Meski seru dan sangat menampilkan ciri khas Bong Joon-ho, Mickey 17 bukan hasil terbaik sang sutradara.
Jakarta, CNN Indonesia --
Sutradara kesayangan sejuta umat, Bong Joon-ho, akhirnya kembali menyapa lewat Mickey 17. Film ini bagaikan minuman segar yang melepas dahaga penonton setelah 'puasa' panjang enam tahun sejak Parasite (2019).
Penantian lama itu terbayar karena Mickey 17 berhasil dikemas menjadi tontonan seru serta menyentil, selagi tetap terasa "Bong Joon-ho banget".
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sentuhan Bong Joon-ho itu, bagi saya, begitu terasa karena Mickey 17 punya materi, modal, dan eksekusi yang menunjang sang sutradara. Modal pertama datang dari Mickey7, novel yang menjadi sumber adaptasi Mickey 17.
Novel itu bagai santapan lezat bagi BJH yang suka mengawinkan berbagai materi menjadi satu cerita kompleks. Tebakan saya, kegilaan sang penulis yang tertuang dalam karakter Mickey Barnes menjadi salah satu pintu masuk Bong Joon-ho saat tergugah membuat Mickey 17.
Modal cerita itu lalu dieksplorasi dengan 'nakal' oleh sang sutradara. Namun, BJH ternyata tidak mengemas Mickey 17 menjadi tontonan bernuansa art house yang rumit.
Ia melakukan banyak penyesuaian agar cerita Mickey 17 lebih membumi dan menghibur. Gaya ini, untungnya, tidak mengendurkan imajinasi Bong Joon-ho untuk tetap menggila sepanjang 137 menit cerita.
Film Mickey 17 (2024):Mickey 17 melaju dengan menyentil berbagai macam isu yang dibalut komedi-komedi gelap khas sang sutradara. Ada perbincangan soal kolonialisme, fasisme, hingga arti kehidupan yang diangkat dengan perspektif unik. (Warner Bros. via YouTube)
Mickey 17 melaju dengan menyentil berbagai macam isu yang dibalut komedi-komedi gelap khas sang sutradara. Ada perbincangan soal kolonialisme, fasisme, hingga arti kehidupan yang diangkat dengan perspektif unik.
Satu hal penting yang kembali dilakukan Bong Joon-ho di Mickey 17 adalah usahanya untuk tidak mencekoki penonton dengan nilai-nilai luhur. Ia lebih suka menyampaikan itu dengan tidak kentara, sehingga yang muncul adalah pertanyaan atau bahan diskusi.
Kualitas cerita itu diperkaya dengan desain karakter dan latar film yang patut diacungi jempol. Visi Bong Joon-ho untuk planet es Niflheim diterjemahkan dengan baik melalui eksekusi audio visual.
Sentuhan sang sutradara lagi-lagi terpampang dalam aspek ini. Sejumlah karakter dan latar bahkan mengingatkan saya dengan karya Bong terdahulu, seperti The Host (2006) dan Okja (2017) ketika melihat Creeper.
Desain itu tampak semakin megah berkat biaya jutaan dolar yang digelontorkan Warner Bros. untuk Mickey 17. Produksi termahal Bong Joon-ho ini melahirkan visual yang bagus berkat set menawan hingga CGI jempolan.
Sang sutradara juga kembali menggandeng Jung Jae-il sebagai komposer, sehingga Mickey 17 semakin hidup berkat scoring musik dari sosok di balik Parasite (2019) tersebut.
Namun, sebagai karya yang sangat Bong Joon-ho, Mickey 17 tak menunjukkan hasil terbaik sang sutradara. Penulisan plot film ini, terutama di bagian tengah, terasa agak kelimpungan dan kebingungan menentukan arahnya.
Catatan ini muncul karena ada banyak subplot dan topik yang ingin dibahas, tetapi menjadi saling tumpuk karena berebut momen membangun narasi. Beberapa adegan akhirnya hanya terasa ekstravaganza, tanpa memberikan dampak besar bagi plot utama Mickey 17.
Poin minus itu untungnya bisa dibalas dengan penampilan mengesankan dari ensambel pemeran Mickey 17. Robert Pattinson, garda terdepan cerita, tampil brilian sebagai Mickey Barnes.
Ia lagi-lagi menunjukkan range acting yang begitu luas ketika memerankan dua iterasi Mickey, yakni Mickey 17 dan Mickey 18. Saya sudah begitu antusias ketika pertama kali melihat Mickey Barnes muncul di trailer.
Cuplikan singkat itu langsung memperlihatkan perubahan drastis Rob Pattinson yang selama ini kita kenal lewat karya-karyanya. Kesan tersebut semakin terasa sejak awal Mickey Barnes memperkenalkan diri dalam cerita.
Review Mickey 17: Naomi Ackie, Mark Ruffalo, dan Toni Collette menyempurnakan aksi brilian Pattinson berkat performa mereka sebagai pemeran pendukung. (Warner Bros. Pictures via IMDb)
RPattz, sapaan akrabnya, bak tenggelam dalam sosok expendable polos bernama Mickey Barnes. Namun, kejutan lain ternyata disiapkan sang aktor ketika Mickey 18 "lahir" di tengah cerita.
Ia sanggup menawarkan versi kloningan itu menjadi sosok yang kontras, tetapi masih memiliki jiwa seorang Mickey Barnes. Cara Pattinson membawa karakter ini pun begitu detail, hingga soal mimik wajah dan tinggi nada suaranya.
Naomi Ackie, Mark Ruffalo, dan Toni Collette menyempurnakan aksi brilian Pattinson berkat performa mereka sebagai pemeran pendukung.
Ackie meneguhkan reputasinya sebagai aktris muda yang menjanjikan sebagai Nasha, kekasih Mickey. Ia menjawab tantangan karakter itu yang melewati berbagai fase kehidupan, dari kisah romantis hingga pertaruhan hidup mati yang genting.
Mark Ruffalo juga begitu bersinar sebagai Kenneth Marshall, pemimpin koloni manusia dengan gaya khas seorang diktator. Akting Ruffalo amat membekas hingga memantik rasa jengkel setiap kali muncul.
Perasaan serupa disalurkan oleh penampilan Toni Collette sebagai Ylfa, istri Marshall. Pasangan itu bagaikan alat bagi BJH dalam menggambarkan sifat orang-orang bermental penjajah dan fasis yang, ironisnya, kerap menempati pucuk kekuasaan.
Tanpa melihat peta persaingan dengan aktor-aktor lain yang belum unjuk gigi, penampilan keempat aktor itu layak mendapat apresiasi dalam musim penghargaan tahun depan.
Bahkan, dua slot nominasi Oscar seharusnya aman menjadi milik Robert Pattinson untuk kategori Best Actor dan Mark Ruffalo untuk Best Supporting Actor.
Sementara bagi Bong Joon-ho, saya juga tak akan heran jika namanya kembali muncul di daftar nominasi Best Director. Meski begitu, film ini punya tugas berat jika mau banyak berbicara di ajang penghargaan mendatang.
Penayangan Mickey 17 yang jatuh pada awal tahun membuat film ini terancam bernasib seperti Dune: Part Two (2024). Terlebih, deretan film calon kandidat pemenang ajang penghargaan baru tayang pada separuh akhir 2025.
Namun, jika dukungan pencinta sinema dan Dewi Fortuna masih bersama Bong Joon-ho, film ini bisa saja mendulang banyak piala pada musim penghargaan kelak.
(end)