Jakarta, CNN Indonesia --
Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto berkeinginan mengubah doktrin perang TNI. Alasannya, karena doktrin saat ini tak lagi sesuai perkembangan zaman.
Pengamat dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menerangkan doktrin perang adalah seperangkat prinsip, konsep, dan strategi yang menjadi pedoman dalam merancang dan melaksanakan operasi militer untuk mempertahankan kedaulatan negara.
Kata Fahmi, doktrin perang terbentuk dari sejarah panjang perjuangan bangsa, lingkungan strategis, serta dinamika ancaman yang terus berkembang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat ini, TNI berpegang pada doktrin Tri Dharma Eka Karma (Tridek), yang menekankan tiga pilar utama, pertahanan berlapis, perang rakyat semesta, dan operasi gabungan antar-matra," kata Fahmi saat dihubungi, Senin (3/2).
Doktrin Tri Dharma Eka Karma ini didasarkan pada pemanfaatan geografis Indonesia yang luas dan berciri kepulauan.
Pertama, konsep pertahanan berlapis yang menekankan pada daya tahan dalam menghadapi ancaman, dengan strategi bertahan di berbagai lini untuk memperlambat serta menggagalkan serangan musuh.
Kedua, perang rakyat semesta, yang menjadi warisan dari pengalaman perang gerilya di masa lalu, menekankan keterlibatan seluruh elemen bangsa dalam mempertahankan negara, baik melalui komponen militer reguler maupun unsur cadangan dan sipil.
Dan ketiga, operasi gabungan antar-matra menggarisbawahi sinergi antara TNI AD, AL, dan AU dalam menghadapi ancaman secara terpadu.
"Dalam penerapannya, doktrin ini masih sangat dipengaruhi oleh pengalaman historis, terutama dari era perang kemerdekaan hingga berbagai konflik internal di masa lalu," tutur Fahmi.
Disampaikan Fahmi, dalam doktrin Tri Dharma Eka Karma pendekatan yang digunakan lebih defensif. Sehingga, pertahanan Indonesia lebih berorientasi pada menahan serangan ketimbang melakukan langkah preemptive dalam menghadapi ancaman yang berkembang.
"Mobilisasi rakyat sebagai bagian dari perang semesta juga masih menjadi elemen kunci, meskipun dalam konteks peperangan modern, efektivitasnya patut dipertanyakan jika tidak disertai dengan dukungan teknologi dan sistem komando yang terintegrasi," ujarnya.
Fahmi menilai rencana Agus mengubah doktrin perang TNI sangat relevan dengan tantangan yang saat ini dihadapi.
Sebab, meski doktrin Tri Eka Dharma Karma telah menjadi dasar yang kokoh dalam pertahanan Indonesia, perlu dimodernisasi agar lebih adaptif terhadap ancaman siber, perang hibrida, dan teknologi militer masa depan.
Perubahan doktrin ini tidak hanya sebatas pembaruan konsep, tetapi harus diikuti dengan modernisasi alutsista.
Selain itu, juga harus diiringi dengan peningkatan kapasitas personel, serta strategi pertahanan yang lebih dinamis dan responsif terhadap realitas geopolitik dan teknologi yang terus berkembang.
Fahmi menyebut tantangan utama dalam penerapan doktrin saat ini adalah bagaimana menyesuaikannya dengan realitas perang modern.
Apalagi, perkembangan teknologi telah mengubah lanskap peperangan. Dari yang semula berbasis kekuatan fisik dan konvensional menjadi perang berbasis jaringan (network-centric warfare).
"Ancaman siber semakin nyata, di mana serangan tidak lagi hanya berupa invasi militer, tetapi juga dalam bentuk gangguan terhadap infrastruktur kritis negara melalui dunia maya," kata Fahmi.
"Perang asimetris dan hibrida semakin dominan, di mana musuh tidak selalu berupa negara lain, tetapi juga aktor non-negara seperti kelompok teroris, organisasi kejahatan transnasional, dan kekuatan asing yang beroperasi di balik layar melalui propaganda dan perang informasi," lanjutnya.
Menurutnya, jika doktrin harus diubah, maka pergeseran utama yang harus dilakukan adalah dari strategi perang rakyat semesta ke pertahanan semesta berbasis teknologi.
Karenanya, lanjut dia, TNI perlu lebih banyak mengadopsi pendekatan berbasis kecerdasan buatan (AI), big data, dan sistem berbasis jaringan dalam perencanaan dan pelaksanaan operasi militernya.
"Drone warfare harus menjadi bagian dari sistem pertahanan, bukan hanya sebagai pelengkap, melainkan sebagai elemen utama dalam pengintaian dan serangan presisi. Sistem pertahanan siber harus diperkuat, bukan hanya dalam hal pertahanan pasif, tetapi juga dengan kemampuan ofensif yang dapat memberikan efek gentar kepada pihak yang berniat melakukan serangan siber terhadap Indonesia," ucap dia.
Kemudian, sinergi antar matra juga harus ditingkatkan agar operasi operasi gabungan tidak hanya menjadi konsep di atas kertas, tetapi benar-benar terintegrasi dalam sistem komando dan kendali berbasis digital.
Selanjutnya, strategi pertahanan juga harus mengalami pergeseran dari defensif menjadi lebih proaktif. Dengan demikian, Indonesia tidak hanya bersiap menahan serangan, tetapi juga mampu melakukan tindakan pencegahan yang diperlukan untuk mengamankan kepentingan nasional.
Namun, Fahmi juga menyebut salah satu tantangan terbesar dalam pembaruan doktrin ini adalah keterbatasan anggaran.
Sebab, modernisasi alutsista, penguatan sistem pertahanan siber, pengembangan drone warfare, serta integrasi sistem berbasis AI dan big data membutuhkan investasi besar.
"Sementara itu, anggaran pertahanan selalu harus bersaing dengan kebutuhan lain seperti pembangunan infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan. Selain itu, tantangan lain juga mencakup ketergantungan pada alutsista impor," kata dia.
Faktor lainnya adalah resistensi terhadap perubahan. Sebab, doktrin lama sudah mengakar dalam sistem pertahanan, sehingga transisi ke doktrin baru harus mengubah pola pikir dan cara kerja di internal TNI.
"Modernisasi bukan sekadar membeli peralatan canggih, tetapi juga membangun kapasitas SDM yang mampu mengoperasikan dan mengintegrasikan teknologi tersebut secara efektif," ujarnya.
Lebih lanjut, Fahmi menyampaikan jika perubahan doktrin perang TNI benar akan dilakukan, maka pelaksanaannya harus dikelola secara bertahap. Mengingat banyak faktor yang harus dipertimbangkan.
"Dengan menyesuaikan skala prioritas dan memanfaatkan sumber daya yang ada secara optimal, sehingga transformasi pertahanan yang diinginkan dapat diwujudkan tanpa mengorbankan stabilitas dan efektivitas operasional TNI dalam jangka pendek," pungkasnya.
(dis/isn)