Review Pernikahan Arwah: Memiliki setup dan potensi jadi film horor yang segar, tapi eksekusi penceritaannya berujung tidak jelas.
Jakarta, CNN Indonesia --
Pernikahan Arwah sesungguhnya memiliki potensi besar untuk menjadi film horor antimainstream yang sukses di Indonesia. Paul Agusta selaku sutradara berani mengarahkan film dengan latar kisah berbeda dari horor kebanyakan di Indonesia.
Dari judulnya, Pernikahan Arwah ingin mengangkat misteri horor berlatar belakang tradisi masyarakat Cina. Pernikahan arwah atau hantu sesungguhnya bukan hal baru di banyak negara, terutama Asia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara khusus di kalangan masyarakat atau peranakan Cina, pernikahan arwah biasa disebut 冥婚 atau mínghūn yang sudah berlangsung setidaknya sejak Dinasti Han.
Tradisi itu juga sesungguhnya sudah kerap diangkat menjadi tontonan, baik film dan juga serial, dari Taiwan, Korea, Thailand, bahkan Malaysia, walau memang sepertinya tidak begitu dieksplorasi di Indonesia.
Sehingga, kehadiran Pernikahan Arwah dari penulis Ario Sasongko dan Aldo Swastia sebenarnya sangat bisa untuk menjadi pintu bagi masyarakat Indonesia untuk semakin mengenal tradisi yang unik tersebut.
Sayangnya, penulis serta pengarah lebih memilih untuk menghabiskan durasi begitu banyak pada misteri di balik alasan pernikahan arwah perlu terjadi dalam film itu.
Langkah tersebut tidak salah, tapi dari misterinya sendiri pun tak ada yang benar-benar berkesan. Misteri kematian memang biasanya dipasangkan dengan pernikahan arwah. Permasalahan di sini adalah eksekusinya seperti kehilangan arah.
Penceritaan yang begitu lambat hingga formula berulang yang dipakai untuk teror terhadap Tasya (Zulfa Maharani) membuat film ini terasa begitu lama meski berdurasi kurang dari dua jam.
Horor memang tidak selalu mengenai jump scare, tapi pengulangan formula itu juga membuat unsur seram dan tegang menghilang begitu saja seiring berjalannya film.
Padahal, begitu banyak adegan yang berpotensi mendatangkan ketegangan dan seram bagi penonton. Pada akhirnya, adegan-adegan itu berlalu begitu saja karena shot yang digunakan seperti tak pas dengan timing.
Alih-alih fokus pada misteri atau proses pernikahan arwah yang menjadi judul film ini, penulis malah menambahkan permasalahan cinta dengan screentime lebih banyak dan sering disoroti baik di awal hingga akhir.
Alhasil, persoalan pernikahan arwahnya hanya mendapatkan porsi sangat kecil, tak ada yang benar-benar dikupas dari tradisi tersebut, dan ditaruh jelang akhir. Eksekusinya pun bak terburu-buru sehingga menambah kekecewaan.
Begitu pula dengan kupu-kupu yang sebenarnya sudah digunakan sebagai simbol sejak awal, bahkan digunakan sebagai judul Inggris film ini, yakni The Butterfly House, yang benar-benar 'dibebaskan' kepada penonton untuk berinterpretasi sendiri.
Memperkenalkan tradisi pernikahan arwah kepada khalayak ramai sesungguhnya memang bukan tanggung jawab kreator film ini, tapi melihat hasilnya, kreator pun bak kurang mengenal apa yang hendak disampaikan kepada penonton.
Padahal, trailer yang dirilis membuat Pernikahan Arwah cukup menjanjikan untuk menjadi film horor 'serius' kala banyak negara memadukannya dengan komedi.
Review Pernikahan Arwah: Visual dan setting menjadi elemen kuat dan poin utama film ini. (Entelekey Media (II)/Relate Films via IMDb)
Review Pernikahan Arwah: Meski memiliki visual yang ciamik dan elegan, eksekusi dari ritual pernikahan arwahnya itu sendiri hanya secuplik dan gampang lalu. (Entelekey Media (II)/Relate Films via IMDb)
Kendati demikian, ada hal yang sangat layak untuk diapresiasi dari Pernikahan Arwah, yakni visual. Meski tidak menyeramkan, film ini memiliki visual aspek-aspek peranakan yang patut diacungi jempol karena begitu cantik.
Pada akhirnya, Pernikahan Arwah merupakan salah satu film yang berupaya menghadirkan film horor dengan warna dan eksplorasi budaya baru dengan visual yang begitu apik dan elegan, meski narasi dan penceritaannya perlahan kehilangan arah.
Pernikahan Arwah tayang sejak 27 Februari di bioskop.