Jakarta, CNN Indonesia --
Peneliti di dunia berlomba-lomba menciptakan produk alternatif untuk mengurangi dominasi minyak sawit. Dalam beberapa dekade terakhir, ketergantungan industri terhadap sawit makin kuat karena materi ini menjadi substansi penting produksi makanan/minuman, kosmetika dan perlengkapan mandi, obat-obatan, perabot dan plastik, pakan ternak dan biofuel.
Dampaknya adalah produksi minyak sawit yang terus meningkat diikuti perluasan wilayah tanam dan perusakan hutan untuk lahan perkebunan. Faktor lingkungan ini selalu membatasi gerak kalangan industri global saat mengkonsumsi sawit.
Di Eropa misalnya, berbagai protokol diberlakukan untuk membatasi permintaan minyak sawit. juga yang terus meningkat juga mendorong makin banyak minat ke arah alternatif baru terhadap minyak sawit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peneliti di Universitas Wegeningen, Belanda selama tujuh tahun ini mengembangkan ragi yang difermentasi oleh mikroba sebagai bahan pengembangan zat sejenis kelapa sawit.
Profesor Jurgen Hugenholtz bersama sekelompok investor mendirikan NoPalm Ingredients yang mendasarkan cara kerja temuannya menggunakan teknologi fermentasi sebagai alat untuk mengubah aliran limbah pertanian pangan, seperti kulit kentang dan susu asam (sejenis yoghurt atau dadih), menjadi minyak dan lemak ragi berkualitas tinggi.
"Kami menggunakan proses yang mirip dengan pembuatan bir, seperti saat membuat bir atau anggur. Namun, tidak seperti pembuatan alkohol, kami menggunakan ragi khusus yang dapat membuat minyak. Minyak ini sama seperti minyak kelapa sawit, tetapi berasal dari ragi, bukan dari pohon," jelas Julie Cortel, Manajer Pengembangan Bisnis NoPalm Ingredients melalui surat elektronik pada CNN Indonesia mewakili Hugenholtz.
Studi spesifik untuk menemukan alternatif sawit mulai menemukan titik terang setelah Hugenholtz fokus pada limbah sayuran dan dadih keju.
"Sebelumnya menggunakan fermentasi untuk mengubah bahan limbah menjadi bahan berharga seperti perasa, antimikroba, dan vitamin. Terobosan besar terjadi pada akhir tahun 2022, ketika kami berhasil memproduksi minyak dalam skala besar (2000 liter) dan pada awal tahun 2023, kami menunjukkan bahwa kami dapat membuat minyak dengan fermentasi berbagai produk sampingan makanan, seperti dadih keju dan limbah sayuran," tambah Cortel.
Di Indonesia penelitian serupa juga berlangsung. Dr Miftahul Ilmi adalah ahli mikrobiologi dan bioteknologi industri yang mulanya menekuni riset tentang jamur untuk produksi biodisel.
Pengajar di Fakultas Biologi UGM ini memulai penelitian pada tahun 2018 dan menemukan khamir/yeast (jamur sel tunggal) yang semula dianggap potensial untuk produksi minyak ternyata tidak cocok dalam proses peningkatan produktivitas pada skala industri.
"Sehingga selanjutnya saya beralih memproduksi minyak dari kapang/fillamentous fungi (jamur berfilamen) dan menemukan spesies yang sangat potensial. Jamur tersebut secara alami mampu memproduksi minyak hingga 40 persen dari biomassanya. Saat ini sedang dilakukan optimasi produktivitas, dan hasil awal menunjukkan bahwa produksi minyaknya dapat ditingkatkan hingga 56 persen dari biomassa," kata Miftahul pada CNN Indonesia.
Yang menarik, komposisi minyak dari kapang tersebut diklaim tidak hanya mirip dengan minyak kelapa sawit, namun juga mengandung gamma linolenic acid (GLA) yang selama ini dikenal sebagai suplemen makanan bermanfaat.
Alumni Universitas Groningen ini optimistis skala produksi industri untuk alternatif pengganti minyak sawit akan segera tercapai karena penelitian global yang masif. Salah satu hambatan yang masih harus dipecahkan adalah menemukan substrat (media tanam) yang murah untuk menumbuhkan jamur pengganti sawit.
Idealnya, jamur ditumbuhkan dalam substrat dengan kandungan gula sederhana yang tinggi, namun harga gula cukup mahal sehingga agar biaya produksi lebih murah banyak penelitian mencari substrat alternatif seperti limbah yang mengandung selulosa atau amilum.
Di dunia industri minyak sawit diperkirakan bernilai lebih dari 70 miliar dollar AS tahun lalu dan diproyeksi akan tembus 100 miliar dollar AS (Rp1550 triliun) pada tahun 2030. Terobosan pada penelitian tentang alternatif minyak sawit dapat menjadi berkah bagi industri dunia tetapi juga berpotensi mengurangi pendapatan negara-negara yang bergantung pada ekspor sawit, seperti Indonesia.
(dsf/dmi)