Jakarta, CNN Indonesia --
Dalam beberapa hari ke depan usia pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka akan menyentuh 100 hari.
Sejak pertama kali dilantik, 20 Oktober 2024, sejumlah target dan hal-hal yang telah dan akan dilakukan Prabowo dan Kabinet Merah Putih hingga 2029 sudah disampaikan ke publik.
Di bidang pangan, misalnya, Prabowo ingin Indonesia berswasembada pangan secepat-cepatnya. Tafsir 'secepat-cepatnya' itu telah diterjemahkan sendiri oleh Prabowo dan kabinetnya: target swasembada dimajukan dari 2029 menjadi 2028, lalu dipercepat lagi jadi di 2027.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu, apa warisan penting yang diterima Prabowo dari Joko Widodo yang telah menduduki kursi Presiden 10 tahun sebelumnya?
Menilai 'warisan' itu penting karena ini bakal menjadi modal Prabowo selama berkuasa 5 tahun ke depan. Bukankah Prabowo telah berikrar bahwa pemerintahannya adalah keberlanjutan dari pemerintahan Jokowi? Selain itu, menimbang "warisan" juga perlu agar pemerintahan baru tidak memulai dari awal alias bekerja dari nol.
Namun demikian, artikel ini tidak akan membahas 'warisan' Jokowi dalam swasembada pangan. Artikel ini akan mengulas 'warisan' Jokowi kepada Prabowo di bidang ketahanan pangan? Dari sini Prabowo bisa melakukan perbaikan.
Mengapa ketahanan pangan dan bukan swasembada pangan?
UU Pangan Nomor 18/2012 mengharuskan negara ini mencapai kedaulatan pangan dan kemandirian pangan. Keduanya menjadi spirit dan ruh bagaimana penyelenggaraan pangan dilakukan. Untuk mengukur kinerja penyelenggaraan pangan digunakan indikator pencapaian ketahanan pangan, bukan swasembada pangan. Ini mencakup tiga hal: ketersediaan, akses pangan, dan pemanfaatan/konsumsi pangan.
Ketika Badan Pangan Nasional belum lahir, kinerja capaian ketahanan pangan itu rutin dilaporkan oleh Badan Ketahanan Pangan, salah satu eselon I di Kementerian Pertanian. Kini tugas itu diambilalih Badan Pangan Nasional.
Melalui tiga indikator itu akan bisa dilihat sejauh mana pencapaian ketahanan pangan sebuah pemerintahan.
Bagi masyarakat awam cara mengukurnya mudah: pangan mesti tersedia cukup hingga di tingkat individu.
Baik jumlah, mutu, keamanan (dari cemaran kimia-biologi dan tak bertentangan dengan agama/keyakinan/budaya), beragam, bergizi, merata, hingga terjangkau. Itu wajib dan mutlak karena perintah undang-undang. Ujung dari semua ini, nantinya status gizi individu dan masyarakat akan baik, bisa hidup sehat, aktif, dan produktif berkelanjutan.
Pendek kata bakal tercipta SDM yang unggul.
Selama Presiden Jokowi (2014-2023) berkuasa ketersediaan bahan makanan yang bisa dikonsumsi per kapita per hari bagi semua warga amat melimpah. Ketersediaan ini bisa diukur dalam bentuk energi dan protein. Ketersediaan energi antara 2.800-3.400 kilo kalori/kapita/hari, sedangkan ketersediaan protein antara 76-85 gram/kapita/hari. Amat besar.
Ketersediaan ini melampaui dari rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII Tahun 2004 (2.000 kilo kalori/kapita/hari untuk energi dan 50 gram/kapita/hari buat protein) dan WNPG XI Tahun 2018 (2.100 kilo kalori/kapita/hari untuk energi dan 57 gram/kapita/hari untuk protein). Rekomendasi dua WNPG itu dipakai di era Jokowi.
Salah satu aktivitas di sebuah pasar. (Foto: CNN Indonesia/Safir Makki)
Ketersediaan yang melimpah ini sumber utamanya dari produksi domestik. Di era Jokowi, enam komoditas ditargetkan swasembada: beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi, dan bawang putih. Tak seluruhnya tercapai.
Bahkan, capaian swasembada kedelai, gula, daging sapi, dan bawang putih malah menjauh dari target. Untuk mengisi kekurangan, diisi dari impor.
Komoditas impor
Selama Jokowi berkuasa, impor komoditas pangan melonjak hampir dua kali lipat: dari US$10,07 miliar menjadi US$18,76 miliar. Impor delapan komoditas pangan penting, yaitu beras, jagung, gandum, kedelai, gula mentah, bawang putih, ubi kayu, dan kacang tanah, melonjak hampir 9 juta ton: dari 20,55 juta ton menjadi 29,01 juta ton.
Masalahnya, ketersediaan pangan yang melimpah itu tak terbagi merata ke semua mulut warga. Pangan tidak mengalir kepada yang memerlukan.
Pangan hanya menuju ke mereka yang berduit. Karena itu apa yang dinubuatkan oleh peraih nobel ekonomi 1998 Amartya Sen benar adanya: akses dan kebebasan lebih penting ketimbang ketersediaan. Apa gunanya pangan (tersedia) amat melimpah apabila warga tidak bisa mengakses dan mengonsumsinya? Hal ini terkait akses fisik dan ekonomi atau daya beli.
Bisa saja warga mampu membeli, tapi kalau secara fisik pangan tak tersedia mustahil bisa dikonsumsi. Atau pangan bisa teronggok di muka tapi kalau tidak bisa beli ya hanya menelan ludah.
Bagi mereka yang bukan wilayah produsen, ketersediaan pangan akan ditentukan jangkauan distribusi. Sepanjang pendistribusian pangan mampu menjangkau mereka itu berarti akses secara fisik telah terpenuhi.
Sialnya, wilayah Indonesia bukan hanya luas tapi juga amat beragam.
Bahkan ada daerah yang masuk kategori tertinggal, terdepan, dan terluar. Perbedaan akses (fisik dan ekonomi) inilah yang bisa menjelaskan mengapa di tengah ketersediaan energi dan protein yang melimpah masih ada 23 dari 34 provinsi dengan angka kecukupan energi di bawah 2.100 kilo kalori/kapita/hari dan 5 provinsi dengan kecukupan protein di bawah 57 gram/kapita/hari pada 2023 (Bapanas, 2024).
Bagaimana dengan daya beli? ...