Riwayat Banjir Bekasi yang Tak Pernah Tamat

13 hours ago 2

Jakarta, CNN Indonesia --

Banjir kembali merendam Kota Bekasi dan melumpuhkan aktivitas warganya pada Selasa (4/3).

Sebanyak 22.856 kepala keluarga (KK) dilaporkan terkena dampak banjir yang merendam hampir semua wilayah di Kota Bekasi, Jawa Barat. Jumlah itu tersebar di delapan kecamatan dan lebih dari 26 kelurahan.

Ini bukan kali pertama banjir merendam Bekasi. Sejarah mencatat wilayah ini rentan dilanda banjir, bahkan sejak zaman kerajaan Tarumanegara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masalah banjir Bekasi telah dicoba untuk selesaikan pada masa Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara. Kala itu, Raja Purnawarman melakukan penggalian sungai yang saat ini menjadi Kali Bekasi dan Kali Cakung sebagai cara untuk mengendalikan banjir.

Upaya pengendalian banjir pada lebih dari 1500 tahun lalu ini tercatat dalam Prasasti Tugu yang ditemukan di Kampung Batutumbuh, Desa Tugu, Koja, Jakarta Utara.

Peneliti Arkeologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Harry Sofian menyebut prasasti itu keluar setelah proyek penggalian selesai dan banjir bisa dikendalikan.

"Raja Purnawarman melakukan penggalian di dua sungai yaitu Sungai Chandrabaga [Kali Bekasi] dan Sungai Gomati [Kali Cakung] untuk melakukan pengendalian banjir yang kerap terjadi di wilayah Kerajaan Tarumanegara yang saat ini meliputi wilayah Jakarta dan Bekasi," ujar Harry kepada CNNIndonesia.com, Rabu (5/3).

"Dalam prasasti disebutkan jika prasasti tersebut dikeluarkan karena telah selesainya proyek penggalian dua sungai tersebut dan banjir dapat dikendalikan," tambahnya.

Bekasi saat ini telah mengalami perubahan, dengan lahan-lahan pertanian yang berubah menjadi perumahan dan industri. Hal ini lantas meningkatkan risiko banjir di wilayah tersebut.

Dengan demikian, upaya penyelesaian banjir di masa Kerajaan Tarumanegara hanya tinggal cerita sukses di buku-buku sejarah.

Banjir di Bekasi kini disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari peningkatan aliran air di permukaan dan penurunan kemampuan tanah untuk menyerap air. Selain itu, perubahan iklim turut memengaruhi pola banjir Bekasi lewat intensitas dan frekuensi hujan yang terjadi.

Sebelum tahun 2000-an, catatan sejarah menunjukkan beberapa banjir besar pernah terjadi di Bekasi.

"Dari artikel ilmiah dari Surya Zainul Lutfi dengan judul Sejarah Banjir Bekasi 1924-2002, disebutkan banjir besar terjadi 1924, 1926, 1932, 1933, 1934 membuat kawasan Bekasi Raya terendam," tutur Harry, mengutip laporan tersebut.

Bukan cuma salah air kiriman

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bekasi menyatakan banjir yang membuat lumpuh Bekasi disebabkan oleh intensitas hujan yang tinggi serta luapan air melimpah dari wilayah hulu Kali Bekasi yang berada di Puncak, Bogor.

Namun, menurut Jeanny Sirait, Juru Kampanye Isu Keadilan Urban Greenpeace Indonesia menyebut air kiriman atau limpahan itu sebetulnya hanya salah satu penyebab, dan bukan satu- satunya.

Menurut dia masalah utama penyebab banjir di Bekasi, dan wilayah Jabodetabek lainnya adalah alih fungsi lahan besar-besaran.

"Menurut pantauan kami selama kurang lebih 15-16 tahun terakhir, ada alih fungsi lahan besar-besaran yang dilakukan di Jawa Barat. Kalau kita lihat RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) 2009-2029, sangat luas wilayah yang dialokasikan untuk pertanian sebagai bagian dari sumber ketahanan pangan," kata Jeanny.

"Fungsi lainnya adalah wilayah resapan. Tapi kemudian fungsi itu terus menurun sampai sekarang," imbuhya.

Senior Data Strategist Greenpeace Indonesia Sapta Ananda Proklamasi mengatakan data Kementerian Kehutanan menyebut area Bogor, termasuk di antaranya daerah aliran sungai (DAS) Kali Bekasi mengalami alih fungsi lahan menjadi pemukiman sejak 1996 atau sejak reformasi.

Merujuk data Greenpeace, di DAS Kali Bekasi seluas 147 ribu hektare itu, hutan yang tersisa hanya 1.700 hektare atau kurang dari 2 persen total lahan.

"Alih fungsi ini banyak berasal dari lahan produktif yang serapan airnya bagus seperti lahan kering pertanian," katanya.

Sapta juga menyinggung UU 41 Tahun 99 tentang Kehutanan yang mengatur batas minimal hutan. Dalam beleid tersebut, minimal hutan ada 30 persen di pulau, DAS, dan Provinsi.

Namun demikian, aturan tersebut telah dihapus di UU Ciptaker, sehingga saat ini, tidak ada aturan yang mengawal batas minimal kawasan hijau.

Infografis Asal Muasal Banjir yang Buat Bekasi LumpuhAsal Muasal Banjir yang Buat Bekasi Lumpuh (Foto: Basith Subastian/CNNIndonesia)


Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi