Sri Mulyani Cuma 'Tumbal' Minyakita Mahal, Apa Biang Kerok Sebenarnya?

4 days ago 8

Jakarta, CNN Indonesia --

Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencari 'kambing hitam' di balik kegagalannya menurunkan harga Minyakita yang sudah ugal-ugalan di pasar.

Sistem Pemantauan Pasar Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kemendag mencatat harga minyak goreng rakyat itu tembus Rp17.400 per liter. Padahal, harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah adalah Rp15.700 untuk setiap liter Minyakita.

Staf Ahli Bidang Manajemen dan Tata Kelola Kemendag Iqbal Shoffan Shofwan mengira-ngira penyebab mahalnya harga adalah wajib pungut yang ditetapkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Menurutnya, wajib pungut membuat BUMN Pangan kesulitan melakukan distribusi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ternyata, kayaknya, salah satu tantangan BUMN Pangan mengapa agak susah untuk melakukan distribusi Minyakita ini adalah karena mereka itu membutuhkan relaksasi wajib pungut," bebernya dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi 2025 di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat, Senin (13/1).

Wajib Pungut adalah pihak yang ditunjuk oleh Kemenkeu untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN atas transaksi yang terjadi, salah satunya BUMN. Sederhananya, wajib pungut berperan sebagai pemungut pajak dari pihak yang menyediakan barang atau jasa.

Dasar hukumnya, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPN atau PPnBM oleh BUMN dan Perusahaan Tertentu yang Dimiliki secara Langsung oleh BUMN sebagai Pemungut PPN.

Kata Iqbal, Menteri Perdagangan Budi Santoso sampai bersurat ke Menteri Keuangan Sri Mulyani pada awal Januari 2025. Harapannya, sang Bendahara Negara itu bisa memberikan relaksasi wajib pungut.

Iqbal mengklaim langkah ini bakal berkontribusi dalam menekan harga Minyakita. Namun, tidak ada data empiris soal berapa kontribusi wajib pungut terhadap lonjakan harga minyak goreng di pasaran.

"Ini kami anggap sekiranya hal ini dapat diamini atau dikabulkan oleh Kementerian Keuangan, pertama tentu saja akan dapat memperpendek rantai distribusi," ucap Iqbal.

"Ketika itu terjadi (relaksasi wajib pungut), seharusnya itu bisa membantu lebih banyak dalam kontribusi stabilisasi harga jual Minyakita sesuai HET," sambungnya.

Ucapan staf ahli tersebut berbeda dari apa yang diungkapkan Mendag Budi pada November 2024 lalu. Di hadapan Komisi VI DPR RI, ia blak-blakan rantai distribusi yang panjang adalah biang kerok lonjakan harga Minyakita.

Padahal, Budi menekankan ada amanat yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2024. Distribusi Minyakita seharusnya hanya berasal dari produsen, distributor 1 (D1), D2, lalu pengecer.

"Namun, di lapangan ini ada terjadi beberapa transaksi (penjualan Minyakita) dari pengecer ke pengecer," ungkap Budi soal penyebab harga Minyakita melonjak drastis.

Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda dibuat heran dengan penjelasan Kemendag yang mencla-mencle. Ia dengan jelas mencium adanya upaya mengaburkan penyebab sebenarnya.

Huda menjelaskan konteks wajib pungut dalam kasus ini adalah BUMN Pangan mendapatkan mandat memungut pajak pertambahan nilai (PPN) dari produsen Minyakita. Lalu, pungutan itu disetorkan langsung kepada negara.

"Selama ini, wajib pungut digunakan untuk mengamankan penerimaan negara agar tidak disalahgunakan oleh pihak yang menjual barang ke pemerintah, baik (ke) kementerian/lembaga (K/L) ataupun BUMN," jelasnya kepada CNNIndonesia.com.

Ia lantas mempertanyakan rasionalisasi Kemendag menuduh wajib pungut sebagai kendala distribusi Minyakita. Menurutnya, tak ada korelasi antara BUMN Pangan menjadi wajib pungut dengan memperpendek rantai distribusi.

"Saya menduga ini sebagai 'kambing hitam' saja dari kinerja Kemendag yang gagal menurunkan harga Minyakita ke level HET," tegas Huda.

Sang ekonom justru seirama dengan penjelasan Menteri Perdagangan Budi Santoso pada akhir tahun lalu. Huda menilai biang kerok sesungguhnya harga Minyakita sulit ditekan adalah terlalu banyak middleman.

Nailul Huda menyoroti betapa banyaknya perantara dalam distribusi minyak goreng rakyat. Hal tersebut persis dengan identifikasi mendag beberapa waktu belakangan.

"BUMN Pangan tidak punya infrastruktur yang kuat untuk memotong rantai distribusi tersebut," ucapnya menyayangkan.

"Seharusnya BUMN Pangan bisa menjadi ujung tombak penjualan Minyakita secara langsung ataupun (melalui) kerja sama dengan BUMD," imbuh Huda.


Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi