HIRUK–PIKUK DI TITIK TEMU KOTA, Refleksi Atas Keriuhan Jelang Pemilihan RT-RW Kota Makassar

3 hours ago 1

Oleh: Asratillah
(Wakil Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Muhammadiyah Sulsel)

Narasi dari Kota yang Resah

Ada hari-hari tertentu ketika sebuah kota seperti Makassar terasa seperti dada manusia yang sedang sesak napas, nampak naik turun, tersengal, namun tetap memaksa diri berjalan. Menjelang Desember 2025, itulah wajah Makassar—sebuah kota yang biasanya riuh oleh aktivitas niaga, namun kini lebih riuh oleh bisik-bisik pemilihan RT/RW, jabatan yang secara formal kecil, tetapi secara sosial dan politis bisa menggerakkan aliran kekuasaan dari bawah.

Di Tamalanrea, seorang warga menghela napas panjang sebelum akhirnya mengundurkan diri sebagai calon ketua RT. Bukan karena ia tidak memiliki niat baik, tetapi karena ada sepuluh profesor dan dosen Unhas yang menolak pencalonannya dengan alasan yang tidak seluruhnya diurai ke publik.

Berita itu menyebar seperti percikan api yang jatuh di rumput kering. Orang bertanya-tanya, sejak kapan pemilihan RT di sebuah kompleks perumahan bisa menyerupai pemilihan rektor atau dekan? Namun di Makassar, batas antara urusan akademik, sosial, dan politik memang sering bertaut rapat.

Tak jauh dari sana, di Kelurahan Buloa, seorang lurah mendapat tuduhan “mengampanyekan calon tertentu”. Ia buru-buru membantah, menyebut itu hanya “kupon Jum’at Berkah”, sebuah kegiatan sosial yang barangkali tidak sepenuhnya sosial. Warga setempat merespons dengan senyum masam, seperti orang yang sudah sering menelan isu serupa bertahun-tahun. Ketika sebuah kupon sembako bisa ditafsir sebagai alat politik, kita tahu kontestasi sudah naik tingkat.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:

Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi