CNN Indonesia
Sabtu, 19 Jul 2025 11:00 WIB

Jakarta, CNN Indonesia --
Citra Jepang yang futuristik ternyata tidak tercermin dalam beberapa bagian kehidupan di negara tersebut. Negara ini cenderung tertinggal dibandingkan dengan negara-negara maju lain dalam adopsi teknologi digital.
Pada bulan Januari, Badan Kepolisian Nasional Jepang mengungkapkan bahwa kelompok peretas China, MirrorFace, telah menargetkan badan-badan dan perusahaan-perusahaan pemerintah Jepang sejak 2019.
Serangan siber ini menghantam 210 entitas, termasuk institusi dan individu, dan bertujuan untuk mencuri data yang terkait dengan keamanan dan teknologi canggih.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Serangan siber juga telah mengganggu kehidupan sehari-hari, seperti yang terjadi pada bulan Desember lalu yang menunda lebih dari 70 penerbangan Japan Airlines. Serangan siber lainnya pada 2023 bahkan menghentikan operasi di pelabuhan terbesar di negara itu selama lebih dari 48 jam.
"Pemerintah sekarang mengatakan bahwa serangan siber menghantam Jepang setiap 14 atau 13 detik sekali," kata Motohiro Tsuchiya, seorang profesor di Sekolah Pascasarjana Media dan Tata Kelola Universitas Keio, dikutip dari CNA, Kamis (17/7).
Hampir setiap negara menghadapi ancaman keamanan siber, dan Jepang sendiri rentan diserang karena transformasi digitalnya berjalan lambat. Jepang berada di peringkat ke-31 dalam daya saing digital global tahun lalu, tertinggal dari sebagian besar negara maju.
Kepala teknologi Nihon Cyber Defence Toshio Nawa mengatakan organisasi domestik Jepang "belum cukup bergantung pada teknologi informasi." Alat-alat digital yang mutakhir masih kurang digunakan.
Dalam sebuah laporan pada Januari disebutkan bahwa 77 persen sekolah masih menggunakan mesin faks untuk komunikasi, sementara itu 40 persen orang Jepang dalam survei tahun 2023 mengatakan bahwa mereka juga menggunakannya.
Selain itu, baru bulan lalu pemerintah Jepang menghapus penggunaan disket dalam pengiriman dokumen, 14 tahun setelah disket terakhir diproduksi.
Sistem-sistem jadul yang menopang sebagian besar kehidupan sehari-hari di Jepang mungkin mengejutkan bagi para turis yang tertarik dengan citra futuristik negara ini.
"[Pertama kali] banyak teman saya dari luar negeri mengunjungi Jepang, mereka sangat terkesan," kata Kotaro Tamura, seorang asisten profesor di Lee Kuan Yew School of Public Policy.
Hal-hal baru seperti toilet yang memiliki fungsi otomatis dan memutar musik, sushi dengan ban berjalan serta humanoid di bagian resepsionis perusahaan dan pusat permainan membuat orang merasa seperti orang Jepang hidup di masa depan.
"Kami pandai dalam hal keterampilan, membangun perangkat keras. Namun, kami tidak terlalu baik dalam hal yang tidak bisa kami sentuh," katanya menambahkan.
Alasan ketertinggalan Jepang di halaman berikutnya...