Selular.id – Jaringan 5G memiliki potensi untuk mendorong kecepatan internet seluler rata-rata hingga melampaui 300 Megabit per detik (Mbps).
Kunci utamanya terletak pada alokasi spektrum radio yang luas dan berdedikasi untuk teknologi generasi kelima ini, bukan sekadar membagi sumber daya dengan jaringan 4G yang sudah ada.
Pernyataan ini disampaikan oleh Magnus Ewerbring, Chief Technology Officer untuk kawasan Asia Pasifik dari Ericsson.
Ia menekankan pentingnya komitmen pemerintah dan regulator telekomunikasi dalam menyediakan pita spektrum yang memadai agar manfaat 5G dapat dirasakan secara optimal oleh pengguna.
Menurutnya, langkah ini telah terbukti signifikan meningkatkan pengalaman pengguna di sejumlah negara.
“Magnus terus menekankan betapa luasnya bandwidth spektrum 5G di negara-negara yang mengalokasikannya dengan baik,” ujarnya, seperti dikutip dari paparan resmi.
Ia kemudian menjadikan Malaysia sebagai contoh nyata.
Negeri Jiran tersebut dinilainya sebagai studi kasus yang bagus karena tahun lalu mereka meraih penghargaan untuk peningkatan kinerja 5G terbaik seiring dengan mulai masifnya adopsi teknologi ini oleh masyarakat.
Dampaknya sangat konkret. Sebelum jaringan 5G berdiri dengan alokasi spektrum yang solid, kecepatan internet seluler rata-rata di Malaysia berada di kisaran 50 hingga 60 Mbps.
Setelah jaringan 5G beroperasi dengan spektrum eksklusif, angka tersebut melonjak drastis menjadi lebih dari 300 Mbps.
Lonjakan lebih dari lima kali lipat ini menunjukkan bagaimana infrastruktur yang dirancang dengan fondasi tepat mampu mengubah lanskap digital sebuah negara.
Pentingnya Spektrum Eksklusif untuk Kinerja Maksimal
Ewerbring menjelaskan bahwa praktik yang sering ditemui saat ini di banyak pasar adalah operator mengalokasikan sebagian spektrum yang sebelumnya digunakan untuk 4G ke layanan 5G.
Meskipun cara ini memungkinkan peluncuran 5G yang lebih cepat dan hemat biaya awal, hasilnya tidak akan pernah optimal.
Jaringan 5G yang berbagi spektrum dengan 4G tidak dapat menawarkan kecepatan puncak, latensi terendah, dan kapasitas tinggi yang menjadi janji utamanya.
“Apa yang dilakukan operator-operator saat ini adalah mengalokasikan sebagian spektrum 4G mereka ke 5G. Jadi, kinerjanya tidak akan optimal dibandingkan, misalnya, Malaysia, di mana 100 MHz di band 3,5 GHz telah dialokasikan secara eksklusif untuk 5G,” jelasnya.
Alokasi 100 MHz di pita spektrum 3,5 GHz tersebut menjadi fondasi yang membuat jaringan 5G Malaysia bisa bernapas lega, memiliki ‘jalan tol’ data yang lebar, dan akhirnya menghadirkan kecepatan yang revolusioner.
Band 3,5 GHz sendiri secara global diakui sebagai pita spektrum inti (core band) untuk 5G karena menawarkan keseimbangan ideal antara jangkauan dan kapasitas.
Komitmen untuk mengalokasikannya secara eksklusif menunjukkan keseriusan dalam membangun ekosistem 5G yang matang, yang pada akhirnya mendorong inovasi layanan dan pertumbuhan ekonomi digital.
Pelajaran dari Malaysia ini relevan untuk diamati oleh banyak negara, termasuk Indonesia, yang masih dalam proses optimalisasi jaringan 5G.
Peningkatan kualitas jaringan ini juga selaras dengan laporan terbaru yang menunjukkan bahwa kecepatan internet seluler Indonesia melonjak 53% di 2025, didorong oleh ekspansi infrastruktur.
Namun, untuk mencapai lompatan besar seperti di Malaysia, faktor alokasi spektrum menjadi krusial.
Di Indonesia, operator seperti Telkomsel telah menunjukkan komitmen agresif dengan menargetkan puluhan ribu BTS 5G dalam beberapa tahun ke depan.
Ekspansi fisik BTS ini perlu didukung oleh ketersediaan ‘bahan bakar’ berupa spektrum yang memadai agar setiap menara pemancar dapat beroperasi pada kapasitas penuh.
Tanpa spektrum eksklusif yang lebar, risiko yang muncul adalah jaringan 5G hanya menjadi perpanjangan dari 4G dengan label baru, tanpa menghadirkan pengalaman yang benar-benar berbeda.
Implikasi bagi Masa Depan Layanan Digital
Kecepatan rata-rata 300 Mbps bukan sekadar angka di layar speedtest. Angka tersebut membuka pintu bagi layanan digital yang sebelumnya sulit dijalankan secara mulus di jaringan seluler.
Dengan kecepatan setinggi itu, pengunduhan film berkualitas tinggi bisa dilakukan dalam hitungan detik, konferensi video menjadi lebih stabil dan jernih, serta pengalaman bermain game cloud atau metaverse mendekati real-time tanpa lag.
Lebih dari itu, bagi sektor industri, 5G dengan kinerja optimal menjadi tulang punggung revolusi Industri 4.0.
Pabrik pintar, kendaraan otonom, telemedisin yang presisi, dan sistem logistik real-time sangat bergantung pada jaringan yang tidak hanya cepat, tetapi juga memiliki latensi sangat rendah dan mampu menghubungkan ribuan perangkat secara bersamaan.
Semua karakteristik unggulan 5G ini hanya dapat dicapai dengan fondasi spektrum yang kuat.
Peningkatan kualitas jaringan juga berpotensi mempengaruhi dinamika pasar layanan internet secara keseluruhan, termasuk di segmen fixed broadband.
Ketika internet seluler menjadi sangat cepat dan andal, ia bisa menjadi alternatif yang kompetitif bagi layanan kabel rumahan.
Masyarakat akan memiliki lebih banyak pilihan untuk memenuhi kebutuhan konektivitas mereka, yang pada gilirannya dapat mendorong persaingan harga dan kualitas.
Hal ini dapat dilihat dalam konteks perbandingan berbagai penawaran yang ada, seperti yang diulas dalam perbandingan tarif internet IndiHome, MyRepublic, First Media, dan Biznet Home.
Di sisi lain, adanya internet berkecepatan tinggi yang terjangkau juga menjadi isu strategis.
Wacana mengenai Internet Rakyat 100 Mbps Rp 100 Ribu mencerminkan kebutuhan publik akan akses digital yang inklusif.
Jaringan 5G yang dibangun dengan spektrum optimal, jika dikelola dengan model bisnis yang tepat, memiliki potensi untuk mendekatkan visi akses internet berkualitas dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.
Dengan demikian, penekanan Ericsson mengenai alokasi spektrum ini bukan sekadar wacana teknis. Ia menyentuh aspek kebijakan, ekonomi, dan pemerataan digital.
Keputusan yang diambil regulator telekomunikasi hari ini dalam mengalokasikan dan mengelola spektrum akan menentukan seberapa besar lompatan kualitas konektivitas yang dapat dicapai suatu negara dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan.
Perjalanan Malaysia menunjukkan bahwa dengan fondasi yang tepat, lompatan dari kecepatan 60 Mbps ke 300 Mbps bukanlah impian, melainkan sebuah realitas yang dapat dicapai.








































