Westerling, Eksekusi Tanpa Pengadilan di Sulawesi Selatan

Oleh: Desy Selviana
(Pustakawan)

Makassar, Desember 1946. Kapten Raymond Westerling mendarat bersama 123 pasukan baret merah dari Corps Speciale Stoot Troepen (CSST). Dengan dukungan tentara KNIL, pasukan Kerajaan Belanda, serta penunjuk jalan pribumi yang dikenal sebagai Tuan Ho, mereka memulai operasi militer di Sulawesi Selatan yang meninggalkan jejak darah panjang dalam sejarah bangsa.

Dalih operasi itu adalah menumpas para pejuang kemerdekaan yang dicap sebagai “ekstremis”. Namun kenyataannya, yang terjadi adalah eksekusi massal tanpa pengadilan. Setiap pemuda yang tertangkap langsung dinyatakan bersalah, lalu dieksekusi di tempat.

Kampung Jongaya menjadi saksi awal tragedi tersebut. Pada 11 Desember 1946, saat warga baru usai menunaikan salat Subuh, tentara Westerling memasuki kampung dengan persenjataan lengkap. Rumah-rumah digedor keras, pintu yang terkunci ditendang, bahkan ada yang diberondong peluru. Setiap laki-laki muda digiring ke lapangan. Ratusan jumlahnya, dipaksa berdiri di hadapan senjata.

Kepala desa diminta menunjukkan siapa di antara mereka yang dianggap ekstremis, namun tak ada jawaban. Westerling lalu memberi perintah, dan rentetan peluru memutus nyawa para pemuda. Mayat-mayat bergelimpangan, ditinggalkan begitu saja, sementara istri, anak, dan keluarga hanya bisa meratap tanpa daya.

Dari Jongaya, operasi berpindah ke Limbung, Bajeng, dan kampung-kampung lain. Data Legiun Veteran Bajeng mencatat sedikitnya 175 pemuda dieksekusi dalam satu operasi di Limbung, tetapi jumlah sebenarnya diyakini lebih besar karena banyak jasad ditemukan di sawah, hutan, dan sungai. Kesaksian pejuang Lipang Bajeng, Baso Taba, menyebut tentara Belanda menenggak minuman keras sebelum menembaki pemuda bak sasaran tembak koboi. Ada pula yang dipaksa menggali lubang, lalu ditembak di tepinya, bahkan sebagian dikubur hidup-hidup meski masih bernapas.