Jakarta, CNN Indonesia --
Rapat Paripurna DPR ke-15 Masa Sidang II 2024-2025 resmi mengesahkan RUU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi Undang-Undang.
Rapat paripurna digelar bersamaan dengan aksi gelombang penolakan dari kelompok masyarakat sipil dan mahasiswa di balik pagar DPR. Dalam aksinya, mahasiswa dan koalisi sipil menilai pengesahan RUU TNI sebagai langkah mundur.
Koalisi terutama menyoroti poin perluasan instansi sipil yang bisa diduduki prajurit aktif. Mereka menilai RUU TNI berpotensi menghidupkan dwifungsi angkatan bersenjata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski di sisi lain, hal itu dibantah, baik oleh DPR maupun pemerintah. Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin memastikan RUU TNI tak akan mengembalikan dwifungsi ABRI atau TNI.
Menurut dia, usai disahkan, tak ada lagi prajurit aktif yang bertugas di lembaga sipil, kecuali 14 instansi yang diatur dan diizinkan. Sjafrie menegaskan semua prajurit aktif di instansi sipil harus mundur atau pensiun dini.
"Tidak ada dwifungsi di Indonesia lagi, jangankan jasad, arwahnya pun udah enggak ada," kata Sjafrie usai menghadiri rapat paripurna pengesahan RUU TNI di DPR, Kamis (20/3).
Catatan krusial RUU TNI yang sah jadi UU
Analis Utama Politik Keamanan LAB 45, Guntur Lebang memberikan sejumlah catatan krusial terhadap naskah final RUU TNI. Pertama, Pasal 47 terkait penempatan TNI di instansi sipil. Dalam draf awal, kata Guntur, penempatan prajurit aktif di instansi sipil, meski dibatasi, tapi juga bisa melalui diskresi Presiden.
Sehingga, meski sebelumnya dibatasi hanya 10 instansi yang bisa ditempati prajurit aktif, faktanya bisa lebih.
Data Imparsial menyebut sebelum revisi UU TNI atau pada 2023, total ada 2.569 prajurit TNI aktif di lembaga sipil. Sementara data pengamat militer Unas Jakarta, Slamet Ginting menyebut pada 2024, ada 4.473 prajurit aktif di instansi sipil, termasuk di antaranya lebih dari 100 di BUMN.
"Jadi bisa lebih dari 10 instansi yang ada di UU TNI versi asli. Pembahasan tahun ini hilang frasa seperti itu, sehingga kemudian dibatasi jadi 14," kata Guntur saat dihubungi, Jumat (21/3).
Guntur juga menyoroti Pasal 7 ayat 2 terkait kewenangan TNI terlibat penanggulangan narkotika dalam operasi militer selain perang (OMSP) yang kini telah dihilangkan. Menurut dia, penghapusan poin itu penting untuk menghindari cara kekerasan seperti di Filipina di bawah Presiden Rodrigo Duterte kala itu.
Meski begitu, Guntur juga memberi perhatian terhadap sejumlah pasal yang dinilai tetap perlu mendapat perhatian. Masih dalam Pasal 7, dia mempertanyakan aturan turunan dalam OMSP menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres).
Dalam UU sebelumnya, operasi militer perang maupun OMSP harus berdasarkan keputusan politik. Artinya, pelibatan TNI dalam perang atau yang lain, harus berdasarkan persetujuan DPR.
Sementara dalam UU hasil revisi, DPR tak lagi memiliki wewenang untuk memberikan persetujuan. Pengesahan prajurit untuk perang atau OMSP cukup hanya dengan PP atau Perpres.
"Bagaimana fungsi kontrol TNI dalam pengerahan di OMSP, yang mana akan sangat bersinggungan dengan masyarakat biasa? Misal dalam OMSP membantu pemerintah daerah dan pemberdayaan wilayah pertahanan," kata Guntur.
Kini setelah resmi disahkan, RUU TNI akan menunggu waktu 30 hari hingga disetujui Presiden dan masuk dalam lembar negara. Guntur meyakini setelah masuk lembar negara RUU TNI akan langsung digugat judicial review.
"Saya menduga begitu diundangkan, bisa langsung dilakukan judicial review dengan alasan proses yang tidak transparan," kata Guntur.
Kans digugat ke MK
Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai RUU TNI bisa berpeluang besar digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Castro, sapaan akrabnya, terutama menyoroti prosedur pembahasan RUU tersebut sejak awal bahkan, saat masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025.
Menurut Castro, bukan tidak mungkin RUU TNI bernasib sama dengan RUU Ciptaker yang gugatannya dikabulkan MK untuk direvisi.
"Proses memasukkan RUU TNI dalam Prolegnas di 2025 juga bermasalah. Tidak ada misalnya proses prosedur pengajuan tertulis dua hari sebelum rapat. Kemudian, yang kedua, itu juga bertentangan dengan undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan karena RUU TNI itu tidak melalui proses penyusunan," kata Castro, Jumat (21/3).
Di sisi lain, jika merujuk pada putusan MK pada gugatan RUU Ciptaker, dia menyebut pembahasan RUU TNI juga tidak menjalankan prinsip meaningful participation atau partisipasi makna. Terutama menyangkut hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk mendapat penjelasan.
"Alih-alih membuka ruang partisipasi, bahkan kita pun sangat susah mendapatkan dokumen RUU TNI. Apalagi masyarakat. Itu bertentangan dengan makna meaningful participation," kata Castro.
Namun, selain berpeluang digugat ke MK, dia menilai aksi-aksi kritis terhadap RUU TNI tetap harus dilakukan. Menurut Castro, hal itu berkaitan dengan sejarah panjang pemisahan ABRI dari ranah politik sejak reformasi.
"Jadi ini menurut saya pertarungannya tidak hanya di dalam Mahkamah, tapi juga pertarungan di jalan. Jadi menurut saya dua kanal itu harus tetap dilakukan, kanal secara hukum dan politik," katanya.
(thr/dal)