Hapus Patwal Pejabat Jika Konsisten dengan Efisiensi Anggaran

7 hours ago 2

Jakarta, CNN Indonesia --

Sejumlah pengamat mendorong agar patroli dan pengawalan (patwal) kepolisian hanya diperuntukkan bagi Presiden dan Wakil Presiden. Patwal untuk pejabat lain hingga Anggota DPR dinilai tidak perlu dan sebaiknya dihilangkan.

Keberadaan patwal belakangan menjadi sorotan publik buntut aksi petugas yang dinilai arogan saat mengawal mobil RI 36. Pelat dinas itu merupakan milik Utusan Khusus Presiden Raffi Ahmad.

"Patwal sebaiknya difokuskan untuk Presiden dan Wakil Presiden saja. Ini bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga demi keadilan sosial," kata Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno beberapa waktu lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Djoko meminta para pejabat negara untuk bisa membiasakan diri menggunakan transportasi umum saat beraktivitas.

"Semestinya, pejabat negara membiasakan menggunakan angkutan umum, minimal sekali seminggu. Dengan bercampur dengan masyarakat umum akan mengetahui kondisi sebenarnya kehidupan masyarakat," kata dia.

Usulan itu disambut oleh sejumlah pejabat. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia bahkan menyatakan dirinya tak perlu diajari untuk naik angkutan umum lantaran pernah menjadi sopir angkot.

"Yang menyampaikan ide itu siapa? Tolong kasih tahu kepada pengamat itu, kalau menteri, saya Bahlil, jangan ajari saya naik angkutan umum karena saya kondektur angkot 3 tahun di terminal, jadi sopir angkot 2 tahun waktu sekolah SMA. Kuliah juga bawa angkot," kata Bahlil di The Highland Park Resort, Bogor, Jawa Barat, Minggu (2/2).

Menteri Koordinator Bidang Pangan RI Zulkifli Hasan mengaku tak masalah jika diminta untuk naik transportasi umum. Ia juga mengatakan sudah akrab dengan transportasi umum.

Namun, Zulhas mengaku penggunaan transportasi umum tak bisa dilakukan dalam setiap kegiatan. Sebab, bila jadwal cukup padat mau tidak mau menggunakan kendaraan dinas dengan kawalan.

"Jadi bukan buat gaya-gayaan. Kalau perlu cepat, baru. Kalau enggak, kita juga bisa sambil lari, bisa naik ojek, tidak ada masalah," ujar Zulhas.

Sementara Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) mengaku bersedia naik transportasi umum, asalkan layanannya sudah siap.

"Anda lihat sekarang, ke sini (Gedung DPR-MPR), transportasi umumnya dari mana? Terus kalau mau rapat, terus kalau semuanya telat, nanti di-bully lagi 'itu pada telat'," katanya.

Hapus patwal jika konsisten dengan instruksi efisiensi.

Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang mengatakan jika pemerintah konsisten dengan kebijakan efisiensi anggaran, patwal untuk pejabat seharusnya dihapuskan.

Sebelumnya Presiden Prabowo melakukan pemangkasan anggaran sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang diterbitkan pada 22 Januari. Prabowo ingin APBN tahun ini hemat Rp306,69 triliun.

Dua hari berselang, Menteri Keuangan Sri Mulyani menerbitkan Surat Nomor S-37/MK.02/2025. Surat itu merinci 16 pos belanja yang harus dihemat pimpinan di Kabinet Merah Putih senilai Rp256,1 triliun.

"Kalau kita mau konsisten, katanya presiden itu kita harus efisiensi anggaran, seharusnya begitu (patwal hanya untuk presiden dan wapres)," kata Deddy saat dihubungi, Selasa (4/2).

Deddy mengatakan patwal menghabiskan anggaran besar di antaranya untuk operasional. Di sisi lain, anggaran negara juga dipakai untuk biaya kendaraan-kendaraan yang digunakan pejabat tersebut.

Menurutnya, negara bisa hemat triliunan rupiah dengan menghapus patwal untuk pejabat dan menghapus anggaran kendaraan dinas.

"Kalau setiap menteri, ada berapa menteri tuh, 100 berapa menteri, kepala badan, DPR, kalau itu dipangkas tanpa patwal dan tanpa fasilitas pribadi mobil, wah itu bisa berapa triliun. Mobil pribadi juga biaya pengawalan tuh mahal, ada PM, ada polisi, itu mahal," ujar Deddy.

Anggaran patwal untuk pejabat pemerintah pusat dan daerah tidak seragam. Namun, anggaran ini diyakini memakan uang yang tidak sedikit mengingat pengerahan petugas dan kendaraan pengawalan. Belum lagi jika dihitung biaya patwal yang selama ini dinikmati pejabat daerah dan pusat.

Ia menyoroti soal anggaran seremonial yang dipangkas. Menurutnya, patwal seharusnya juga dihilangkan bagi pejabat karena dinilai tidak produktif.

Deddy membandingkan dengan negara lain dimana pejabatnya tidak menggunakan patwal.

"Orang di Eropa pejabatnya saja bisa kok, naik kereta, enggak masalah. Kalau pejabat kita masih feodal ya repot, harus dikawal puluhan orang, disembah sembah, ngapain. Saya tahu sendiri di Amerika wali kotanya enggak. Di Eropa enggak, di Skandinavia juga," ujarnya.

Jika memang pejabat enggan berdesak-desakan di kereta maupun transportasi umum lain dalam beraktivitas, ia mengatakan ada opsi menggunakan taksi.

Deddy berpendapat penggunaan taksi lebih masuk akal dibanding buang anggaran untuk patwal dan beli kendaraan dinas.

"Kalau enggak mau desak-desakan di KRL, MRT, Transjakarta, naik taksi, saya pikir lebih masuk akal. Kalau malu, naik plat kuning (taksi) yang hitam itu. Daripada dibelikan mobil baru, bulanan membengkak, setelah lima tahun buat apa? Nanti ganti menteri minta mobil baru lagi, tidak produktif," katanya.

Pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah berpendapat selain presiden dan wakil presiden, menteri masih layak untuk mendapat patwal.

Namun untuk pejabat lain dan di level bawah menteri, seharusnya patwal dihilangkan. Ia pun mendorong pejabat menggunakan transportasi umum.

Ia mengatakan pejabat yang menggunakan transportasi umum bisa menjadi contoh teladan untuk diikuti masyarakat.

"Berbagai negara seperti di Eropa, itu pejabat-pejabat di transportasi umum. Jadi, tidak perlu kita menggunakan patwal juga, yang ada itu ajudan yang mendampingi," kata Trubus.

Standar dan kriteria pengawalan

Pengamat Transportasi dan Perkotaan Yayat Supriatna berpendapat pejabat negara memang berhak mendapat pengawalan untuk memudahkan dan melancarkan pelaksanaan tugas.

Namun, pada prakteknya, ia menyoroti penyalahgunaan patwal.

"Dalam kondisi formal sebenarnya persyaratan pengawalan diperbolehkan. Tetapi yang jadi sekarang ini penyalahgunaannya. Tingkat urgensi antara urusan formal dan informal sulit dipisahkan," kata Yayat.

Oleh karena itu, ia mengatakan kepolisian seharusnya punya standar dan kriteria yang jelas untuk mengatur siapa pejabat dan pada momen apa pejabat harus dikawal.

"Harus ada standar dan kriteria jelas, misal contoh pengawalan hanya jam dinas, tidak dilakukan di hari libur yang tidak ada urgensinya. Penggunaan plat dinas juga hari Sabtu, Minggu juga libur, kalau perlu tidak usah pakai mobil dinas," kata Yayat.

"Apakah pejabat tetap perlu dikawal ketika kondisi lalu lintas lancar? hari Sabtu, Minggu lancar, kecuali ada urgensi di dalamnya," imbuh Yayat.

Lebih lanjut, dengan adanya kebijakan efisiensi anggaran saat ini, ia mempertanyakan apakah Presiden Prabowo berani mengambil kebijakan stop penggunaan patwal.

"Berani enggak presiden bilang tidak ada pengawalan lagi karena pemborosan. Pakai anggaran negara, dihapus saja pengawalan. Udah saatnya efisiensi anggaran dihemat. Jadi pengawalan itu hanya urgen pada urusan tertentu," katanya.

(yoa/gil)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi