Jakarta, CNN Indonesia --
Indonesia diperkirakan kehilangan potensi pendapatan US$200 miliar atau setara Rp3.280 triliun gara-gara crazy rich doyan belanja di luar negeri. Sejumlah ekonom menilai pemerintahan Presiden Prabowo Subianto harus berbenah untuk menyetop kerugian ini.
Asumsi kerugian itu bermula dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Ia menyebut masih ada 10 juta orang kelas ekonomi teratas Indonesia yang lebih sering menghabiskan uang di luar negeri.
Pernyataan itu disambut analisis Ketua Himpunan Peritel dan Penyewa Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo. Menurutnya, angka Rp3.280 triliun dihitung dari rata-rata pengeluaran orang kaya Indonesia di negeri orang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Contoh, mereka kalau ke luar negeri itu bisa spend sekitar US$10 ribu-US$20 ribu. Itu rata-rata ya, kan enggak semua orang kaya banget. Rata-rata itu Rp300 jutaan, kalau dikali 10 juta orang berapa itu, dihitung saja loss (kehilangan pendapatan pengusaha dalam negeri)," kata Budihardjo dalam sambungan telepon dengan CNNIndonesia.com, Kamis (16/1).
Jumlah itu, kata Budihardjo, baru memperhitungkan pengeluaran belanja barang, belum termasuk biaya transportasi dan penginapan.
Analis senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny Sasmita menilai ada beberapa hal yang membuat crazy rich lebih senang shopping di luar negeri.
Pertama, soal perbedaan kualitas barang yang dijual di luar negeri dengan di Indonesia. Crazy rich punya selera tinggi yang harus bisa dipenuhi pasar Indonesia.
Kedua, mahal dan ruwetnya beli barang dengan cara impor. Ronny mengatakan ada anggapan di masyarakat Indonesia pajak membuat barang impor naik drastis.
"Sehingga mereka beli di luar negeri, masuk ke Indonesia kadang-kadang juga bisa tidak kena pajak karena dia beli di luar. Ini juga jadi catatan," kata Ronny saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (16/1).
Menurut Ronny, para crazy rich menghabiskan duit di luar negeri tak sekadar berbelanja. Aktivitas shopping menjadi efek ikutan dari kegiatan wisata. PR pemerintah agar ribuan triliun uang crazy rich tak lari ke luar negeri adalah memastikan objek wisata Indonesia jadi tujuan vakansi orang-orang kaya.
"Destinasi di Indonesia itu harus menjadi tujuan utama dari orang Indonesia sendiri dulu. Jadi orang kaya yang biasa ke luar negeri harus diarahkan untuk berwisata di dalam negeri," ujar Ronny.
Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Pengamat Ekonomi Yusuf Rendy Manilet mengungkap sejumlah faktor pemicu lainnya. Pertama, pemerintah tak bisa menjamin keaslian barang mewah yang beredar di Indonesia. Isu soal orisinalitas itu membuat crazy rich ogah belanja barang mewah yang mereka incar.
Kedua, pajak yang terlalu tinggi. Yusuf mengatakan beberapa negara mengurangi pajak jika membeli langsung di lokasi-lokasi tertentu.
"Pada nominal tertentu pajak pembelian itu bisa dikembalikan kepada si pembeli," ucap Yusuf.
Alasan lainnya adalah belanja di dalam negeri kurang menarik. Yusuf berkata sejumlah negara mulai membuat atraksi bagi turis agar doyan berbelanja. Ia mencontohkan Singapura yang menyulap Bandara Changi menjadi pusat perbelanjaan. Bandara yang semestinya hanya menjadi tempat orang bepergian dilengkapi dengan berbagai atraksi.
"Di Changi kan banyak atraksinya, bahkan ada bioskop dan fasilitas-fasilitas lainnya. Mungkin itu yang bisa dijiplak oleh pemerintah Indonesia untuk menarik minat crazy rich," ujarnya.
Menurutnya, pemerintah harus punya rencana cadangan merespons kebiasaan orang kaya belanja di luar negeri. Pemerintah bisa berfokus meningkatkan konsumsi kelas menengah. Memang, daya beli kelas menengah jauh dibandingkan para crazy rich, tetapi jumlah masyarakat kelas menengah jauh lebih banyak.
"Dalam waktu dekat, ya kelas menengahnya saja diperkuat untuk bisa spending dengan mungkin angka yang tidak begitu jauh dari crazy rich," ujar Yusuf.
Penguatan kelas menengah, kata Yusuf, bisa dilakukan dengan menaikkan upah dan menurunkan tarif pajak. Selain itu, pemerintah juga disarankan menambah subsidi di bidang transportasi dan pendidikan.
Menurut Yusuf, dua sektor itu memakan banyak porsi pengeluaran kelas menengah. Bila pos-pos itu bisa ditambal, ia yakin kelas menengah akan lebih banyak mengeluarkan uang untuk konsumsi.
"Misalnya subsidinya ditambah, jadi pengeluarannya bisa dialihkan ke konsumsi," ucapnya.
(pta/pta)