Jakarta, CNN Indonesia --
Saya bersyukur pernah menjadi salah satu perintis Timnas Putri Indonesia. Rasa bangga dan cerita indah di lapangan akan selalu menjadi kenangan abadi dalam hidup saya.
Sebenarnya saya tak pernah bercita-cita sebagai atlet sepak bola wanita. Cabang olahraga itu bahkan belum populer saat saya mulai terjun menekuni olahraga.
Sejak kecil saya memang hobi olahraga. Pernah juga menjadi atlet tim bayangan PON DKI di cabang olahraga atletik nomor 400 dan 800 meter putri. Mungkin sekarang namanya atlet Pra PON atau tim seleksi PON.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi tiba-tiba di tengah masa persiapan tim bayangan PON, saya diajak teman latihan sepak bola remaja Buana Putri. Kalau tidak salah sekitar tahun 1968, setahun sebelum klub Buana Putri berdiri.
Awalnya cuma iseng-iseng saja dan tidak punya ekspektasi lebih. Soalnya saya sama sekali tidak mengerti sepak bola. Namun entah kenapa, ternyata saya langsung jatuh cinta. Tapi, pelatih atletik saya marah dan diultimatum.
"Kamu mau pilih sepak bola atau atletik?" kata pelatih saya. Karena kadung jatuh cinta, saya pilih sepak bola.
Kenapa saya pilih sepak bola? Mungkin karena olahraga permainan yang tidak membosankan makanya saya langsung suka. Jadilah saya dicoret dari tim bayangan PON DKI.
Memang semuanya harus dimulai dari awal lagi. Saya harus pelajari teknik dasar lebih dulu. Mulai cara menendang, mengontrol, sampai kemudian masuk ke strategi atau taktik permainan.
Foto repro Mantan pemain Timnas Putri Indonesia Transkrip Katrina Neeltje Hosang (Katrina Muhardi). (CNNIndonesia/Abdul Susila)
Karena punya dasar pelari, jadi mereka senang saya punya kecepatan dibanding pemain lain. Akhirnya dibentuk Buana Putri tahun 1969.
Posisi saya adalah pemain kanan atau kiri luar. Mungkin sekarang pemain sayap atau bisa juga penyerang. Setelah sering berlatih, saya akhirnya lolos seleksi bahkan terpilih masuk tim utama Buana Putri.
Kami mulai melakoni laga uji coba hingga turnamen segitiga melawan klub-klub putri Indonesia yang juga mulai bermunculan. Seingat klub putri yang lebih dulu berdiri adalah Putri Priangan, Bandung.
Awal-awal kami selalu kalah lawan Priangan. Tapi, lama-kelamaan bisa mengimbangi hingga akhirnya menang lawan mereka. Seingat saya ada juga Putri Mataram dari Jawa Tengah, Putri Setia dari Jawa Timur. Lainnya saya sudah agak lupa.
Saya makin sering mendapat jam terbang sebagai pemain inti. Mungkin karena saat itu belum banyak pesepakbola putri atau barangkali kualitas saya saat itu terbilang bagus dibanding pemain lain.
Kebetulan pelatih tim Buana Putri, Muhardi, akhirnya jadi suami saya di tahun 1972. Dia sebelumnya pemain Buana Putra yang kemudian ditunjuk melatih Buana Putri.
Kadang merasa tidak enak juga dengan rekan setim yang lain. Mereka mungkin ada yang bilang saya selalu terpilih masuk tim inti karena pelatihnya suami sendiri. Tapi, saya tidak peduli karena memang saya merasa punya kualitas. Bukan karena nepotisme.
Katrina Muhardi saat aktif sebagai pesepakbola putri. (Foto Repro Pribadi Katrina Neeltje Hosang oleh CNN Indonesia/Abdul Susila)
Saya menekuni sepak bola karena cinta, bukan karena uang. Karena memang saat itu kami tidak ada kontrak atau bahkan gaji bulanan. Jadi belum bisa jadi profesi yang menjanjikan.
Kondisi itu membuat saya menekuni sepak bola sambil bekerja sebagai finance di sebuah perusahaan swasta kawasan Sudirman, Jakarta Pusat. Kadang-kadang curi waktu ikut latihan, tapi balik ke kantor lagi sebelum jam pulang. Hehehe...
Banyak sekali suka-dukanya jadi pesepakbola wanita zaman itu. Pernah kesulitan dapat pinjaman lapangan hingga akhirnya latihan di bawah pohon-pohon di Senayan seberang lapangan ABC.
Sering nabrak pohon. Tapi, di satu sisi mungkin pergerakan jadi lebih hati-hati karena kita juga harus usaha menghindari pohon. Miris, tapi seru juga kalau diingat-ingat.
Setelah menjadi andalan di Buana Putri, saya juga selalu terpilih masuk Timnas Putri. Buat saya, pengalaman indah di Timnas sungguh tak terbayar oleh materi. Karena, mungkin kondisi saat itu belum memungkinkan untuk dikelola secara profesional. Wong, PSSI saja tidak dukung-dukung amat.
Baca di halaman berikutnya>>>