digital di Indonesia,” tambah SAFEnet.
Eksplorasi konten lain dari Gizmologi.id
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.