Selular.ID – Pengadilan tinggi India dilaporkan menolak petisi yang diajukan oleh X, perusahaan milik Elon Musk, yang menentang aturan penghapusan.
Hal ini menjadi pukulan bagi upaya platform media sosial tersebut untuk melawan pengetatan regulasi di negara tersebut.
Menurut Reuters, X mengajukan petisi terhadap pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi pada Maret lalu.
X yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter, menentang kewenangan pejabat pemerintah untuk mengeluarkan perintah penghapusan berdasarkan undang-undang tersebut.
Perusahaan media sosial yang berbasis di Bastrop, Texas, berargumen bahwa kasus tersebut merupakan pembelaan terhadap kebebasan berbicara dari penyalahgunaan digital yang inkonstitusional.
Namun, hakim senior M. Nagaprasanna menolak petisi tersebut, menyoroti perlunya kontrol daring yang kuat, terutama terkait konten yang berkaitan dengan keselamatan perempuan.
Nagaprasanna menekankan bahwa hak kebebasan berbicara harus dilaksanakan dalam kerangka hukum India, dengan menyatakan bahwa “kebebasan dibarengi dengan tanggung jawab dan hak akses membawa serta tugas akuntabilitas yang sakral”, lapor media berita lokal NDTV.
“Informasi dan komunikasi selalu menjadi subjek regulasi,” tambah Nagaprasanna.
Dalam kasus X, ia memperingatkan agar tidak mengimpor prinsip-prinsip peradilan AS ke dalam konteks hukum India.
Jauh sebelum gugatan yang diajukan oleh X, pemerintah India telah lama menegaskan bahwa pendekatan regulasinya mencegah penyebaran konten ilegal dan mendapat dukungan dari para pemain teknologi besar, termasuk Meta Platforms dan Google.
Ketegasan tersebut salah satunya tercermin dari larangan aplikasi dan platform sosial media yang berasal dari China. Seperti diketahui, India menutup puluhan aplikasi yang berasal dari negara itu pada Juni 2020.
Larangan itu juga mencakup TikTok yang sejatinya sangat digemari oleh warga India, terutama kalangan Gen Z dan milenial yang lekat dengan sosial media.
India menjadikan larangan itu dengan alasan keamanan nasional dan kekhawatiran tentang privasi data, yang muncul setelah bentrokan perbatasan antara India dan China di wilayah Himalaya.
Larangan ini bersifat permanen dan mengakibatkan hilangnya salah satu pasar terbesar bagi TikTok. Saat itu, India merupakan pengguna terbesar kedua TikTok setelah AS.
Di sisi lain, putusan terbaru terhadap X di India, menyusul tantangan regulasi yang dihadapi oleh platform yang kebanyakan disukai oleh political fans, baru-baru ini secara global.
Di Eropa, X kini sedang diselidiki atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Layanan Digital (DSA) Uni Eropa menyusul pengaduan dari sembilan kelompok masyarakat sipil yang menuduh platform tersebut mengaktifkan iklan bertarget berdasarkan data pribadi yang sensitif.
Di saat bersamaan, pada Juli lalu, X menolak untuk mematuhi penyelidikan kriminal di Prancis atas dugaan penyalahgunaan algoritma dan datanya, yang dalam sebuah unggahan di platform media sosialnya menyiratkan bahwa penyelidikan tersebut bermotif politik.
Selain India dan Eropa, X diketahui juga sempat berseteru dengan pemerintah Brasil.
Pada 31 Agustus 2024 Hakim Mahkamah Agung Alexandre de Moraes memerintahkan penangguhan platform karena Musk menolak mematuhi perintah pengadilan untuk menghapus akun penyebar disinformasi, khususnya puluhan akun sayap kanan.
Selain itu, X juga gagal menyebutkan nama perwakilan hukum di negara terbesar di Amerika Selatan tersebut sebagaimana diwajibkan oleh aturan hukum setempat.
Namun, larangan tersebut dicabut pada awal Oktober 2024 setelah X menyetujui untuk membayar denda dan mematuhi putusan pengadilan.
Tercatat, total denda yang dibayarkan oleh X mencapai lebih dari $5 juta (sekitar Rp76 miliar).
Baca Juga: Elon Musk dan Platform Digital Wajib Punya Kantor di Indonesia
Komdigi Hanya Bisa Gertak Sambal
Berbeda dengan Brasil, perlakuan Indonesia terhadap X bisa dibilang melempem. Jangankan menjatuhkan denda besar, memerintahkan agar platform media sosial itu untuk membuka kantor di Indonesia hanya sekedar wacana belaka.
Sebelumnya, pada 2024, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) – kini Komdigi – mempertimbangkan untuk memblokir aplikasi X, jika tak kunjung membuat kantor representatif atau kantor perwakilan di Indonesia.
Pertimbangan blokir juga datang dari sikap X yang tidak kunjung bersikap tegas terhadap konten-konten yang berbau pornografi.
Kominfo menilai, bahwa peredaran konten yang memuat pornografi sangat massif terjadi di X. Kementerian itu meminta agar X bersedia menghapus konten-konten dewasa agar ruang digital tetap sehat, terutama menjaga generasi muda dari paparan konten negatif.
Sebagai bagian dari regulasi, Menkominfo (saat itu), Budi Arie Setiadi mengatakan bahwa pihaknya mendorong agar Elon Musk membangun kantor perwakilan X di Indonesia. Terlebih, X memiliki puluhan juta pengguna di Indonesia.
“Ya nanti ini kita juga (dorong X membuat kantor perwakilan di Indonesia), ini kita lagi diskusi, kan nggak boleh dong dia beroperasi di Indonesia, tetapi nggak ada perwakilannya, benar nggak?” kata Budi saat ditemui di Media Center Kemenkominfo, Jakarta, Kamis (3/10/2024).
Budi menjelaskan, dengan tidak adanya kantor perwakilan X di Indonesia, membuat Kemenkominfo membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk menangani masalah di platform tersebut, salah satunya terkait konten pornografi.
“Karena itulah kita juga berharap ada kesadaran dari teman-teman dalam mengkonsumsi platform sosial media, seperti X,” imbuhnya.
Untuk itu, Budi menyatakan bahwa Kemenkominfo akan melakukan pembenahan terhadap X agar segera memiliki kantor perwakilan di Indonesia.
“Dia harus punya perwakilan di Indonesia, seharusnya, karena dia beroperasi di Indonesia. Apalagi X itu penggunanya mencapai puluhan juta di Indonesia,” ungkapnya.
Namun, kata Budi, Kemenkominfo akan mengambil langkah lebih jauh jika Elon Musk tak kunjung membuat kantor perwakilan X di Indonesia, yakni dengan memblokir X seperti yang dilakukan Brasil.
Sayangnya hingga kini, ancaman yang dilontarkan Budi Arie, yang belum lama ini dicopot dari posisi sebagai Menteri Koperasi, hanya sekedar gertak sambal.
Hingga ia lengser dari jabatan Menkominfo, hingga kini tak ada realisasi yang membuat X lebih menghargai peraturan di Indonesia.
Di tambah lagi, pengganti Budi Arie, Menkomdigi Meutya Hafid terlihat belum memiliki rencana untuk melanjutkan tindakan tegas terhadap X.
Untuk diketahui, meski telah berganti nama menjadi X dari sebelumnya Twitter, popularitas platform media sosial yang kental dengan isu-isu politik itu tak surut di Indonesia.
Laporan terbaru dari We Are Social dan Meltwater mengungkapkan platform jumlah pengguna X, per September 2025, telah menjangkau 561 juta pengguna di seluruh dunia per Juli 2025.
Data yang menarik perhatian, terutama bagi Indonesia, adalah keberhasilan menembus empat besar negara dengan pengguna X terbanyak di dunia.
Dengan 23,76 juta pengguna, Indonesia berada tepat di bawah India, Jepang dan AS, menunjukkan betapa pentingnya platform ini dalam kehidupan sosial digital di Tanah Air.
Baca Juga: Kini Ada KSP dan Badan Komunikasi Pemerintah, Tupoksi Komdigi Tak Efektif?