Jakarta, CNN Indonesia --
Wajib pungut selaku aturan Menteri Keuangan Sri Mulyani tiba-tiba dituding Kementerian Perdagangan sebagai biang kerok mahalnya Minyakita.
Harga Minyakita di pasar memang tengah naik ugal-ugalan. Harga eceran tertinggi (HET) dipatok Rp15.700 per liter.
Tapi faktanya, di masyarakat minyak goreng rakyat itu dijual sampai Rp18 ribu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ternyata, kayaknya, salah satu tantangan BUMN Pangan mengapa agak susah untuk melakukan distribusi Minyakita ini adalah karena mereka itu membutuhkan relaksasi wajib pungut," kata Staf Ahli Bidang Manajemen dan Tata Kelola Kemendag Iqbal Shoffan Shofwan dalam Rakor Pengendalian Inflasi di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat, Senin (13/1).
Iqbal mengatakan Menteri Perdagangan Budi Santoso langsung bersurat ke Menteri Keuangan Sri Mulyani pada awal 2025 ini.
Sang Bendahara Negara diminta bisa merelaksasi aturan wajib pungut atas pembelian Minyakita oleh BUMN Pangan.
Kemendag yakin betul cara ini ampuh menekan harga Minyakita. Kendati, Iqbal tak membeberkan data pasti soal berapa sumbangsih wajib pungut dalam mengerek harga minyak goreng rakyat.
Lantas, apa sebenarnya wajib pungut?
Wajib pungut merupakan pihak yang ditunjuk Kementerian Keuangan untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan pajak pertambahan nilai (PPN) atas transaksi yang terjadi. Perusahaan pelat merah adalah salah satu pihak yang mendapatkan mandat tersebut.
Dengan begitu, BUMN Pangan berperan sebagai pemungut pajak dari produsen Minyakita. Minyak goreng rakyat itu memang dikenakan PPN oleh pemerintah dengan tarif 11 persen.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2021 menjadi dasar hukum wajib pungut. Beleid ini mengatur tentang tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN atau PPnBM oleh BUMN dan perusahaan tertentu yang dimiliki secara langsung oleh BUMN sebagai pemungut PPN.
Aturan itu kemudian diperbarui dalam PMK Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan. Khusus untuk wajib pungut dijabarkan pada Bagian ke-14 beleid tersebut, dimulai dari Pasal 291.
"Pemungut PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 291 ayat 1 wajib menyetorkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah dipungut dengan menggunakan surat setoran pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan surat setoran pajak, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah masa pajak dilakukannya pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berakhir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPN," bunyi Pasal 296 ayat 2, dikutip Selasa (14/1).
"Dalam hal rekanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 291 ayat 1 tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 ayat 1 dan ayat 4, rekanan dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan," sambung Pasal 297 ayat 1.
Wajib pungut juga terancam sanksi jika tak patuh dalam memungut PPN atas barang atau jasa kena pajak dari rekanan.
Sementara itu, Direktur Next Policy Yusuf Wibisono menilai wajar jika pada akhirnya Kemendag teriak meminta relaksasi wajib pungut. Ia melihat ada peluang harga yang bisa ditekan andai Minyakita bebas PPN.
"Minyakita termasuk objek pajak dan terkena kewajiban PPN dengan tarif 11 persen. Karena beban PPN ini, tentu harga Minyakita menjadi lebih mahal," ucapnya kepada CNNIndonesia.com.
"Pembebasan Minyakita dari kewajiban PPN dipastikan akan menekan turun harga yang saat ini di kisaran Rp17 ribu-Rp19 ribu per liter, jauh di atas harga yang ditetapkan pemerintah Rp15.700 per liter," sambung Yusuf.
Di lain sisi, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mempertanyakan masalah pungutan ini dengan rantai pasok distribusi Minyakita. Ia menilai tak ada korelasi antara lonjakan harga di pasar dengan mandat wajib pungut kepada BUMN Pangan.
Huda mengatakan selama ini pungutan atas barang dan jasa kena pajak itu disetorkan langsung kepada negara. Tujuan wajib pungut adalah mengamankan penerimaan negara agar tidak disalahgunakan pihak yang menjual barang kepada pemerintah, baik ke kementerian/lembaga (K/L) maupun BUMN.
Sang ekonom justru menyoroti begitu panjangnya rantai pasok Minyakita di pasar. Pada akhirnya, ini yang membuat harga minyak goreng rakyat itu tak terkontrol.
"Saya menduga ini (wajib pungut) sebagai 'kambing hitam' saja dari kinerja Kemendag yang gagal menurunkan harga Minyakita ke level HET," ucap Huda.
"BUMN Pangan tidak punya infrastruktur yang kuat untuk memotong rantai distribusi tersebut. Seharusnya BUMN Pangan bisa menjadi ujung tombak penjualan Minyakita secara langsung ataupun (melalui) kerja sama dengan BUMD," sambungnya.
Pada November 2024 lalu, Mendag Budi sebenarnya pernah menjelaskan di hadapan Komisi VI DPR RI soal alur distribusi Minyakita. Ia menekankan amanat yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2024.
Budi menjelaskan bahwa distribusi Minyakita seharusnya hanya berasal dari produsen, distributor 1 (D1), D2, lalu pengecer.
"Namun, di lapangan ini ada terjadi beberapa transaksi (penjualan Minyakita) dari pengecer ke pengecer," kata Budi saat itu.
(skt/agt)