KRISIS IKLIM
CNN Indonesia
Jumat, 25 Okt 2024 09:29 WIB
Jakarta, CNN Indonesia --
Seiring meningkatnya suhu global dan bertambahnya dampak aktivitas manusia terhadap lingkungan, kemampuan hutan dan lautan untuk bertindak sebagai penyerap karbon semakin berkurang. Penurunan ini menimbulkan ancaman signifikan terhadap upaya untuk mengatasi krisis iklim dan risiko yang ditimbulkannya.
Sekelompok peneliti di Eropa dalam studinya tentang strategi kehutanan dan perubahan tata guna lahan tahun lalu mendapati hutan tropis yang semula memainkan peran penting dalam menyerap karbon dioksida (CO2) dari atmosfer, kini jauh berkurang kapasitas penyerapannya.
Tingkat penurunan ini sangat mengejutkan-turun dari sekitar 1.284 ton karbon per tahun pada tahun 1990-an menjadi sekitar 881 ton karbon per tahun pada tahun 2010-an. Penurunan drastis ini sebagian besar disebabkan oleh penggundulan hutan, perubahan penggunaan lahan, dan penebangan dan pertanian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Praktik-praktik tersebut tidak hanya mengurangi tutupan hutan tetapi juga mengganggu proses alami yang penting untuk menjaga fungsi ekosistem yang sehat.
Sementara di hutan beriklim sedang (temperate forests) justru terjadi sebaliknya: peningkatan penyimpanan karbon karena praktik pengelolaan yang lebih baik seperti kehutanan berkelanjutan dan upaya penghijauan.
Di sisi lain, hutan boreal (umumnya di wilayah bersuhu empat musim) juga menghadapi penurunan kemampuan signifikan menyerap karbon. Ekosistem bagian utara bumi ini kemampuannya turun 36 persen sebagai penyerap karbon beberapa tahun terakhir.
Penurunan ini terutama terkait dengan pemicu stres terkait iklim seperti peningkatan kebakaran hutan dan serangan serangga, yang semakin memperburuk kerentanan dalam lingkungan yang sudah rapuh.
Dampak pada penyerap karbon lautan
Studi sejenis juga dilakukan para ilmuwan di lautan. Laut saat ini menyerap sekitar seperempat sampai setengah emisi karbon yang lepas ke udara.
Namun, fungsi vital ini terancam akibat berbagai hal termasuk pengasaman air laut. Kandungan karbon berlebihan yang lepas ke atmosfer akan diserap oleh air laut dan berakibat pada meningkatnya kadar keasamannya. Biota laut seperti kerang dan moluska akan kesulitan bertahan hidup dan berkembang biak pada perairan yang asam.
Akibatnya akan terjadi disrupsi pada rantai makanan di laut yang ujungnya mengganggu ekosistem. Laut yang makin asam juga memutihkan karang (coral bleaching) hingga lama-lama mati dan menyebabkan musnahnya kehidupan biota sekitarnya.
Ditambah meningkatnya suhu, pengasaman laut akan berujung pada lemahnya kemampuan lautan untuk menyimpan karbon.
Perairan yang lebih hangat juga menyebabkan pergeseran dalam distribusi spesies dan penurunan populasi fitoplankton, yang penting untuk penyerapan karbon.
Tanpa strategi konservasi yang cepat dan tepat, situasi hutan dan lautan ini diperkirakan akan memburuk.
Hutan tropis di kawasan Cekungan Amazon di benua Amerika saat ini mengalami kekeringan dan penggundulan hutan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di Asia Tenggara termasuk Indonesia, hutan hujan tropis berubah menjadi sumber emisi karbon. Hutan tropis yang relatif masih bertahan ada di Cekungan Kongo dimana fungsi penyerap karbon tetap berlanjut di tengah perubahan global saat ini.
(dsf/dmi)