Wakil Dekan I Fakultas Hukum Unismuh Makassar, Andika Aulia
FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan rehabilitasi kepada mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry, Ira Puspadewi, menuai respons beragam di tengah publik.
Kebijakan tersebut dinilai berpotensi memicu perdebatan soal batas kewenangan eksekutif dan makna kepastian hukum dalam penanganan perkara korupsi.
Akademisi Hukum Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Andika Aulia, meminta agar keputusan ini dipahami secara jernih dalam bingkai konstitusi dan prinsip penegakan hukum yang berlaku.
Andika menegaskan bahwa rehabilitasi merupakan instrumen hukum yang telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Dikatakan Andika, kewenangan Presiden memberikan rehabilitasi merupakan hak prerogatif sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945.
Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa Presiden dapat memberikan grasi dan rehabilitasi dengan mempertimbangkan pendapat Mahkamah Agung.
Ia menjelaskan bahwa rehabilitasi memiliki perbedaan karakter dengan grasi, amnesti, maupun abolisi.
Grasi berfungsi menghapuskan pelaksanaan pidana, sementara rehabilitasi bertujuan memulihkan nama baik seseorang tanpa membatalkan putusan pengadilan.
Sedangkan amnesti menghapus seluruh akibat pidana melalui pertimbangan DPR, dan abolisi menghentikan proses pidana sebelum adanya putusan berkekuatan hukum tetap.
“Dalam konteks Ira Puspadewi, rehabilitasi tidak mengubah isi putusan. Putusan pengadilan tetap final, tetapi hak sipil dan nama baiknya dipulihkan oleh Presiden sesuai mekanisme konstitusi,” ujar Andika kepada fajar.co.id, Kamis (27/11/2025).
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
















































