Jakarta, CNN Indonesia --
Ekonom mewanti-wanti Indonesia bakal menuju perlambatan ekonomi jika kebijakan Presiden Prabowo Subianto tak berubah dalam menyikapi kondisi global.
Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah mengkritik target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan pemerintah. Padahal, proyeksi berbagai lembaga, seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia yang memprediksi ekonomi Indonesia di 2025 tak sanggup mencapai 5 persen.
"Seringkali kita bertanya, pemerintah kok masih berani seperti optimis menetapkan target pertumbuhan yang sangat tinggi? Seringkali kita menyebutnya itu tidak realistis. Padahal, realistis atau tidak itu bukan dilihat pada angka targetnya, tapi dari kebijakannya, apa yang dilakukan untuk mencapainya," tuturnya dalam Diskusi Universitas Paramadina secara virtual, Senin (28/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menegaskan Indonesia memang tengah didera berbagai badai, mulai dari pemutusan hubungan kerja (PHK) sampai penurunan daya beli. Namun, kondisi tersebut bukan serta-merta membuat Indonesia harus pesimistis menghadapi gejolak global.
Kondisi di Tanah Air yang sedang tidak baik-baik saja mengharuskan pemerintah merespons dengan tepat. Piter mendorong Prabowo dan jajarannya membuat kebijakan yang sesuai dengan kondisi di lapangan, bukan terus-menerus denial atau mengingkarinya.
"Yang membuat kita pesimis itu bukan kondisinya, sebenarnya adalah apa yang akan kita lakukan. Kalau kebijakannya (Prabowo) tidak berubah, itulah yang membuat kita jadi pesimis. Itulah juga membuat saya menuliskan judul 'menyongsong perlambatan ekonomi'. Bukan pada kondisinya, tetapi lebih kepada arah kebijakan," jelas Piter.
"Ketika kita mengatakan 'Indonesia Gelap', pemerintah kemudian mengeluarkan statement 'Indonesia Cerah'. Ini kan mengingkari, padahal sebenarnya bukan persoalan Indonesia cerah atau gelap, tetapi yang kita butuhkan adalah bagaimana kejujuran untuk menjadi pijakan menyusun kebijakan. Kalau kita tidak mau jujur terhadap data, kondisi yang sedang kita hadapi, sangat sulit untuk menyampaikan kebijakan yang tepat," tegasnya.
Ia turut mencontohkan bagaimana arah kebijakan moneter yang kontraktif alias mengurangi jumlah uang beredar. Piter mengatakan Bank Indonesia (BI) menyerap likuiditas sehingga jumlah uang di dalam perekonomian Tanah Air semakin terbatas.
Padahal, uang adalah alat untuk melakukan konsumsi dan investasi. Ia menyebut likuiditas perekonomian yang kurang berujung pada menurunnya jumlah serta kualitas konsumsi dan investasi.
IMF dan Bank Dunia baru-baru ini menurunkan proyeksi ekonomi Indonesia menjadi hanya tumbuh 4,7 persen di 2025. Koreksi itu menyusul penerapan tarif resiprokal yang diumumkan Presiden AS Donald Trump, di mana Indonesia menjadi salah satu korbannya dengan besaran 32 persen.
Di lain sisi, Kepala Center Makroekonomi dan Keuangan INDEF M Rizal Taufikurahman memberi lima rekomendasi kebijakan bagi Prabowo Cs. Ini bisa ditempuh sekaligus sebagai respons dari perang dagang di tingkat global.
"Kalau (proyeksi ekonomi) di global cukup mengejutkan IMF, 2,8 persen di tahun ini ... Tentu tantangan besar bagi negara seperti Indonesia untuk menggenjot pertumbuhan di atas 5 persen, apalagi target pertumbuhan ekonomi kita dalam APBN (2025) 5,2 persen," ungkapnya.
"Tahun ini adalah ujung tombak, tahun di mana target pertumbuhan ekonomi pemerintah di akhir periode nanti (2029) mencapai 8 persen. Karena kalau tahun ini (2025) tidak di atas target pertumbuhan ekonomi, rasanya tahun depan juga tantangannya semakin besar untuk mencapai pertumbuhan yang ditargetkan," imbuh Rizal.
Untuk itu, pertama, Rizal menyarankan pemerintah fokus melakukan reindustrialisasi berbasis value chain. Ia meminta negara tak cuma fokus pada hilirisasi atau downstreaming komoditas primer, melainkan mulai bergerak untuk membangun ekosistem industrinya.
Saran kedua adalah reformasi serta optimalisasi kebijakan investasi dan perpajakan, seperti tax holiday yang lebih selektif sampai perbaikan sistem online single submission (OSS). Rizal menyebut opsi ini juga sudah dibahas dalam negosiasi Indonesia dengan Pemerintah AS.
"Daya tarik pasar Indonesia itu besar, tapi sayangnya masih belum optimal, belum jadi magnet. Karena execution gap antara desain kebijakan dengan realisasi di lapangan seringkali terjadi. Para investor tidak hanya butuh 'karpet merah', tapi justru yang lebih penting projectability dan policy stability," beber Rizal.
Ketiga, ia menyarankan adanya kenaikan upah riil dan pemberian perlindungan sosial yang adaptif. Ini dianggap bisa mendorong konsumsi yang berkualitas bagi masyarakat Indonesia, khususnya para tenaga kerja.
Keempat, memperkuat sektor keuangan domestik dan pembiayaan inklusif. Sedangkan rekomendasi kebijakan yang kelima adalah menjaga stabilitas makroekonomi, yakni mencakup inflasi, nilai tukar rupiah, sampai defisit fiskal.
(skt/pta)