Jakarta, CNN Indonesia --
Akademisi menilai para kreator atau pun pemain film remake yang menuai kontroversi, seperti yang terjadi dengan A Business Proposal, sebaiknya tidak membela diri ketika mendapatkan kritikan atau penilaian pedas dari penggemar konten asli proyek tersebut.
Menurut akademisi film yang juga produser, Satrio Pepo Pamungkas, hal itu karena penonton apalagi penggemar konten asli yang jadi bahan remake sudah punya standarnya sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ketika film [remake] itu jadi, maka sineas atau pemain ini enggak berhak untuk membela diri, karena sudah dipersepsikan oleh penonton masing-masing, ketika karya sudah disalurkan ke penonton, maka production of meaning film itu sudah dimiliki penonton semuanya," kata Satrio Pepo.
"Jadi, pembelaan diri itu tidak lumrah, dan tidak boleh sebenarnya, karena penonton semua punya ekspektasi dan interpretasi masing-masing di kepala mereka secara pemaknaan," katanya.
"Nah makanya, ketika kita membuat sebuah film, kita mesti paham betul bagaimana film ini nantinya, seperti apa ke penonton, dengan cara apa? Riset, lihat penonton seperti apa, diskusi, FGD, dan lain-lain. Ini untuk pendekatan," paparnya.
Akademisi menilai para kreator atau pun pemain film remake yang menuai kontroversi, seperti yang terjadi dengan A Business Proposal, sebaiknya tidak membela diri ketika mendapatkan kritikan atau penilaian pedas dari penggemar konten asli proyek tersebut. (dok. Falcon Pictures via YouTube)
Satrio Pepo menjelaskan, situasi tersebut terjadi karena proyek remake yang bertujuan untuk komersil sangat membutuhkan keberadaan para penggemar konten aslinya untuk bisa mencapai tujuan ekonomi.
Hubungan tersebut yang kemudian menjadikan faktor "penonton adalah raja" menjadi tidak terhindarkan. Hal ini jauh berbeda ketika proyek tersebut tidak bertujuan atau memiliki beban ekonomi untuk meraih keuntungan, seperti pada film-film untuk kompetisi festival.
Meski begitu Satrio Pepo juga tak menampik bahwa setiap sineas dan pemain pun memiliki pendapat dan pemahamannya tersendiri dalam membawakan perannya, sebagai kebebasan kreatif seorang seniman.
Akan tetapi, ketika kritik hingga cancel atau boikot terjadi, Satrio Pepo menilai hal tersebut sebagai hal yang wajar lantaran kritik terhadap sebuah karya adalah hal yang lumrah sebagai bentuk interpretasi atas karya seni.
Para penggemar webtun dan drama Korea A Business Proposal menyerukan boikot karena Abidzar Al Ghifari yang dianggap tidak cocok sebagai pemeran utama, dan perilakunya yang dinilai arogan dan menghina penggemar saat menanggapi kritikan tersebut. (dok. Falcon Pictures via YouTube)
Hal serupa juga berlaku untuk pihak studio. Maka dari itu, studio ia nilai wajib memahami segala risiko yang akan mungkin terjadi sebelum menggarap proyek remake, terutama dari negara yang budayanya sudah sangat dikenal oleh target pasarnya.
"Biarkan karya ini bergulir di ruang diskusi masyarakat, harusnya seperti itu. Itu jadinya hidup secara ekosistem karya," kata Satrio Pepo.
Nasihat ini diberikan setelah film A Business Proposal versi Indonesia yang digarap oleh Falcon Pictures dan dibintangi Ariel Tatum serta Abidzar Al Ghifari flop setelah gelombang boikot dan cancel dari para penggemar konten aslinya.
Para penggemar webtun dan drama Korea A Business Proposal menyerukan boikot karena Abidzar Al Ghifari yang dianggap tidak cocok sebagai pemeran utama, dan perilakunya yang dinilai arogan dan menghina penggemar saat menanggapi kritikan tersebut.
Imbasnya, angka penonton A Business Proposal melempem pada dua hari pertama. Minim penonton tersebut membuat bioskop secara perlahan tapi pasti memangkas layar dan berujung peluang film ini mendapatkan penonton menyempit.
Kemungkinan turun layar itu pun menjadi semakin besar jika tren film lain meningkat, seperti Petaka Gunung Gede hingga 1 Kakak 7 Ponakan yang masih mendulang angka penonton.
Di sisi lain, film blockbuster seperti Captain America: Brave New World juga berpotensi 'melahap' A Business Proposal saat mulai tayang pada 12 Februari 2025.
(end)