Jakarta, CNN Indonesia --
Pemangkasan anggaran negara alias efisiensi yang dilakukan pemerintahan Prabowo Subianto ternyata berimbas ke industri perhotelan.
Pemotongan anggaran negara dituangkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang diterbitkan Prabowo pada 22 Januari lalu. Salah satu pos yang dipangkas adalah perjalanan dinas atau rapat-rapat yang selama ini diselenggarakan di hotel.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi B Sukamdani mengatakan belanja pemerintah berkontribusi sampai 40 persen terhadap sumber pendapatan bisnis perhotelan dan restoran nasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Imbasnya, perhotelan berpotensi mengurangi karyawan alias pemutusan hubungan kerja (PHK) demi menghemat biaya operasional.
"Ya, kalau sudah situasi seperti ini, pertama tentu kami harus mengurangi kapasitas kami ya. Kita belum tahu akan berkurangnya berapa. Tapi perkiraan pasti teman-teman akan mengurangi dengan 50 persen kapasitas," ujarnya dikutip dari CNBC.
"Artinya kalau 50 persen kapasitas itu apa? Ya otomatis karyawan juga dikurangi. Karyawan dikurangi, belanja dikurangi, semua yang terkait dengan biaya operasional akan dipangkas juga 50 persen. Nah ini juga tentunya hal yang tidak juga nyaman untuk karyawan juga nantinya. Tapi gimana kalau nggak ada tamunya, kan susah," sambung nya.
Hariyadi mengaku sulit mencari pasar baru termasuk dari wisatawan mancanegara. Jika melakukan promosi pun hasilnya baru akan kelihatan paling cepat enam bulan ke depan.
"Jadi kalau kita melakukan penetrasi suatu pasar, itu baru akan melihat hasilnya 6 bulan. Nah situasi seperti ini tentu tidak mudah langsung, gitu ya. Artinya kita switch marketnya itu tidak mudah. Karena jumlahnya signifikan, yaitu 40 persen tadi," paparnya.
Senada, Ketua PHRI DIY Deddy Pranawa Eryana mengatakan sejumlah kementerian dan pemerintah daerah ramai-ramai membatalkan reservasi kamar yang mereka pesan pasca terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD 2025.
Ia menyebut pembatalan reservasi untuk Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE) ini bahkan dikalkulasi mencapai 40 persen untuk perhotelan dan resto.
"Pembatalan sampai 40 persen, itu (sepanjang) 2025. Dari kementerian langsung meng-cancel usai ada Inpres itu," kata Deddy saat dihubungi, Rabu (29/1).
Padahal, kata Deddy, kontribusi pemerintah untuk MICE ini paling besar, bisa sampai 40 persen. Bahkan, terakhir sebelum November 2024 lalu menyentuh 50 persen.
Deddy pun meyakini pemangkasan anggaran pemerintah yang berimbas pada anjloknya pemasukan hotel dan restoran akan merembet ke masalah operasional termasuk mengurangi pekerja hotel.
"Salah satunya dengan apa, dengan mengurangi tenaga kerja," katanya.
Lantas bagaimana nasib perhotelan di tengah efisiensi anggaran pemerintah? Apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan industri perhotelan?
Peneliti Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Shofie Azzahrah mengatakan di tengah kebijakan efisiensi anggaran, pemerintah dapat membantu sektor perhotelan dengan memberikan insentif fiskal, seperti pengurangan pajak atau subsidi.
Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan promosi pariwisata domestik dan internasional untuk mendorong okupansi hotel melalui peningkatan jumlah wisatawan
"Dengan demikian, masyarakat domestik maupun wisatawan mancanegara akan lebih terdorong untuk melakukan perjalanan wisata, sehingga sektor perhotelan tetap memiliki pangsa pasar yang stabil," katanya pada CNNIndonesia.com.
Ia mengatakan jika kebijakan efisiensi anggaran tidak dikaji ulang, banyak hotel akan terpaksa melakukan PHK massal akibat penurunan pendapatan yang drastis. Dalam jangka menengah, hal ini akan menyebabkan penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Maklum, industri perhotelan merupakan salah satu penyumbang pajak daerah.
Lebih lanjut, ia mengatakan ketahanan pengusaha perhotelan menghadapi situasi sulit seperti saat ini bervariasi tergantung pada cadangan modal, strategi bisnis, dan lokasi operasional mereka.
Di daerah yang menjadi destinasi utama pariwisata, baik untuk wisatawan domestik maupun mancanegara, sektor perhotelan masih memiliki peluang bertahan karena adanya sumber pendapatan lain di luar perjalanan dinas pemerintah.
Namun, di daerah yang bukan merupakan destinasi wisata utama, hotel akan mengalami kesulitan bertahan karena kehilangan sebagian besar pendapatannya akibat pemangkasan anggaran pemerintah.
Kalau dibiarkan terus, lambat laun hotel tersebut akan mati.
"Tanpa intervensi kebijakan yang mendukung sektor ini, banyak pengusaha hotel yang hanya mampu bertahan dalam jangka pendek sebelum menghadapi risiko kebangkrutan," katanya.
Shofie mengatakan ada beberapa strategi yang dapat diterapkan oleh pengusaha hotel untuk bertahan. Salah satunya adalah mengalihkan fokus pasar dari segmen pemerintah ke wisatawan domestik dan internasional, serta pasar korporasi swasta.
Namun, langkah ini tidak mudah karena faktor seperti infrastruktur yang memadai dan lokasi strategis menjadi pertimbangan utama bagi wisatawan dalam memilih tujuan wisata.
Oleh karena itu, dukungan pemerintah tetap diperlukan, baik dalam hal pemasaran destinasi wisata Indonesia, perbaikan infrastruktur, maupun pemberian insentif fiskal bagi sektor transportasi dan akomodasi.
"Dengan adanya dukungan yang memadai dari pemerintah untuk sektor pariwisata, sektor ini dapat lebih kuat menghadapi dampak dari kebijakan efisiensi anggaran," katanya.
Senada, Peneliti Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Gulfino Guevarrato mengatakan pemerintah perlu memberikan jaringan pengaman atau safety net kepada industri perhotelan yang merasakan dampak pemangkasan anggaran negara. Caranya adalah dengan memberikan insentif pajak.
"Karena pajak adalah salah satu item yang cukup menyedot biaya operasional yang cukup besar sehingga perhotelan tetap bisa sustain di kondisi seperti ini," katanya.
Lebih lanjut, Gulfino mengatakan tujuan efisiensi anggaran negara sebenarnya baik, tetapi pemerintah tidak cermat dalam menetapkan pos-pos apa saja yang anggarannya perlu dihemat.
Akibatnya efisiensi anggaran mengganggu sektor lainnya yang padat karya seperti perhotelan.
"Ini yang perlu menjadi evaluasi. Ketika pemerintah mau membuat efisiensi setiap tahun maka pendekatannya jangan sampai mengganggu sektor-sektor riil yang berdampak pada publik," katanya.
Sementara industri perhotelan, sambungnya, harus mencari pasar baru selain pemerintah. Perhotelan katanya bisa lebih gencar lagi menyasar sektor swasta dan BUMN .
(agt)