Jakarta, CNN Indonesia --
Bumi kita sedang tidak baik baik saja.
Sebuah artikel international tahun 2023 menuliskan bahwa liputan tentang perubahan iklim di 59 negara meningkat dari 47 ribu artikel pada periode 2016-2017 menjadi sekitar 87 ribu artikel pada periode 2020-2021.
Sebagian besar liputan tersebut membahas bencana alam dan fenomena ekstrim yang terjadi dalam dekade terakhir. Benar, hal tersebut merupakan fenomena dampak
perubahaan iklim.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama ini, perubahan iklim sering dipahami secara luas sebagai peristiwa ekstrim di alam. Seperti mencairnya es di kutub, peningkatan efek gas rumah kaca atau penipisan lapisan ozon. Padahal dampaknya lebih dekat dan dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Suhu udara yang semakin panas setiap tahunnya menjadi salah satu bukti yang menegaskan bahwa dampak perubahan iklim bukan lagi sekadar isu global, melainkan persoalan yang kini kita rasakan langsung dalam kehidupan sehari-hari.
Kabar baiknya, kesadaran global terhadap isu perubahan iklim mulai meningkat. Hal ini terlihat dari adanya misi dunia yang tercantum dalam Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (SDGs) Nomor 13 tentang Climate Action.
Agenda tersebut didukung oleh berbagai kerangka kerja dan perjanjian internasional, seperti Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim, dan Perjanjian Paris yang menjadi panduan bagi negara di dunia dalam mengambil langkah nyata menghadapi krisis iklim.
Selain itu, para ilmuwan mulai meneliti dan mengembangkan teknologi untuk mencari solusi mencegah laju perubahan iklim. Salah satunya adalah penerapan
teknologi hijau berbiaya tinggi, seperti penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage) atau CCS.
Meski menjanjikan, teknologi tersebut menuai pro dan kontra. Pihak kontra CCS menilai bahwa potensi risikonya jauh lebih besar dibanding
manfaat yang ditawarkan.
Tantangan utama meliputi keterbatasan penerapan teknologi, risiko kebocoran karbon dari sistem penyimpanan, potensi aktivitas seismik, hingga dampak ekologis
terhadap keanekaragaman hayati, kualitas air, dan tata guna lahan.
Selain itu teknologi seperti ini justru tidak menjawab permasalahan iklim secara spesisik karena kapasitas penyimpanannya lebih kecil dibanding estimasi yang diperkirakan.
Ketika dunia sibuk mencari inovasi miliaran dolar untuk solusi mitigasi perubahan iklim, kita lupa bahwa bumi telah menciptakan teknologi paling canggih, efisien, dan
murah yaitu teknologi bernama POHON. Teknologi yang jarang kita sadari dengan manfaat yang luar biasa sebagai Nature Based Technology untuk menopang alam dan
menstabilkan iklim bumi.
Bagaimana Teknologi Bernama Pohon itu Bekerja?
Batang yang kokoh dan daun yang hijau, menjadikan pohon sejatinya memiliki "mesin biologis" paling efisien di bumi. Setiap helai daun bekerja layaknya panel surya
yang menangkap energi matahari dan mengubahnya menjadi sumber kehidupan bagi seluruh ekosistem.
Jika manusia membutuhkan pabrik besar dan energi listrik untuk memproduksi oksigen atau menyerap karbon, pohon melakukannya hanya dengan sinar
matahari dan air hujan.
Proses ini dikenal sebagai fotosintesis, di balik istilah sederhana tersimpan sistem kompleks yang menginspirasi banyak teknologi modern. Bayangkan bumi kita
memiliki sebuah mesin yang bekerja tanpa henti, tidak menghasilkan limbah bahkan mampu menyerapnya, sekaligus memberi energi bagi seluruh makhluk hidup di bumi.
Hebatnya lagi, mesin itu bukan hasil riset di laboratorium mutakhir, melainkan tumbuh alami di halaman rumah, di tepi jalan, hingga di tengah hutan yang bisa ditanam oleh siapapun.
Foto: ANTARA FOTO/SENO
Pengendara motor melewati pohon warna-warni atau Eucalyptus deglupta di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Desa Sumberwringin, Kecamatan Sumberwringin, Bondowoso, Jawa Timur, Jumat (18/9/2020). Kawasan hutan seluas 23 hektare tersebut memiliki beraneka jenis tanaman untuk bahan penelitian, salah satunya yang disebut pohon warna-warni atau Eucalyptus deglupta karena batang pohon itu mengeluarkan gradasi warna merah, kuning, hijau, biru tua juga coklat. (ANTARA FOTO/Seno/Pras)
Lalu bagaimana mekanisme teknisnya?
Pertama, pohon menyerap karbon dioksida (CO₂) dari udara melalui proses fotosintesis. Gas ini merupakan salah satu penyebab utama pemanasan global yang mendorong terjadinya Perubahan Iklim. Menariknya pohon tidak hanya menyerap karbon, tapi juga menyimpannya didalam tubuhnya. di batang, daun, akar, bahkan di tanah tempat ia tumbuh.
Sebuah Penelitian yang dipublikasikan di MDPI Sustainability (2024) Ballut-Dajud et al. Membandingkan dua wilayah lahan basah tropis di Meksiko: satu wilayah berhutan
mangrove ("forested") dan wilayah lain tidak bervegetasi pohon ("deforested").
Peneliti mengukur berapa banyak karbon organik yang tersimpan dalam tanah hingga kedalaman sekitar 70 cm.
Hasilnya jelas, lahan berpohon mampu menyimpan karbon 2-3 kali lebih banyak dibandingkan lahan terbuka. Peneliti menjelaskan hal ini terjadi karna pohon yang hidup
maupun yang sudah mati menghasilkan sisa organik (leaf litter, root biomass) seperti daun gugur dan akar mati yang terkumpul di tanah. Semua itu adalah "gudang" untuk
menyimpan karbon yang ada di atmosfer.
Jaringan pohon yang sudah terdekomposisi di tanah juga mendatangkan mikroorganisme hidup untuk melakukan respirasi dengan menyerap CO₂. Selain itu daun yang rimbun juga menjaga kelembapan permukaan tanah sehingga karbon tidak mudah terlepas ke udara. Akar pohon yang menjalar semakin dalam membantu menyimpan karbon lebih jauh ke bawah tanah, membuat penyimpanan karbon bisa bertahan dalam jangka waktu yang lama.
Mudah, Murah, dan Inklusif
Lebih dari sekadar menyerap karbon, pohon juga membangun kehidupan. Ia menciptakan habitat bagi burung, serangga, dan berbagai organisme lain yang menjaga
keseimbangan ekosistem. Akar pohon menahan air, batangnya memberi naungan, dan daunnya menyejukkan udara. Semua manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh makhluk hidup di sekitarnya.
Bagi manusia, pohon adalah bentuk paling nyata dari gagasan Green Democratization (Backstrand, 2003), yakni upaya menjadikan mitigasi perubahan iklim sebagai tanggung jawab bersama.
Menanam pohon tidak memerlukan laboratorium, lisensi, ataupun hak paten. Hanya butuh sedikit kepedulian. Setiap individu, komunitas, hingga pemerintah bisa
menjadi bagian dari solusi global ini.
Merupakan bentuk teknologi yang benar-benar inklusif, karena siapa pun dapat menanam dan memanfaatkannya tanpa batas status sosial ataupun ekonomi. Jika teknologi hijau modern sering kali membutuhkan investasi besar dengan akses terbatas, maka teknologi bernama pohon justru menawarkan keunggulannya: Mudah, Murah, dan Bisa direplikasi oleh Siapa Saja.
Memaknai "teknologi" sebagai sesuatu yang rumit, mahal, dan serba digital membuat Kecerdasan Buatan (AI) kini dianggap sebagai simbol kemajuan manusia
modern, walaupun menimbulkan banyak tantangan baru (UNESCO, 2022).
Pandangan itu membuat kita lupa bahwa alam sebenarnya telah lebih dulu menciptakan teknologi yang tak kalah hebat dan berkelanjutan. Sudah saatnya manusia melihat dari sisi yang berbeda, bahwa masa depan teknologi tidak selalu tentang chip dan data, tapi tentang bagaimana manusia bisa kembali selaras dengan alam.
Manusia sebenarnya tidak perlu terus mencari teknologi baru, cukup merawat teknologi tertua yang sudah ada: Pohon. Karena di tengah krisis iklim, solusi terbaik sering kali bukan yang paling mahal, melainkan yang paling alami.

4 hours ago
3

















































