Said Abdullah Dorong Pemerintah Mitigasi Situasi Ekonomi 2025

3 months ago 38

Jakarta, CNN Indonesia --

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah mengingatkan pemerintah untuk menghitung prediksi perekonomian secara realistis, di mana lembaga-lembaga keuangan global memperkirakan ekonomi Indonesia dapat bertumbuh di level sekitar 5 persen lebih, sejalan dengan target pada APBN 2025 sebesar 5,2 persen.

Said mengatakan, dari sisi internal, Indonesia masih berpotensi menghadapi pelemahan konsumsi rumah tangga yang menjadi penopang utama pertumbuhan perekonomian. Penurunan daya beli itu akan berdampak terhadap tingkat permintaan yang rendah.

"Proyeksi bisa saja berubah bila dinamika ekonomi nasional dan global berubah drastis. Untuk itu, mari kita menghitung tantangan ke depan, agar lebih dini mempersiapkan diri, sekaligus membuat langkah yang memberikan lompatan penting bagi perekonomian nasional," kata Said dalam rilis resmi, Kamis (2/1).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tantangan pertama, adalah perang tarif secara global, dengan China yang menghadapi perang ekonomi secara multifront, dan perang tarif antara Amerika Serikat dengan Uni Eropa. Saat ini, Uni Eropa telah memberlakukan bea masuk mobil listrik dari Tiongkok sebesar 43 persen.

AS juga akan memberlakukan tarif masuk ke Meksiko dan Kanada atas barang ekspor untuk meredam imigran dan peredaran narkotika, serta mengenakan tarif ekspor dari negara-negara yang melakukan dedolarisasi, seperti China dan negara-negara BRICS.

Menurut Said, perang tarif akan menajam pada 2025, hingga Indonesia bisa terkena spillover effect, negatif maupun positif. Secara negatif, ketidakpastian bisnis global makin tinggi, biaya ekspor juga berpotensi semakin tinggi.

"Namun bila Indonesia bisa menggantikan produk produk impor yang dibutuhkan kedua negara, maka peluang ekspor Indonesia akan besar. Dengan demikian, pemerintah dan eksportir harus membaca situasi ini sebagai peluang emas ke depan," katanya.

Kedua, penurunan perekonomian China sebagai mitra dagang terbesar Indonesia, sejalan dengan pertumbuhan yang diprediksi Bank Dunia sebesar 4,5 persen pada 2025, lebih rendah dari prediksi pada 2024 sebesar 4,8 persen.

"Jika perekonomian China makin melambat karena produk ekspor globalnya terpukul, maka dampaknya juga akan terasa terhadap produk ekspor Indonesia ke China. Pemerintah perlu menyiapkan mitigasi resiko atas menurunnya perekonomian China, semisal mencari negara lain sebagai pengganti ekspor ke China yang menurun," ujar Said.

Ketiga, perang tarif yang berdampak pada depresiasi USD terhadap rupiah. Said mengingatkan, pada perang tarif China-AS pada 2018, banyak pelaku pasar memilih menggenggam USD yang berisiko lebih rendah ketimbang mata uang lain. Jika situasi ini terulang, maka Indonesia harus bersiap sejak dini untuk memperkuat sistem moneter.

"Saya mengapresiasi Bank Indonesia atas upayanya menggunakan triple intervention di pasar spot, swap, dan DNDF untuk memperkuat rupiah, termasuk penggunaan underlying pembelian USD dan rencana kebijakan debt switch/reprofiling," kata Said.

Said menilai, penguatan USD dapat berlangsung lama apabila perang tarif terjadi berkepanjangan. Dalam situasi ini, Indonesia didorong memanfaatkan diplomasi perdagangan internasional sehingga tata perdagangan dunia lebih adil, tanpa merugikan kepentingan Indonesia.

Sedangkan di dalam negeri, BI, OJK dan pemerintah disebut perlu mengatur devisa hasil ekspor untuk kepentingan nasional dengan lebih ketat. Masih di dalam negeri, Said lalu kembali menyinggung soal penurunan kelas menengah dan konsumsi rumah tangga sebagai tantangan berikutnya, yang dapat menjadi ancaman atas posisi Indonesia sebagai upper middle income country.

Secara langsung, penurunan daya beli akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, Said menyarankan pemerintah untuk mengombinasikan program makan siang bergizi gratis dengan upaya menggerakkan ekonomi UMKM.

"Libatkan para pelaku UMKM dalam rantai pasok makan bergizi gratis. Langkah ini akan berdampak multiplayer ekonomi, sebab sektor UMKM akan menyerap produk produk petani dan peternak. Apalagi sektor UMKM menopang tenaga kerja terbesar di Indonesia," ujar Said.

Tantangan kelima, adalah penyusutan kontribusi industri pengolahan nonmigas terhadap PDB. Hal ini dinilai banyak pihak sebagai deindustrialisasi. Namun, Said tak sepenuhnya setuju.

"Meskipun angka statistik menunjukkan penurunan, namun peluang industri manufaktur kita bangkit sangat besar sekali. Sebab jika industri manufaktur tumbuh, saya berkeyakinan, kelas menengah juga akan tumbuh sejalan dengan program industrialisasi, sebab kelas menengah bisa menjadi tenaga kerja yang adaptif untuk menopang kebutuhan industri," paparnya.

Perluasan program hilirisasi diyakini Said menjadi kunci menjawab tantangan tersebut. Saat ini, hilirisasi baru diterapkan di sektor nikel. Said menyatakan, perluasan hilirisasi bisa dilakukan terhadap bahan tambang selain nikel, seperti perkebunan, pertanian, dan kehutanan, khususnya yang menjadi kebutuhan rantai pasok global.

Terakhir, Indonesia juga dinilai berpeluang menurunkan angka Incremental Output Rasio (ICOR) yang selama dua tahun tertahan di angka 6, tertinggi dibandingkan negara-negara setara. Secara umum, ICOR adalah perbandingan antara pertumbuhan ekonomi dengan investasi yang dibutuhkan untuk mencapai target pertumbuhan.

"Indonesia memiliki peluang menurunkan ICOR jika berhasil membereskan hambatan ekonomi seperti korupsi, dan memberikan pesan yang jelas kepada investor dan pelaku pasar tentang arah kebijakan perekonomian lima tahun ke depan," ujar Said.

Said menambahkan, dengan angka ICOR yang rendah maka daya saing produk ekspor Indonesia bisa bertambah di pasar global. Selain itu, penurunan tingkat korupsi juga bakal memperkuat kepercayaan kepada pemerintah.

Sebelumnya, IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 di level 5,1 persen, dengan Bank Dunia melalui laporannya Indonesia Economic Prospects pada Desember 2024 memperkirakan pertumbuhan ekonomi 5,1 persen. Sedangkan laporan OECD pada November 2024, memperkirakan pertumbuhan ekonomi 5,2 persen.

Untuk angka inflasi rata-rata, Bank Dunia memprediksi di kisaran 2,4 persen, sementara Institute For Development of Economics and Finance (Indef) memperkirakan inflasi di level 2,8 persen, dengan target inflasi APBN 2025 2,5 persen. Adapun IMF pada Oktober 2024 menggambarkan bahwa perjuangan global melawan inflasi akan berhasil, dengan capaian 3,5 persen pada akhir 2025.

(rea/rir)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi