Rasanya tidak berlebihan jika Pengepungan di Bukit Diri adalah film terpenting yang pernah dibuat Joko Anwar.
Jakarta, CNN Indonesia --
Joko Anwar tidak bermain-main ketika menggarap Pengepungan di Bukit Duri setelah naskahnya disimpan selama 17 tahun. Melalui film ini, ia bagaikan membuka Kotak Pandora berisi kenyataan yang siap menampar penonton.
Rasanya tidak berlebihan jika saya melabeli Pengepungan di Bukit Diri sebagai film terpenting yang pernah dibuat Joko Anwar. Ia meluapkan segala keresahan tentang kondisi negeri lewat cerita yang lugas, intens, dan brutal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kelugasan Joko Anwar dalam bertutur terlihat sejak film ini dibuka. Ia tidak segan-segan mengawalinya dengan menggambarkan Indonesia dalam dunia distopia.
Dunia itu penuh dengan masalah sosial, ras, hingga pendidikan yang membuat negara jadi kacau balau. Sebagian besar persoalan itu berakar dari peristiwa tragis 17 tahun lalu yang memicu trauma generasi.
Latar distopia yang dibangun Joko Anwar dalam Bukit Duri terasa seperti mengaburkan batas antara fiksi dan nyata, sehingga cerita film ini terasa dekat meski datang dari imajinasi sutradara.
Batas antara nyata dan semu itu pun semakin terasa karena ceritanya berlatar pada 2027. Tak sama persis dengan apa yang terjadi saat ini, tetapi hanya berjarak dua tahun dari masa sekarang.
Review Film Pengepungan di Bukit Duri (2025): kedekatan cerita film ini dengan kondisi sosial Indonesia juga amat berpotensi memicu trauma sebagian penonton. (Come and See Pictures)
Meski begitu, kedekatan cerita film ini dengan kondisi sosial Indonesia juga amat berpotensi memicu trauma sebagian penonton. Apalagi, ada banyak penonton yang memiliki kesamaan latar belakang dengan para karakter dan memiliki trauma akibat peristiwa pada masa lalu.
Joko Anwar sebenarnya sudah menyikapi risiko itu dengan menyisipkan trigger warning di media sosial, poster film, dan sebelum film diputar.
Namun, rasanya saya perlu sekali lagi mengingatkan bahwa Pengepungan di Bukit Duri dapat memicu trauma karena elemen kekerasan dan ketegangan rasial di dalamnya.
Kemudian, Joko Anwar mengajak penonton lihat dunia distopia itu lebih dekat lewat Edwin (Morgan Oey), karakter utama. Ia dikisahkan sebagai guru baru di SMA Duri, sekolah bagi murid bengal yang tidak lagi 'diterima' di tempat lain.
Cerita yang dibangun dengan kuat pada awal film menjadi semakin intens setelah Edwin menjalani hari pertamanya di SMA Duri. Joko Anwar terus mengatur intensitas cerita agar tetap di level yang tinggi dan bisa memikat penonton secara konsisten.
Eksekusi film ini juga mengejawantahkan gaya khas Joko Anwar, terutama ketika melontarkan komentar sosial dengan balutan thriller yang brutal. Signature style itu kian kentara saat memasuki pertengahan cerita.
Review Film Pengepungan di Bukit Duri (2025): Joko Anwar mengajak penonton lihat dunia distopia itu lebih dekat lewat Edwin (Morgan Oey), karakter utama. Ia dikisahkan sebagai guru baru di SMA Duri, sekolah bagi murid bengal yang tidak lagi 'diterima' di tempat lain. (Come and See Pictures)
Joko Anwar mengubah cara berceritanya dengan mengambil latar terbatas, atau biasa dikenal dengan istilah chamber drama. Gedung SMA Duri menjadi lokasi utama, sedangkan plotnya fokus menyoroti Edwin dikepung murid-murid berandal yang dipimpin Jefri (Omara Esteghlal).
Konsep chamber drama atau chamber piece di sekolah ini mengingatkan saya dengan film ikonis The Breakfast Club (1985). Namun, Pengepungan di Bukit Duri mengusung cerita yang jauh lebih gelap dan mencekam.
Joko Anwar memoles bagian ini dengan sentuhan laga yang brutal dan eksplisit. Aksi demi aksi itu dikemas dengan pengambilan gambar yang mengagumkan.
Momen Edwin terkepung di gelanggang olahraga bersama Diana (Hana Malasan) dan dua muridnya, Kristo (Endy Arfian) dan Fatih Unru (Rangga), turut diwarnai proses negosiasi alot dengan Jefri Cs. Namun, beberapa bagian terasa agak kendor dalam babak ini.
Rasa dibuat menunggu terlalu lama itu mencuat karena tidak semua masalah serta 'twist' bisa tersampaikan dengan optimal. Ada yang berujung gamang, ada pula yang terlalu panjang dalam membangun klimaks.
Untungnya, kesan ini tidak berlangsung lama karena terobati berkat babak ketiga. Jokan akhirnya mampu mengatasi momok karya-karya lampaunya, yakni kesulitan mengakhiri film dengan ending yang memuaskan.
Ketegangan yang dibangun di bagian penutup Pengepungan di Bukit Duri sebanding dengan adegan pembuka. Joko Anwar juga mengakhiri cerita itu dengan menjawab pertanyaan yang menjadi misteri sepanjang cerita.
Perbincangan soal Pengepungan di Bukit Duri juga takkan lengkap jika melewatkan akting memukau para pemerannya, terutama Morgan Oey dan Omara Esteghlal.
Morgan dan Omara membawa karakter masing-masing, Edwin dan Jefri, menjadi dua mata pedang yang sama tajamnya. Keduanya punya sifat yang tampak kontras, tapi sejatinya sama-sama menjadi korban dari trauma lintas generasi.
Mereka juga menghadirkan karakter tersebut dengan detail, sehingga kepribadian Edwin maupun Jefri yang kompleks bisa tersalurkan hingga ke penonton.
Penampilan ini rasanya menjadi aksi terbaik Morgan Oey sejak menekuni seni peran. Omara juga kembali mempertegas reputasinya sebagai aktor muda berbakat sejak menyabet nominasi Pemeran Pendukung Pria Terbaik Piala Citra 2023 lewat Budi Pekerti.
Pengepungan di Bukit Duri memang sangat khas dengan gaya penyutradaraan Joko Anwar. Namun, ada lebih banyak kebaruan dan keberanian yang membuat film ini mencolok di antara filmografi Joko Anwar.
Film itu juga menjadi medium yang paling pas untuk mengingatkan masyarakat tentang trauma bangsa Indonesia, serta menjadi alarm bahwa kejadian serupa mungkin saja terjadi kalau segala masalah yang ada tak kunjung tuntas.
Satu yang tak kalah penting, saya merasa film ini tidak akan berakhir ketika credits title selesai diputar. Pengepungan di Bukit Duri pasti akan berlanjut lewat diskusi-diskusi yang terpantik setelah keluar bioskop.
(end)