Review Film: Conclave

6 days ago 9

img-title Endro Priherdityo

Meski secara packaging Conclave sudah cukup layak untuk mendapatkan nominasi penghargaan, berbagai isu sosial dalam film ini adalah yang paling penting.

Jakarta, CNN Indonesia --

Conclave mungkin sedikit dari film nominasi Best Picture Oscar 2025 yang meninggalkan kesan 'ketagihan' bagi saya untuk kembali menyaksikannya.

Ada sejumlah alasan mengapa film yang awalnya terasa sangat membosankan ini, kemudian malah menjadi tontonan yang mengubah posisi duduk saya menjadi sangat serius dan hanyut dalam ceritanya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pertama, naskah yang dibuat Peter Straughan dari novel bertajuk sama karya Robert Harris ini sungguh cerdas. Straughan seolah bukan membuat drama thriller politik, tapi seperti membuat film penuh dengan teka-teki pembunuhan.

Kisah Conclave yang dibuka dengan cerita kematian misterius Sri Paus jelas menjadi gerbang sekaligus alasan utama mengapa kemudian penonton teralihkan dan mau mengikuti investigasi Kardinal Lawrence.

Straughan memilih untuk memberikan petunjuk asli dan petunjuk 'tipuan' secara menyebar sejak awal-awal cerita yang kemudian membuat tempo menjadi sangat lambat untuk diikuti.

Namun hingga pada satu babak, intensitas mulai menanjak dan terus menanjak, membuat posisi duduk tak bisa lagi asal-asalan, dan perlahan mengikuti skandal demi skandal yang terkuak selama 120 menit.

Yang membuat saya sungguh takjub adalah, ini semua terjadi hanya dalam sebuah rapat. Ya, film ini intinya sebenarnya cuma soal drama dan intrik politik dalam sebuah rapat.

Conclave (2024)Review Conclave (2024):Kisah Conclave yang dibuka dengan cerita kematian misterius Sri Paus jelas menjadi gerbang sekaligus alasan utama mengapa kemudian penonton teralihkan dan mau mengikuti investigasi Kardinal Lawrence. (dok. Focus Features via IMDb)

Meski begitu, rapat tersebut berisi isu sosial dari berbagai topik. Bukan cuma itu, Straughan juga menyediakan berbagai punchline yang menohok dan tersedia untuk semua jenis kalangan penonton.

Beruntungnya, naskah cerdas dari Straughan tersebut diorkestrasi secara apik oleh Edward Berger, diwujudkan dengan ciamik oleh para pemain, serta dibantu dengan skill mantap dari para kru.

Berger jelas paham bagaimana mewujudkan cerita Straughan dalam gambar bergerak. Dari awal, Straughan dan Berger macam duet mastermind yang sedang merancang sebuah konspirasi rumit dan mindblowing.

Berger juga memoles cerita tersebut dengan sentuhan visual yang apik. Dibantu Stephane Fontaine, keduanya menghasilkan salah satu sinematografi paling cantik yang saya lihat di antara nominasi Best Picture Oscar 2025.

Sutradara Swiss-Austria-Jerman tersebut tahu betul posisi dan komposisi gambar yang cakep dan sungguh memanjakan mata. Bahkan saya seolah sedang melihat salindia karya-karya pemenang lomba fotojurnalistik.

Hal ini wajar mengingat Berger juga punya pengalaman yang serupa dengan film All Quiet on the Western Front (2022) dan film itu berhasil mengantongi piala Oscar untuk Best Cinematography. Tetapi tetap saja, saya jatuh cinta dengan sajian visual dari Berger untuk Conclave.

Conclave (2024)Review Conclave (2024):Ralph Fiennes, John Lithgow, Lucian Msamati, Isabella Rossellini, Carlos Diehz, dan Sergio Castellittoadalah pion-pion yang menghidupkan cerita Conclave. (dok. Focus Features via IMDb)

Peran para pemain dalam mewujudkan imaji Berger dan Straughan juga patut mendapatkan tepuk tangan. Ralph Fiennes, John Lithgow, Lucian Msamati, Isabella Rossellini, Carlos Diehz, dan Sergio Castellitto menurut saya adalah pion-pion yang menghidupkan cerita Conclave.

Mereka memerankan karakternya dengan sangat apik, membawakan dialog-dialog tajam dengan permainan emosi serta intonasi yang pas, hingga pertunjukan detail ekspresi yang menebalkan suasana cerita.

Maka rasanya wajar bila dialog-dialog tajam yang sudah disiapkan Straughan akan tersampaikan dengan sempurna kepada penonton karena permainan para aktor dan sajian dramatik dari Berger.

Selain itu, saya menyoroti desain produksi yang juga membuat saya terpukau, apalagi mengingat biaya produksi film ini 'hanya' US$20 juta.

Sehingga, saya hanya bisa menduga apakah kru desain produksi yang sangat jago dalam membuat set dengan bujet yang hemat, atau tim editing yang lihai dalam merekayasa tampilan film ini. Siapa pun yang terlibat, bellissimo!

Volker Bertelmann selaku direktur musik Conclave juga punya peranan sangat penting dalam membangun suasana cerita. Bartelmann bagai menempatkan penonton dalam kesakralan prosesi liturgi, hingga ikut bikin deg-degan saat mengikuti investigasi dan berbagai skandal yang terkuak.

[Gambas:Video CNN]

Meski secara visual maupun tata suara Conclave sudah cukup layak untuk mendapatkan nominasi penghargaan, bagi saya berbagai isu sosial yang dibawa Harris dan Straughan dalam film ini adalah hal yang paling penting.

Conclave menunjukkan bahwa benturan ideologi juga akan terjadi di dalam tataran lembaga yang semestinya sudah dalam pemahaman yang sama.

Selain itu, bahkan dalam lembaga yang berdasarkan ketaatan kepada Tuhan dan pengabdian kepada umat manusia, motif politik duniawi juga tak bisa dilepaskan dari sana. Hal ini menegaskan esensi manusia yang memang tak bisa dilepaskan dari sifat keduniawian dan ketidaksempurnaan.

Mungkin hal itu pula yang menguatkan mengapa Conclave sangat layak untuk masuk jajaran Best Picture Oscar 2025. Bahkan bagi saya, ini lebih baik dibandingkan film dengan raihan nominasi terbanyak dan yang sering dibahas di media sosial.

[Gambas:Youtube]

(end)

Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi