Jakarta, Gizmologi – Ancaman penipuan digital telah mencapai titik kritis dan menjadi risiko sistemik bagi ekonomi digital Indonesia. Laporan terbaru yang diluncurkan oleh Global Anti-Scam Alliance (GASA) , bekerja sama dengan Mastercard dan Indosat Ooredoo Hutchison (Indosat atau IOH) , mengungkap fakta yang sangat mencengangkan: total kerugian finansial akibat penipuan dalam 12 bulan terakhir di Indonesia mencapai Rp49 triliun atau setara $3,3 miliar.
Angka fantastis ini bukan sekadar statistik; di baliknya terdapat rata-rata kerugian Rp1,7 juta per orang , yang menguras tabungan, merusak kesejahteraan, dan mengikis kepercayaan masyarakat. Peluncuran laporan bertajuk ‘State of Scams in Indonesia 2025’ ini dilakukan di kantor Google Indonesia di Jakarta pada 31 Oktober 2025. Ini sekaligus menandai langkah konkret setelah pembentukan GASA Indonesia Chapter pada Juli 2025 lalu , yang bertujuan memperkuat ketahanan siber nasional.
Laporan ini menyajikan wawasan terkini mengenai lanskap ancaman yang terus berkembang, menyoroti kerentanan konsumen serta taktik umum yang digunakan pelaku untuk mengeksploitasi mereka. Analisis ini juga sejalan dengan semangat Hari Sumpah Pemuda , menyoroti kebutuhan penting untuk meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan siber di kalangan Generasi Z dan Milenial, yang merupakan kelompok pengguna digital terbesar di Indonesia.
Meluasnya Ancaman dan Sasaran Empuk di Kalangan Digital

Data GASA menunjukkan bahwa penipuan digital kini telah menjadi ancaman yang meluas. Dua dari tiga (66 persen) orang dewasa di Indonesia mengaku telah terpapar penipuan dalam setahun terakhir , dengan frekuensi paparan yang mengkhawatirkan, yaitu setara dengan 55 kali per orang per tahun. Meskipun tidak semua paparan berujung kerugian, sebanyak 35 persen responden menjadi korban penipuan, dan 14 persen di antaranya mengalami kerugian finansial.
Fakta ini diperparah dengan temuan mengenai cara pelaku beraksi. Platform yang paling sering digunakan pelaku adalah pesan langsung, seperti aplikasi pesan instan dan SMS. Pola ini mengindikasikan bahwa para penipu semakin mengandalkan teknik rekayasa sosial atau social engineering yang memanfaatkan jalur komunikasi personal, di mana batas antara interaksi pribadi dan ancaman keamanan menjadi sangat tipis.
Kelompok Generasi Z dan Milenial, yang dikenal sangat aktif di dunia digital, menjadi sasaran utama yang mendesak untuk ditingkatkan kewaspadaan sibernya. Kerugian finansial yang rata-rata mencapai Rp1,7 juta per orang tersebut, dapat menjadi beban yang signifikan, terutama bagi generasi muda yang sedang membangun karir dan keuangan. Lebih lanjut, Brian D. Hanley, GASA APAC Director, menegaskan bahwa setiap kasus penipuan di Indonesia memiliki wajah manusia di baliknya , mulai dari orang tua yang kehilangan tabungan, mahasiswa yang takut melaporkan kejahatan, atau pelaku UMKM yang tidak bisa bangkit kembali.
Aileen Goh, Country Manager, Indonesia, Mastercard dan Wakil Ketua GASA Indonesia Chapter, memaparkan bahwa Indonesia berada di garis depan transformasi digital yang membuka peluang baru bagi jutaan masyarakat. Namun, seiring dengan pertumbuhan ekonomi digital, ancaman penipuan juga meningkat dan menjadi risiko sistemik yang memengaruhi konsumen, bisnis, dan institusi. Ia menyimpulkan, untuk menjaga kepercayaan ini, dibutuhkan lebih dari sekadar teknologi, yaitu aksi kolektif.
Peran AI: Senjata Pelaku dan Benteng Pertahanan

Tantangan di masa depan adalah bagaimana memanfaatkan teknologi canggih, seperti Artificial Intelligence (AI), untuk melawan balik para pelaku kejahatan siber yang juga makin cerdik menggunakan teknologi serupa. Dalam laporan ini, isu teknologi canggih menjadi bagian penting dari solusi pencegahan.
Putri Alam, Government Affairs and Public Policy Director Google Indonesia, mengungkapkan komitmen Google dalam membangun ekosistem internet yang lebih aman. Pendekatan Google berfokus pada penerapan fitur keamanan berbasis AI yang tertanam langsung di produk utama , didesain dengan prinsip private by default dan secure by design. Contohnya adalah penggunaan AI pada perangkat yang memungkinkan deteksi penipuan secara real-time di Google Messages dan memperkuat fitur Safe Browsing di Chrome untuk melindungi pengguna dari situs phishing.
Di sisi lain, Reski Damayanti, Ketua GASA Indonesia Chapter dan Chief Legal & Regulatory Officer Indosat Ooredoo Hutchison, juga menyoroti peran AI sebagai solusi. Menurutnya, untuk melindungi publik dan memulihkan kepercayaan, Indonesia perlu memperkuat sistem pencegahan penipuan dengan teknologi canggih seperti AI, didukung kemitraan kuat dan regulasi yang jelas. Keterlibatan Google sebagai pimpinan Komite Edukasi dan Kesadaran GASA Indonesia Chapter menunjukkan bahwa upaya memerangi penipuan digital tidak hanya fokus pada penindakan, tetapi juga pada bagaimana memberdayakan masyarakat dengan pengetahuan yang berbasis inovasi teknologi.
Pendekatan ini menyiratkan bahwa peperangan melawan penipuan digital adalah perlombaan senjata antara AI yang digunakan pelaku untuk memanipulasi, dan AI yang digunakan industri teknologi untuk melindungi. Brian D. Hanley dari GASA APAC menekankan bahwa penipuan tidak hanya mengambil uang, tetapi juga kepercayaan antar manusia. Oleh karena itu, pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil harus bersatu untuk membangun kembali kepercayaan digital bersama.
Tiga Pilar Rekomendasi GASA untuk Ketahanan Siber
Laporan GASA merumuskan 10 rekomendasi utama untuk mengatasi ancaman penipuan, yang terbagi dalam tiga area tindakan strategis : Memberdayakan Konsumen, Mewujudkan Internet yang Lebih Aman, dan Memperkuat Kerja Sama Lintas Sektor.
Pilar pertama, Memberdayakan Konsumen, mencakup edukasi berkelanjutan, penyediaan layanan bantuan nasional, dan dukungan terpadu bagi korban penipuan. Survei GASA menunjukkan bahwa 34 persen responden berpendapat lembaga publik, terutama pemerintah, bertanggung jawab untuk melindungi masyarakat dari penipuan digital. Hal ini menggarisbawahi harapan besar masyarakat terhadap peran negara dalam pencegahan dan penanggulangan.
Pilar kedua, Mewujudkan Internet yang Lebih Aman, berfokus pada solusi teknis, seperti pemblokiran penipuan di tingkat jaringan. Selain itu, peningkatan kemampuan penelusuran transaksi penipuan di berbagai platform dan sistem pembayaran juga menjadi kunci, mengingat sebagian besar penipuan dilakukan melalui platform pesan.
Terakhir, Pilar ketiga, Memperkuat Kerja Sama Lintas Sektor, dianggap fundamental. Rekomendasinya meliputi pembentukan jaringan pusat anti-penipuan, kejelasan tanggung jawab penyedia layanan, langkah pencegahan yang lebih kuat, serta kolaborasi global dalam investigasi dan penegakan hukum. Aileen Goh dari Mastercard menyebutkan bahwa laporan ini menegaskan luasnya dampak penipuan digital dan perlunya respons terpadu lintas sektor.
Rekomendasi ini akan menjadi panduan bagi GASA Indonesia Chapter dalam mendukung visi Indonesia Emas 2045, melalui upaya membangun kepercayaan digital dan menjaga pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Dengan metodologi penelitian yang melibatkan 1.000 responden berusia 18 tahun ke atas di seluruh Indonesia , laporan GASA ini menyediakan wawasan dasar untuk memperkuat upaya nasional dalam edukasi publik, kampanye yang terarah, serta pengembangan kebijakan di bidang keamanan digital.
Infografik ‘State of Scams in Indonesia 2025’
Eksplorasi konten lain dari Gizmologi.id
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.


















































