
Oleh: Usman Lonta
(Politisi dan Akademisi)
Rocky Gerung sering melontarkan kritik tajam terhadap kaum optimis yang tidak dilandasai dengan kerangka pikir, dengan ungkapan bahwa kalian optimis yang irrasional, sementara saya adalah orang yang pesimis rasional. Sebenarnya ungkapan ini bukan ungkapan pilihan ganda, namun pilihan-pilihan diksi tersebut adalah pilihan yang bersifat kontekstual.
Dalam hal bonus demografi, Indonesia saat ini sedang berada di persimpangan sejarah. Para ahli demografi menyebut periode ini sebagai momentum bonus demografi, dimana jumlah penduduk usia produktif jauh lebih besar dibandingkan usia non-produktif. Secara teoritis, inilah masa emas yang hanya terjadi sekali dalam sejarah suatu bangsa.
Jika dikelola dengan baik, bonus demografi mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, memperkuat daya saing, dan mempercepat kesejahteraan rakyat. Namun, sejarah juga mencatat, bonus demografi bukanlah jaminan keberhasilan. Ia bisa menjadi berkah, tetapi juga bisa berubah menjadi bencana sosial, terutama bila generasi mudanya miskin literasi.
Bonus demografi adalah modal besar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dengan komposisi penduduk usia produktif yang dominan, Indonesia seharusnya memiliki tenaga kerja melimpah untuk menopang industri, perdagangan, pertambangan maupun sektor lainnya.
Lebih dari itu, generasi muda bisa menjadi agen perubahan yang menghadirkan inovasi, teknologi baru, serta gagasan segar dalam pembangunan bangsa. Namun, modal demografi tidak akan berarti apa-apa bila tidak dilengkapi dengan kualitas sumber daya manusia. Dunia kerja hari ini tidak lagi hanya menuntut tenaga, melainkan juga keterampilan, kreativitas, dan kecakapan digital. Dengan kata lain, yang menentukan bukan sekadar jumlah, tetapi kualitas.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di: