Jakarta, CNN Indonesia --
Studi terbaru menunjukkan relief-relief di Candi Borobudur dapat mengungkap lebih dari 80 spesies flora dan fauna. Simak penjelasannya.
Penelitian "Queering Tropical Heritage: Flora and Fauna Reliefs in Karmawibhangga, Borobudur Temple, Indonesia" mengungkap mengungkapkan temuan dari relief Karmawibhangga, salah satu dari 1.460 relief yang ada di Candi Borobudur.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dalam laman resminya, menyatakan Candi Borobudur memiliki lebih dari 1.460 relief yang menceritakan banyak hal, seperti Karmawibhangga dan Lalitavistara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terkait flora dan fauna, "lebih dari 80 spesies tumbuhan dan fauna telah teridentifikasi dari kedua narasi cerita tersebut dengan makna kemunculan yang belum banyak diketahui dalam cerita tersebut".
Puluhan spesies flora dan fauna berhasil diidentifikasi dari relief tersebut. Hal ini membuka wawasan baru tentang keanekaragaman hayati yang hidup di wilayah candi saat dibangun.
Relief Karmawibhangga, yang terdiri dari 160 panel, menggambarkan perjalanan manusia dari lahir hingga kematian, mencerminkan hukum sebab-akibat atau karma dalam ajaran Buddha. Di dalam relief ini, para pemahat menggambarkan kekayaan flora dan fauna yang ada di sekitar mereka, memberikan jendela untuk memahami ekosistem alam pada masa itu.
Penelitian tersebut mengungkap flora dan fauna yang digambarkan dalam relief Karmawibhangga bukanlah elemen dekoratif semata. Dengan identifikasi puluhan spesies, tim peneliti menemukan bahwa sebagian besar spesies yang diukir merupakan spesies asli Indonesia yang hidup di kawasan tropis, terutama di Pulau Jawa, tempat Candi Borobudur berdiri.
"Relief flora dan fauna di panel Borobudur menunjukkan proporsi yang akurat dan mendalam, memberikan wawasan tentang kekayaan alam yang diabadikan oleh para pemahat. Identifikasi tumbuhan dan hewan ini sangat penting untuk memahami makna di balik relief tersebut,"ujar Ibnu Maryanto,Profesor Riset dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN yang terlibat dalam penelitian, melansir laman resmi BRIN, Senin (4/11).
Para peneliti memberikan perhatian khusus pada panel nomor O-105, yang dianggap sebagai salah satu panel yang paling kaya dalam menampilkan variasi spesies flora dan fauna. Panel ini menunjukkan sejumlah besar spesies yang hidup di kawasan tropis Indonesia dan diyakini menggambarkan keanekaragaman hayati lokal yang ada di sekitar Candi Borobudur pada saat pembangunannya.
Di antara spesies yang berhasil diidentifikasi adalah beberapa flora yang masih dapat ditemukan di sekitar kawasan Candi Borobudur hingga saat ini, seperti nangka (Artocarpus heterophyllus), mangga (Mangifera indica), dan ketapang (Terminalia catappa).
Lalu ada juga beberapa spesies fauna yang berhasil diidentifikasi diantaranya macan Jawa (Panthera tigris), binturung (Arctictis binturong), burung madu (Nectaridae), musang palem Asia (Paradoxurus hermaphroditus), kijang (Muntiacus muntjak), kancil (Tragulus javanicus), monyet kra (Macaca fascicularis), dan siput atau gastropoda.
Makna terpendam ukiran flora dan fauna
Para ilmuwan menegaskan pemahaman yang lebih mendalam tentang relief Karmawibhangga dapat memberikan wawasan baru tentang interaksi manusia dengan alam di masa lalu.
Studi ilmiah yang dipublikasikan pada tahun 2024 ini juga memperkenalkan pendekatan unik untuk memahami relief ini melalui lensa queer ecology.
Queer ecology adalah pendekatan baru yang menggabungkan teori queer, studi ekologi, serta kajian feminisme untuk menantang pandangan tradisional tentang hubungan manusia dan alam.
Pendekatan ini menekankan bahwa alam, seperti halnya masyarakat manusia, memiliki keberagaman yang tidak selalu dapat dipahami melalui kacamata tradisional. Dalam konteks Borobudur, ini memperkaya interpretasi simbolis dari relief Karmawibhangga, yang tidak hanya berbicara tentang karma manusia, tetapi juga tentang hubungan ekologis yang kompleks antara semua makhluk hidup.
"Kajian dengan perspektif queer ecology ini mempromosikan kesetaraan antara manusia, hewan, tumbuhan, alam, dll serta mengusulkan strategi dekonstruktif untuk mengurangi diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat, dan realitanya fauna, dan flora yang sering terpinggirkan. Dengan demikian mendorong adanya interaksi yang lebih adil dalam konteks sosial, budaya, dan ekologi," jelas Ibnu.
Temuan ini tidak hanya memperluas pemahaman tentang fungsi Candi Borobudur sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat pembelajaran pada masanya. Relief-relief yang menggambarkan flora dan fauna bukan hanya refleksi dari pandangan spiritual masyarakat saat itu, tetapi juga cerminan dari pengetahuan mereka tentang hubungan antara manusia dan alam yang telah dipelajari sejak dahulu.
"Dekonstruksi dan rekonstruksi penggambaran flora dan fauna dalam Karmawibhangga menjadi langkah penting dalam memahami lebih dalam makna yang terkandung di dalamnya. Melalui pendekatan ini, kita dapat melihat bagaimana ornamen-ornamen tersebut bukan hanya sekadar hiasan artistik, tetapi sebagai bagian integral dari ajaran dan budaya Jawa Kuno yang kompleks," kata Ibnu.
"Sebenarnya Borobudur adalah sebuah "BOOK STONE UNIVERSITY", kajian filsafat ilmu kehidupan terbahaskan di rangkaian panel-panel dan stupa mulai dari bawah hingga ke puncak," tambahnya.
(wnu/dmi)