Jakarta, CNN Indonesia --
Pada bulan September 2025, Namibia akan menjadi tuan rumah Global African Hydrogen Summit. Hal ini membuat pemerintah berambisi untuk menjadikan negara tersebut sebagai produsen utama hidrogen hijau yang akan diekspor ke pasar Eropa dan wilayah lainnya.
Akan tetapi, tanah dan perairan yang kini dianggap penting bagi transisi energi Eropa masih terikat dengan sejarah traumatis kekerasan kolonial, khususnya di lautan, yang merupakan tempat peristirahatan terakhir bagi ribuan warga Namibia.
Saat negara-negara di seluruh dunia beralih ke energi terbarukan, semenanjung di Namibia yang dikenal sebagai Pulau Hiu diposisikan untuk memainkan peran penting dalam produksi yang disebut hidrogen 'hijau'.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hidrogen hijau merupakan alternatif yang diusulkan sebagai alternatif bahan bakar fosil.
Namun, semenanjung dan perairan Pulau Hiu berisiko terganggu oleh perluasan pelabuhan yang diusulkan untuk mendukung pengangkutan hidrogen hijau. Pulau Hiu, dekat kota Lüderitz, sekarang menjadi tempat berkemah bagi wisatawan.
Pulau Hiu sendiri memiliki sejarah kelam. Pulau ini bahkan disebut juga sebagai Pulau Kematian.
Dulunya, pulau ini merupakan kamp konsentrasi dan lokasi genosida selama penjajahan Jerman dari tahun 1884 hingga 1915.
Kamp konsentrasi tersebut telah dihancurkan, sehingga hanya menyisakan sedikit bukti kekerasan yang terjadi di sana. Akan tetapi, penyelidikan internasional baru-baru ini menyoroti apa yang telah diketahui dan dikerjakan oleh banyak warga Namibia selama beberapa generasi.
Pada tahun 1884, penjajah Jerman Adolf Lüderitz mencaplok Namibia, dengan maksud untuk membiayai pemerintah kolonial melalui pertambangan, melansir The Independent.
Antara tahun 1904 dan 1908, pasukan kolonial Jerman membunuh sekitar 100 ribu orang (80 persen dari populasi Herero dan setengah dari populasi Nama). Komunitas tersebut juga memengaruhi komunitas Nukhoen dan Aonin.
Selama genosida, mereka yang tidak langsung dibunuh dikirim ke kamp konsentrasi. Mereka dipaksa melakukan pekerjaan kasar seperti bekerja di rel kereta api dan pelabuhan.
[foto]
Hal tersebut terjadi di seluruh Namibia, termasuk di pesisir. Di Swakopmund dan Lüderitz, lebih dari 1.550 orang Nama tewas atas insiden tersebut.
Badan penelitian Forensic Architecture telah merekonstruksi kamp-kamp tersebut secara digital dan mengidentifikasi bukti tempat pemakaman. Di Pulau Hiu, mereka menunjukkan bahwa perluasan pelabuhan 'menimbulkan risiko lebih lanjut yang mengancam lokasi tersebut'.
Perhatian telah diberikan pada komponen berbasis daratan dari proyek hidrogen hijau, termasuk usaha patungan multinasional, Hyphen Energy.
Namun, lautan, yang juga berinteraksi dengan proyek pembangunan Namibia, sering kali diabaikan sebagai ruang memori, keadilan, dan hubungan. Hal ini sebagian disebabkan oleh sejarah kolonial dan apartheid yang menghapus atau mengecualikan orang-orang dari pesisir dan lautan.
Selama masa penjajahan, penjajah Jerman memenjarakan orang Namibia di lepas pantai dengan kapal. Mereka juga membuang jasad orang-orang yang meninggal di kamp konsentrasi ke laut.
Warga Namibia tidak melupakan kekerasan yang terjadi di darat dan laut. Kelompok lokal sedang merestorasi situs-situs makam dan mendirikan tugu peringatan.
Pengadaan hidrogen hijau di Namibia memerlukan infrastruktur. Oleh karena itu, Otoritas Pelabuhan Namibia mengusulkan perluasan pelabuhan di kota Walvis Bay dan Lüderitz, yang mana perluasan tersebut dapat berdampak pada Pulau Hiu dan perairannya.
Para pegiat di Namibia menuntut pemerintah dan industri menghentikan rencana perluasan di Pulau Hiu dan terlibat secara berarti dalam rekonsiliasi.
Lautan dan Pesisir Namibia bukanlah ruang kosong yang dapat dieksploitasi demi masa depan energi Eropa. Pemahaman yang lebih mendalam tentang sejarah dan hubungan saat ini memberikan pelajaran untuk rekonsiliasi yang bermakna.
(asr/aur)