AI, Ruang Redaksi dan Nalar Masa Depan Jurnalisme

1 day ago 7

Roni Satria

Roni Satria

icon-email

Roni Satria, penyuka traveling, saat ini aktif sebagai koresponden CNN Indonesia dan dosen Prodi Penyiaran Multimedia Universitas Indonesia. Ia baru menyelesaikan pelatihan AI Journalism Lab: Adoption di New York.

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi

CNNIndonesia.com

Jakarta, CNN Indonesia --

Saya sempat mengalami kebingungan saat mencoba menelusuri puluhan transkrip wawancara untuk menyusun satu cerita mendalam. Rasanya seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Waktu yang dihabiskan untuk mendengarkan rekaman wawancara dan mentranskripnya seolah lebih lama dari menulis berita itu sendiri. Jenuh? Ya. Tapi alur kerja itu harus saya jalani karena tak ingin ada informasi yang terlewat.

Saya kemudian mencoba bereksperimen dengan menggunakan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Tujuan awalnya sederhana: memangkas waktu. Benar saja, proses mentranskrip yang bisa memakan waktu berjam-jam bahkan sehari penuh, bisa saya tuntaskan kurang dari lima menit.

Saat itulah saya menyadari, AI bukan sekadar jargon canggih, tapi solusi nyata di tengah kompleksitas pekerjaan jurnalistik. Bukan untuk menggantikan saya, melainkan untuk menyelaraskan cara kerja dengannya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketertarikan saya terhadap AI bukanlah produk fomo sesaat. Beberapa tahun lalu, saya mulai bereksperimen secara mandiri. Di sela tugas peliputan, saya mencoba AI untuk mentranskripsi wawancara panjang, yang dalam istilah televisi kerap dinamai verbatim, menyusun headline, atau menganalisis data. Semua saya lakukan karena saya percaya, cepat atau lambat, AI akan menjadi bagian tak terpisahkan dari kerja jurnalistik.

Kini, AI telah menyusup ke berbagai aspek kehidupan, mulai dari transportasi, hiburan, hingga layanan kesehatan. Bahkan industri finansial sekalipun ikut terpengaruh oleh prediksi algoritmik yang menentukan pergerakan harga saham hingga keputusan investasi global. Teknologi ini bukan lagi milik masa depan, melainkan realitas hari ini. Lantas, dunia jurnalistik pun terdorong untuk bertanya: apa peran kita dalam ekosistem informasi yang kini sebagian dikendalikan oleh algoritma?

Dalam ruang redaksi modern, AI tidak lagi sekadar pemanis. Ia berperan sebagai "assistant" yang membantu jurnalis untuk memilah data besar, menghasilkan ringkasan berita secara cepat, bahkan menawarkan variasi judul agar berita dapat menjangkau lebih banyak pembaca. Media terkemuka seperti The Washington Post dan The Wall Street Journal pun tak ragu memanfaatkan AI untuk meningkatkan produktivitas mereka.

Menariknya, pengalaman para jurnalis internasional membuka mata saya lebih lebar. Marie Gilot, Executive Director J+ CUNY mengatakan bahwa AI kini sangat terjangkau bahkan gratis, membuatnya bisa diakses oleh jurnalis tanpa perlu tim khusus. "Cobalah. Anda tidak akan merusak apa pun. Ini menyenangkan dan akan sangat berguna ke depannya," kata Marie penuh antusias.

Marie yang selama ini mengelola berbagai pelatihan jurnalis yang memiliki keingintahuan tinggi akan AI, agaknya paham betul kendala yang dialami lewat cerita para jurnalis dari berbagai dunia. Menurutnya, tidak perlu punya tim teknologi khusus untuk memulai. Eksperimen kecil bisa dilakukan oleh siapa pun, mulai dari menyarikan dokumen, menyusun caption media sosial, hingga menganalisis data dari laporan lembaga publik.

"Yang dibutuhkan hanyalah rasa ingin tahu dan keberanian mencoba," tambahnya.

Jurnalis investigatif dari Rumania, Luiza Vasiliu yang awalnya sangat skeptis terhadap AI, berubah pikiran setelah mencoba langsung. "Rasanya seperti naik roller coaster, tapi kini saya sadar AI membantu kami menghasilkan karya yang lebih berkualitas," ujarnya.

Saya pun pernah skeptis. Tapi saya belajar dan mendapati bahwa AI justru mendorong kita menjadi lebih analitis, lebih berhati-hati, dan lebih bertanggung jawab dalam memverifikasi informasi dan menyajikan narasi.

Infrastruktur baru, bukan ancaman

Pertanyaan besar kemudian muncul: apakah AI akan menjadi ancaman bagi jurnalisme?

Nikita Roy, seorang peneliti AI dan pendiri Newsroom Robots, meyakinkan kami bahwa AI bukanlah ancaman, melainkan transformasi fundamental dalam cara kerja redaksi, seperti perpindahan dari media cetak ke digital beberapa dekade lalu.

Ia mengingatkan pentingnya bagi jurnalis untuk terus mengikuti perkembangan, istilah kerennya, "stay relevant." Sayangnya, sejarah menunjukkan bahwa kita kerap terlambat merespons gelombang perubahan: media sosial, digitalisasi, dan kini AI.

Riset dari Reuters Institute menyatakan bahwa AI justru memperkuat kerja jurnalistik bila digunakan secara bijak. AI mampu menangani tugas-tugas repetitif sehingga jurnalis bisa lebih banyak melakukan peliputan investigatif mendalam berbasis analisis yang tidak bisa dilakukan oleh mesin.

Namun, penggunaan AI dalam jurnalisme juga harus memperhatikan etika. Di tengah maraknya misinformasi dan disinformasi, penting untuk memastikan bahwa AI tidak malah menambah bias atau informasi keliru, tetapi justru menunjang akurasi melalui proses yang transparan.

Studi kasus menarik datang dari iTromsø, sebuah surat kabar lokal di Norwegia, yang berhasil meningkatkan readership hingga 33% berkat penerapan sistem AI bernama DJINN (Data Journalism Interface for News Gathering and Notification).

Sistem ini membantu jurnalis memindai ribuan dokumen publik dan mengidentifikasi informasi relevan untuk peliputan investigatif. Hasilnya, jurnalis pemula sekalipun mampu menghasilkan berita utama hanya dalam hitungan hari. Ini menunjukkan bahwa AI tak hanya efisien, tetapi juga dapat memperluas jangkauan dan dampak jurnalistik lokal secara signifikan.

Di Indonesia, langkah awal sudah dilakukan. Dewan Pers pada 22 Januari 2025 menerbitkan Pedoman Penggunaan AI dalam Karya Jurnalistik. Pedoman ini menekankan bahwa AI hanya alat bantu, bukan pengganti manusia, dan setiap konten yang dihasilkan dengan dukungan AI wajib mencantumkan keterangannya. Ini penting untuk menjaga kepercayaan publik dan mencegah penyebaran bias atau disinformasi yang bisa saja diperkuat oleh algoritma.

Etika, transparansi, dan masa depan jurnalisme

Di tengah ledakan informasi, jurnalis kini dituntut bukan hanya untuk cepat, tapi juga cermat dan transparan. Penggunaan AI yang tidak hati-hati justru bisa memperparah persoalan bias dan misinformasi. Di sinilah pentingnya kode etik dan literasi teknologi. AI bukan untuk menggantikan intuisi editorial, tetapi memperkuatnya. AI justru bisa menunjang akurasi, memperluas cakupan liputan, dan menghidupkan kembali semangat eksploratif dalam jurnalisme bila digunakan dengan benar.

Jadi, AI bukan soal akan atau tidak digunakan dalam jurnalistik.

Pertanyaannya adalah: apakah kita siap menggunakannya dengan bijak?

Pengalaman saya di AI Journalism Lab di New York pada Maret lalu mempertegas satu hal: masa depan jurnalisme bukan tentang mengganti manusia dengan mesin, melainkan bagaimana manusia memanfaatkan kecerdasan buatan untuk bekerja lebih tajam, lebih adil, dan lebih bermakna. AI bukan akhir dari jurnalisme, ia bisa menjadi awal dari babak baru yang lebih bertanggung jawab.

(sur/sur)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi