Jakarta, CNN Indonesia --
Rencana Presiden Prabowo Subianto membangun sekolah menengah atas (SMA) unggulan Garuda dinilai tak akan menyelesaikan akar persoalan pendidikan di Indonesia.
Sekolah khusus siswa unggulan itu dianggap hanya akan memperlebar jurang ketimpangan akses pendidikan antara si kaya dan si miskin.
"Ternyata warisan pemenuhan hak pendidikan dan mutu yang masih timpang ini diperparah dengan adanya rencana penerapan kebijakan sekolah unggulan dan sekolah rakyat," kata Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, Jumat (17/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rencana Prabowo membangun sekolah unggulan tingkat SMA ini disampaikan Menteri Pendidikan Tinggi (Mendikti) Satryo Brodjonegoro usai rapat menteri di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Senin (30/12).
Menurut Satryo, program itu akan dimulai awal tahun 2025. Tak main-main, pembentukan SMA Garuda secara hukum akan dipayungi dengan Instruksi Presiden (Inpres).
"Untuk Sekolah Unggulan Garuda. Sudah diproses untuk bisa dimulai awal tahun 2025 ini," kata dia.
SMA Garuda secara khusus dibuka untuk siswa super pintar yang disiapkan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi bereputasi kelas dunia.
Menurut Satryo, siswa-siswa pintar itu akan sangat dibutuhkan negara di masa depan. Hingga 2029, pemerintah menargetkan akan membangun 40 SMA/MA Garuda di seluruh Indonesia.
Untuk tahap awal, ada empat daerah yang tengah disiapkan, yakni Ibu Kota Nusantara (IKN), Nusa Tenggara Timur (NTT), Bangka Belitung, dan Sulawesi Utara.
Bersamaan dengan rencana membangun Sekolah Garuda, pemerintah juga menyiapkan SMA Rakyat. Namun, kebalikan dengan SMA Garuda, SMA Rakyat yang berada di bawah Kementerian Sosial akan dibuka khusus bagi anak dari keluarga tidak mampu dan tergolong miskin ekstrem.
"Presiden juga ingin membuat sekolah khusus untuk anak-anak yang tidak mampu, tetapi masih di bawah naungan orang tua, dibina langsung khusus dalam Sekolah Rakyat," kata Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat (Menko PM) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (3/1).
Pemerhati pendidikan dari UIN Jakarta Jejen Musfah mengingatkan pemerintah soal persiapan yang dilakukan untuk membuka sekolah unggulan. Jejen menilai sekolah unggulan tak sepenuhnya buruk.
Di beberapa negara maju, seperti Amerika, sekolah unggulan juga ada. Namun, jenis sekolah tersebut memang benar-benar dibuka untuk memfasilitasi siswa dengan kecerdasan di atas rata-rata.
"Di negara maju sekolah unggulan diberikan kepada gifted students. Anak-anak dengan kecerdasan di atas rata-rata," kata Jejen, Kamis (16/1).
Jejen menilai sekolah unggulan bisa digunakan untuk menyiapkan SDM unggul di level dunia. Sebab, berharap itu pada sekolah reguler akan membutuhkan waktu yang lama.
Sejumlah aspek penting yang harus disiapkan pemerintah itu misalnya, standar guru dan tenaga pendidik, fasilitas, biaya, dan kurikulum. Untuk memenuhi semua itu, memerlukan kemauan politik, komitmen, dan politik anggaran.
Namun, lanjut Jejen, di samping kebutuhan untuk memenuhi standar internasional, sekolah unggulan tak bisa mengabaikan kebutuhan lokal. Pemerintah juga perlu menjamin lulusan sekolah mendapat beasiswa baik di dalam maupun ke luar negeri.
"Harus disiapkan visi sekolah yang berbasis kebutuhan lokal dan global. Penguasaan bahasa asing dan teknologi. AI dan coding. Alumni dijamin beasiswa ke kampus dalam dan luar negeri," katanya.
Di samping itu, Jejen mengingatkan pemerintah tak mengabaikan sekolah gratis yang bisa diakses semua kelompok masyarakat. Ia menegaskan hal itu merupakan amanat UUD 1945.
Dia juga berharap agar pemerintah tak menghapus sistem zonasi yang diterapkan pemerintah sebelumnya. "Saya berharap zonasi tdk dihapus tapi dievaluasi sesuai wilayahnya," kata dia.
Hidupkan pendidikan kolonial
Sementara itu, Koordinator JPPI Ubaid Matraji berpendapat rencana pemerintah membuka sekolah unggulan hanya akan menggali kuburan sistem pendidikan yang sempat hidup di era kolonial. Sekolah tersebut akan menciptakan eksklusivitas antara kelas sosial masyarakat tertentu.
Di era kolonial, sekolah dibedakan berdasarkan kelas sosial masyarakat. Misalnya sekolah khusus anak keturunan penjajah, ningrat, dan pribumi.
"Kita sudah punya pasal 31 UUD 1945 yang menyetarakan hak semua anak Indonesia, tapi mengapa perintah punya ide untuk memberikan layanan yang diskriminatif berdasarkan kasta dan prestasi?" ujar Ubaid.
JPPI mengingatkan sejumlah dampak negatif atas rencana pemerintah tersebut. Pertama, sekolah unggulan bisa melanggar konstitusi.
Menurut dia, SMA Garuda bisa saja akan bernasib sama dengan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang pernah diterapkan di awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2013 menyatakan RSBI bertentangan dengan semangat mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam UUD 1945. Sebab, sekolah unggulan biasanya hanya akan dihuni mayoritas anak-anak dari kalangan menengah ke atas.
Kedua, Sekolah Garuda bisa memperlebar ketimpangan kualitas pendidikan. Menurut Ubaid, data PISA 2022 menunjukkan bahwa kualitas pendidikan Indonesia masih rendah. Salah satu biang keroknya adalah tingginya kesenjangan mutu antar sekolah di berbagai daerah.
"Jika ini tidak diatasi segera, maka ketimpangan ini akan menjadi momok dan kutukan mutu pendidikan Indonesia yang hanya jalan di tempat, bahkan ada kecenderungan terjadi penurunan," ucapnya.
Ketiga, melahirkan labelisasi dan stigmatisasi yang negatif di antara siswa. Penamaan sekolah rakyat untuk anak miskin, menurut Ubaid, dapat menciptakan labelisasi dan stigmatisasi negatif terhadap siswa yang belajar di sana.
Mereka pasti dianggap sebagai siswa kelas dua atau tidak sebaik siswa di sekolah unggulan. Stigma ini dinilai dapat mempengaruhi kepercayaan diri dan prestasi akademis siswa, serta persepsi teman sebaya dan masyarakat terhadap mereka.
"Stigmatisasi ini akan memperkuat stereotip dan bias yang merugikan, dan semakin memarjinalkan kelompok anak miskin yang sudah rentan dan memperpetuasi siklus diskriminasi," katanya.
(thr/tsa)