Jakarta, CNN Indonesia --
Hubungan antara Indonesia dan Vatikan genap 75 tahun pada Kamis (13/3). Angka ini menunjukkan betapa harmonisnya Indonesia-Vatikan yang telah mulai menjalin hubungan sejak pengakuan kemerdekaan dan kedaulatan RI oleh Takhta Suci pada 1947.
Takhta Suci pertama kali membentuk Apostolic Nunciatura (Delegasi Apostolik) di Indonesia pada 6 Juli 1947. Keputusan ini membuka pintu bagi negara-negara lain di Eropa dan Amerika untuk mengikuti jejak Vatikan mengakui kedaulatan Indonesia.
Pada 13 Maret 1950 silam, Takhta Suci memulai hubungan diplomatik dengan Indonesia dengan status Internuciatur Apostolik. Status itu kemudian naik menjadi apostolic nunciature (Nunsiatur Apostolik ) pada tanggal 6 Desember 1966.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengakuan kemerdekaan dan kedaulatan RI oleh Takhta Suci kala itu tidak terlepas dari peran diplomasi Mgr Albertus Soegijapranata SJ, Uskup Keuskupan Agung Semarang, yang merupakan uskup pribumi pertama Indonesia.
Karena diplomasinya itu, fondasi hubungan RI-Vatikan semakin menguat hingga Paus Pius XII saat itu melantik Mgr Georges-Marie Joseph Hubert Ghislain de Jonghe d'Ardoye MEP sebagai utusan apostolik pertama, yang kemudian jadi Duta Besar pertama Takhta Suci di Indonesia. Sementara Sukarjo Wiryopranoto menjadi Duta Besar pertama RI untuk Takhta Suci.
Bertahun-tahun hubungan diplomatik Indonesia dan Vatikan berjalan dengan kuat. Selama 75 tahun, tiga kali Paus Vatikan mengunjungi Indonesia. Mereka yakni Paus Santo Paulus VI (1970), Paus Santo Yohanes Paulus II (1989), dan Paus Fransiskus (2024).
Dalam kurun waktu yang sama, empat presiden Indonesia juga mengunjungi Vatikan. Mereka adalah Presiden Soekarno (1956, 1959, dan 1964), Presiden Soeharto (1972), Presiden Abdurrahman Wahid (2000), dan Presiden Megawati Soekarnoputri (2002, 2023, dan 2025).
Terpesona akan Indonesia
Menurut Duta Besar LBBP RI untuk Takhta Suci, Michael Trias Kuncahyono, Vatikan melihat bahwa Indonesia memiliki pengalaman unik dalam mengembangkan persaudaraan dalam kemajemukan, yang bisa dijadikan contoh bagi bangsa lain.
Vatikan memandang nilai-nilai RI yang terkandung dalam Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan ketuhanan "Yang Satu" menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang menarik.
"Takhta Suci, tidak hanya mengapresiasi hal itu, tetapi juga mengaguminya. Apalagi sekarang ini, di mana banyak negara terpecah-pecah karena perbedaan etnis dan agama," kata Trias, dalam keterangannya, Kamis (13/3).
Para Paus, sejak Paus Pius XII hingga Paus Fransiskus, disebut amat mengagumi Pancasila. Dalam pidatonya di Istana Negara, Paus antara lain mengatakan bahwa semboyan nasional Bhinneka Tunggal Ika di Indonesia "menggambarkan dengan baik realitas yang beraneka ragam ini, yaitu masyarakat yang beragam yang bersatu dengan kokoh dalam satu negara."
Indonesia, di sisi lain, memandang Takhta Suci sebagai negara berdaulat tanpa kekuatan militer yang memiliki otoritas spiritual yang jangkauannya melampaui batas negara.
Takhta Suci bergantung pada interaksi yang rumit antara persuasi moral, doktrin teologis, dan perjanjian hukum untuk membentuk keterlibatan internasionalnya, tidak seperti kekuatan tradisional yang menggunakan diplomasi melalui pengaruh ekonomi atau kekuatan militer.
Bagi Takhta Suci, kata Trias, diplomasi bukan instrumen negara betapapun kecilnya, melainkan instrumen institusi keagamaan yaitu Gereja Katolik.
Tujuan utama Vatikan adalah dalam tatanan spiritual, moral dan kemanusiaan, termasuk penghormatan terhadap hak asasi manusia kolektif dan individu. Di antara hak-hak tersebut termasuk hak kebebasan beragama tidak hanya bagi umat Katolik, tetapi juga bagi pemeluk agama lain.
"Maka hubungan dengan Takhta Suci menjadi sangat khas: tidak ada kerja sama ekonomi, militer, dan juga politik. Tetapi penekannya lebih pada kerja sama dalam bidang kebudayaan, sosial, pendidikan, agama, dan lingkungan hidup," ucap Trias.
Kerja sama itu salah satunya ditunjukkan melalui 1729 biarawan/biarawati Indonesia yang belajar, berkarya, dan memimpin biara di berbagai kota di Italia.
Kesamaan pandangan
Menurut Trias, Indonesia dan Vatikan memiliki banyak kesamaan pandangan, sikap, dan posisi terhadap isu-isu internasional, seperti perdamaian. Misalnya dalam isu Palestina, Yaman, Myanmar, Nigeria, Ukraina, dan berbagai wilayah konflik lainnya.
Selain itu, kedua negara juga punya kesamaan pandangan dalam isu hak asasi manusia, hak-hak perempuan dan anak-anak, lingkungan hidup, keamanan pangan, serta keamanan air.
Dalam konflik Israel-Palestina, misalnya, Indonesia dan Vatikan sama-sama mendukung tegas solusi dua negara.
Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Takhta Suci menurut Trias untuk mendukung upaya bersama menegakkan kebebasan beragama, khususnya di Indonesia, yang harus diakui masih ada beberapa catatan.
Selain itu, juga untuk mendorong terciptanya kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat yang majemuk. Hal ini, menurut Trias, harus ditingkatkan di tengah tantangan dunia yang begitu kompleks.
(blq/dna)