Review Film: Late Night with the Devil

5 days ago 7

img-title Endro Priherdityo

Hati-hati, dengan Late Night with the Devil, durasi 95 menit pun tak terasa.

Jakarta, CNN Indonesia --

Bila bisa dianalogikan dengan makanan, Late Night with the Devil mungkin seperti camilan pedas yang saat dimakan punya sensasi menggigit, tapi entah kenapa membuat ketagihan hingga tak sadar sudah habis.

Cerita yang dibuat oleh sineas kakak-adik asal Australia, Colin dan Cameron Cairnes, ini bagai sajian segar yang gurih bagi pencinta horor. Terasa baru, tetapi juga lawas dan klasik pada hal yang bersamaan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengusung tema '70-an di mana kultur okultisme masih kencang terasa nafasnya di tengah masyarakat, dicampur dengan industri media juga hiburan yang kerap disangkutpautkan dengan konspirasi, tak heran Late Night with the Devil bagai cerita gosip tetangga: seru dan sayang bila terlewatkan.

Carines bersaudara benar-benar membawa penonton bagai menyusuri 'temuan' rekaman soal episode fenomenal dari sebuah acara televisi era baheula yang 'hilang'.

Cara Carines bersaudara menuturkan episode hilang tersebut pun tak seperti film horor kebanyakan. Carines bersaudara pada dasarnya memang membuat naskah sebuah episode televisi, yang kemudian dilanda teror tepat saat siaran langsung.

Namun hal yang sangat saya apresiasi dari cara Carines bersaudara ini adalah keputusan mereka menyisipkan narasi dokumenter di awal film. Dengan begini, penonton akan memiliki materi yang cukup untuk memahami apa yang sebenarnya dibahas dalam 'episode yang hilang' itu.

Late Night with the Devil menjadi sensasi di kalangan pencinta film horor. Film ini menawarkan kejadian mistis yang terjadi dalam sebuah acara televisi yang berupaya untuk mendongkrak rating.Review film Late Night with the Devil: Late Night with the Devil bagai cerita gosip tetangga, seru dan sayang bila terlewatkan. (dok. IFC Films via YouTube)

Bukan cuma itu, dengan penuturan cerita latar di awal, segala konflik tersembunyi yang ada di balik karakter-karakternya juga lebih mudah dibaca dan dipahami penonton. Pada saat inilah, film ini sungguh terasa acara gosip larut malam dengan sensasi horor menggelitik.

Cara Carines bersaudara yang sangat menyenangkan ini kembali mengingatkan saya akan Talk to Me (2022) yang juga dibuat oleh sineas asal Australia, Danny dan Michael Philippou.

Mengingat James Wan juga berasal dari Australia, saya yang lahir di negara yang dikenal dengan berbagai cerita klenik dan horor, sejujurnya merasa tersindir. Apakah mungkin sudah waktunya sineas Indonesia dan Thailand berkolaborasi dengan Australia untuk mengembangkan horor?

Kembali ke acara setan ini. Selain dari pada cerita yang sudah solid dan kuat, Carines bersaudara menguatkan suasana horor Late Night with the Devil dengan alur yang apik dan desain produksi yang saya nilai sempurna.

Saya malah lebih terpukau pada aspek desain produksi film ini. Mulai dari set, wardrobe, properti, look, poster, hingga urusan artistik dan mood, semuanya in line dengan tema dan on point. Tak lupa untuk urusan sinematografi, efek visual, hingga scoring, semuanya terukur dengan sempurna.

[Gambas:Video CNN]

Sekilas saya merasa, film ini terlihat sebagai film dengan bujet rendah. Ditambah, memang kabarnya film ini harus memangkas banyak bujet dan syuting dengan jadwal ketat demi penghematan.

Namun justru tampilan yang sederhana, bahkan cenderung lawas inilah yang menjadi sensasi berbeda dari Late Night with the Devil.

Ini seperti mengingatkan saya saat pertama kali melihat Suzanna dalam Sundelbolong (1981) dan menunjukkan pinggangnya yang berlubang, tapi dengan efek yang lebih nendang: ada sensasi creepy.

Carines bersaudara juga tampaknya paham betul efek mana yang perlu benar-benar dijaga untuk menguatkan cerita horor film ini, selain dari pada yang saya yakini niat awalnya adalah untuk menjaga bujet agar tak bablas. Hasilnya tak sia-sia, beberapa efek justru membuat saya agak kaget.

Cerita yang solid dari Late Night with the Devil jelas menjadi pemain utama film ini hingga durasi 95 menit terasa begitu singkat.

Late Night with the Devil menjadi sensasi di kalangan pencinta film horor. Film ini menawarkan kejadian mistis yang terjadi dalam sebuah acara televisi yang berupaya untuk mendongkrak rating.Review film Late Night with the Devil: Carines bersaudara benar-benar membawa penonton bagai menyusuri 'temuan' rekaman soal episode fenomenal dari sebuah acara televisi era baheula yang 'hilang'. (dok. IFC Films via YouTube)

Selain itu para pemain yang notabenenya bukan pemain kelas atas tersebut bisa dengan lepas memerankan karakternya tanpa harus terbayang-bayangi ekspektasi penonton. Meski begitu, kredit perlu saya berikan pada Ingrid Torelli yang sangat creepy dalam film ini.

Hanya satu yang saya sayangkan dari film ini, yakni penayangannya di Indonesia adalah lewat layanan streaming. Padahal bila dengan layar lebar, mungkin akan terasa lebih menggigit dan creepy, meski saya juga ragu film ini akan pada sampai taraf sensasional macam The Conjuring.

Meski begitu, Late Night with the Devil jelas menjadi salah satu film horor yang akan saya tonton lagi di masa yang akan datang. Selain karena cerita dan sensasinya, apa karena pengaruh mantra yang diucap dalam 'acara' ini?

[Gambas:Youtube]

(end/end)

Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi