Jakarta, CNN Indonesia --
Presiden Amerika Serikat Donald Trump terus menggaungkan usulannya soal rekonstruksi Jalur Gaza, Palestina hingga mengupayakan AS membeli dan memiliki wilayah itu.
Trump juga mengatakan bisa memberi sebagian tanah itu ke negara-negara lain di Timur Tengah untuk membangun kembali Gaza.
"Saya berkomitmen untuk membeli dan memiliki Gaza. Mengenai pembangunan kembali, kami mungkin akan menyerahkannya kepada negara-negara lain di Timur Tengah untuk membangun sebagian wilayahnya, atau pihak lain dapat melakukannya di bawah pengawasan kami. Tetapi kami bertekad untuk memilikinya, mengambil alihnya, dan memastikan bahwa Hamas tidak kembali," kata Trump seperti dikutip Reuters.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Trump menyampaikan pernyataannya itu kepada wartawan di atas Air Force One dalam perjalanannya ke New Orleans untuk menghadiri final kejuaraan Super Bowl National Football League (NFL) pada Minggu (9/2).
"Tidak ada yang bisa ditinggali lagi. Tempat itu (Gaza) sudah menjadi puing. Sisanya akan dihancurkan. Semuanya telah hancur," ujarnya.
Trump juga menyatakan bahwa dirinya terbuka terhadap kemungkinan menerima sebagian pengungsi Palestina ke Amerika Serikat, tetapi akan mempertimbangkan setiap permohonan secara selektif dan berdasarkan kasus per kasus.
Trump berceloteh akan membuat Gaza menjadi jauh lebih baik dari yang sebelumnya.
"Kami akan membuat Gaza menjadi lokasi yang baik untuk pembangunan di masa depan," ujar dia.
Di pernyataan sebelumnya, Trump juga merelokasi sebagian warga Gaza ke negara lain dan berjanji akan memberi perumahan dan lapangan pekerjaan.
Trump bahkan menyamakan Gaza sebagai "situs real estate besar."
Lalu, kenapa Trump ngotot ingin menguasai hingga membeli Jalur Gaza?
Wakil Presiden Eksekutif Lembaga think tank Center for International Policy, Mathhew Duss, memandang usulan Trump berdasarkan kepentingan ekonomi.
"Trump melihat hampir semua hal sebagai peluang untuk mendapatkan uang," kata Duss ke Al Jazeera.
Namun, dia juga mengatakan publik perlu menggarisbawahi tujuan Trump yang menganggap kebijakan AS sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
"Begitulah cara kita perlu memahami," ungkap Duss.
Selama agresi Israel di Palestina, Amerika Serikat tutup mata dengan pembunuhan dan pembantaian yang terjadi di sana.
Mereka bahkan terus menggelontorkan bantuan miliaran dolar ke pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mengeklaim Israel berhak membela diri dari ancaman Hamas.
Trump, dalam visinya memimpin AS, tak ingin memboroskan anggaran. Dia bahkan memangkas bantuan luar negeri. Namun, gagasan dia soal Gaza juga tak bisa diterima.
Mantan Duta Besar dan Konsul Jenderal Israel di New York Alon Pinkas juga punya pandangan serupa. Namun, menurutnya Trump hanya sesumbar dan belum tentu akan menerapkannya.
Dia menilai Trump adalah sosok yang klise, tak bisa diprediksi, dan transaksional.
"Anda tak pernah tahu apa yang dia maksud sampai kita betul-betul melihatnya sendiri," kata Pinkas.
Pinkas juga menyebut Trump adalah agent of chaos (agen kekacauan) dan kerap membanjiri dengan ide-ide yang tak layak.
Dia juga membahas soal pembangunan kembali Gaza. Menurut Pinkas, rekonstruksi ini akan memakan waktu 15 hingga 20 tahun dan membutuhkan dana miliaran dolar.
"Untuk mencapai itu, Trump berpikir, perlu memindahkan orang-orang. Bagaimana melakukan ini? Dia tak peduli," kata Pinkas.
Trump, lanjut dia, juga tak akan peduli jika seluruh dunia mengkritik dan mengecam gagasannya.
Trump meyakini jika warga Gaza dipindahkan proyek kawasan elit, Riviera Timur Tengah milik Amerika Serikat, akan tumbuh dan menyediakan lapangan pekerjaan, hingga peluang investasi.
(isa/rds)