Dengan adegan kolosal dan sinematografi ciamik, film ini layak untuk disaksikan di layar lebar. Sayangnya, durasi 2,5 jam film lebih bercerita soal percintaan.
Jakarta, CNN Indonesia --
Gampang-gampang susah untuk menuliskan review Legends of The Condor Heroes: The Gallants (LoTCH) yang diadaptasi dari karya penulis legendaris Jin Yong.
Di satu sisi, film ini cukup menghibur jika ingin sekadar menikmati tontonan di layar besar. Adegan kolosalnya memuaskan, dan sinematografinya pun ciamik, terutama saat menampilkan hamparan padang Mongolia beserta kuda-kuda gagahnya.
Namun saya yang menggemari film silat alias martial arts movie, pernah menyaksikan dua versi adaptasi LoTCH, dan ingin sajian 'lebih berat', sejujurnya pulang dengan hati yang hampa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai catatan, review ini tentu saja dituliskan dengan pandangan subjektif saya.
LoTCH dibintangi oleh Xiao Zhan (Guo Jing), Zhuang Dafei (Huang Rong), dan aktor veteran Tony Leung Ka-Fai (Ouyang Feng) serta disutradai sosok yang sangat akrab dengan film-film pendekar: Tsui Hark. Dari tangannya lahir karya-karya tenar seperti Once Upon A Time in America, The Swordsman, Detective Dee, hingga film super laris berskala besar yang ia sutradarai bersama Chen Kaige, Battle of Lake Changin. (Simak sinopsisnya di sini)
Sudah banyak versi LoTCH yang beredar di layar televisi, termasuk di Indonesia.
Versi 1994 yang dibintangi Athena Chu dan Julian Cheung juga pernah wara-wiri di Tanah Air, meski tak semenggemparkan The Return of The Condor Heroes (cerita lanjutan LoTCH) yang dibintangi Andy Lau.
Namun dalam 30 tahun terakhir nyaris tak ada yang mengangkat LoTCH secara utuh dalam medium film. Salah satu alasannya, mungkin, karena novel LoTCH yang terdiri atas 40 bab ini punya puluhan tokoh dengan banyak bangunan cerita yang berkelindan.
Wong Kar Wai memang pernah meramu Ashes of Time, tapi ia cukup radikal dan memilih Ouyang Feng muda sebagai sosok sentral, dan sama-sekali tidak menceritakan kisah Guo Jing dan Huang Rong.
Film China Legends of the Condor Heroes: The Gallants (2025) tayang mulai akhir Februari lalu di Indonesia. (CTMG via Sony Pictures)
Tak heran kali ini Tsui Hark juga tak menumpahkan seluruh isi novel dalam filmnya.
Ia memilih dua subplot besar untuk diangkat: kisah percintaan Guo Jing dan Huang Rong, serta keputusan pasukan Mongolia untuk menyerang Dinasti Jin dan Dinasti Song.
Dengan dua plot tersebut, banyak tokoh klasik dalam novel LoTCH yang tak ditampilkan, mulai dari Yang Kang dan Mu Nianci, Huang Yaoshi, Mei Chaofeng, Qiu Chuzi bahkan tujuh guru Guo Jing yang dikenal sebagai The Seven Freaks pun hanya muncul dalam bentuk bayangan.
Keputusan untuk Tsui Hark untuk menyederhanakan jalan cerita ini sesungguhnya membuat film termasuk mudah dipahami, meski latar kisah Guo Jing dan Huang Rong dipadatkan di 30 menit pertama.
Saya rasa penonton yang belum pernah bersentuhan sama sekali dengan karya Jin Yong ini pun takkan kesulitan untuk menelan alur cerita.
Nilai plus lainnya adalah kemampuan Tsui Hark untuk mengendalikan adegan dalam skala besar. Ia sukses menjadikan momen ratusan ribu tentara Mongolia yang berbaris siap berperang jadi salah satu scene epik yang membuat hati merinding.
Pun demikian dengan pertarungan antara Guo Jing dengan Ouyang Feng yang merupakan momen puncak film.
Tsui Hark benar-benar menegaskan bahwa LoTCH berbeda dari adaptasi lainnya yang lebih sering muncul di layar lebih kecil seperti televisi.
Pertarungan dibuat grande dengan memanfaatkan penuh efek visual modern (CGI) untuk menggambarkan kekuatan tenaga dalam.
Adu jotos jarak dekat yang menjadi ciri khas film martial arts ditanggalkan dan diganti saling balas jurus di udara.
Semakin menuju klimaks pertarungan, semakin membara. Elemen angin, air, dan api dimaksimalkan untuk menunjukkan betapa Guo Jing dan Ouyang Feng adalah jagoan tanpa tanding.
Namun di sisi lain --lagi-lagi bagi saya pribadi-- adegan-adegan mengandalkan tenaga dalam ini terasa layaknya film aksi produksi Hollywood: tidak subtle, dan ada kalanya berlebihan.
Misalnya saja ketika Ouyang Feng membuat kuda terbang belasan meter ke udara, atau ketika Guo Jing melompat tinggi dan kemudian menukik 45 derajat, layaknya dewa yang tak kenal gravitasi dan bukan sekadar pendekar yang memiliki ilmu meringankan diri yang hebat.
Adegan-adegan ini mengingatkan saya pada perasaan ketika menyaksikan film popcorn seperti Fast and Furious terbaru atau The Meg. Film-film yang hadir untuk melepas katarsis penonton dengan festival visualnya.
Momen Guo Jing kehilangan ibunya dalam film Legends of The Condor Heroes: The Gallants (CTMG via Sony Pictures)
Di mana Huang Rong?
Salah satu kekecewaan saya pada film ini adalah pada sosok si setan kecil, Huang Rong.
Dalam novel dan adaptasi sebelumnya, Huang Rong yang punya 1000 akal ini selalu memiliki peran yang sama penting dengan Guo Jing serta mendapatkan banyak momen highlights.
Namun, di film ini porsi paling besar untuk Huang Rong adalah menjadi kekasih Guo Jing dan merindukan Guo Jing.
Bahkan salah satu momen paling emosional dan menegangkan dalam dunia LoTCH --saat Huang Rong mempertaruhnya nyawa untuk mengungkap kematian enam guru Guo Jing, dan akhirnya membuat luluh hati Ke Zhen'e, guru tertua Guo Jing yang masih bertahan hidup-- juga sama sekali tak disinggung meski sangat sentral dalam kisah percintaan.
Tak ada Huang Rong dengan mata yang menyala, keras kepala, dan sering habis kesabaran. Karakter-karakter yang melekat pada putri Huang Yaoshi ini malah justru diberikan oleh Tsui Hark pada Hua Zheng, sang putri Genghis Khan.
Maka ketika Hua Zheng bertanya pada Huang Rong, 'apakah semua perempuan di selatan sepintar dirimu?', saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Huang Rong yang ini belum seberapa.
Lanjut ke sebelah...