Sains-Riset Era Jokowi: Keluhan Anggaran hingga Eijkman Masuk BRIN

3 weeks ago 10

Jakarta, CNN Indonesia --

Sekitar sebulan sebelum dilantik sebagai presiden meski sudah dinyatakan terpilih dalam Pilpres 2014, Joko Widodo (Jokowi) menghadiri sebuah undangan yang dikirim oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Lebih dari seratus ilmuwan LIPI hadir, semua penasaran dan ingin tahu apa komitmen presiden terpilih ini untuk dunia sains dan riset. Meski selalu jadi sorotan, tak banyak yang tahu seperti apa minat dan atensi mantan Wali Kota Solo dan Gubernur Jakarta itu terhadap kemajuan ilmu pengetahuan Indonesia.

Kepala LIPI saat itu, Lukman Hakim, duduk di sebelah Jokowi dan turut memandu acara. Seperti hampir semua diskusi tentang isu kemajuan riset di Indonesia, pembicaraan akhirnya mengerucut pada isu dana.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi Pak Lukman, anggaran untuk riset ini yang ideal berapa?" Jokowi tiba-tiba bertanya.

Meski nampak sempat kaget, Lukman kemudian menjawab bahwa secara umum acuan dana minimum untuk kemajuan penelitian global dipatok 1 persen dari total PDB (produk domestik bruto) sebuah negara.

Jokowi rupanya tak merasa jawaban ini cukup. Ia bertanya kembali: "Iya, rupiahnya berapa?"

Idealnya, Lukman menjawab, penelitian di Indonesia membutuhkan anggaran sebesar Rp80 triliun. Sementara di bawah administrasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat itu, hanya dianggarkan Rp10,4 triliun.

Giliran Jokowi yang ganti terkejut.

"Jauh sekali, ya. Saya tidak janji sampai Rp80 triliun, enggak janji. Tapi kalau dilipatkan, saya akan usahakan," tambahnya.

Hingga 2018, menurut catatan BRIN, anggaran untuk seluruh pos penelitian dan pengembangan yang tersebar di berbagai kementerian dan lembaga mencapai Rp26 triliun.

Pada tahun 2023, anggaran itu justru turun drastis menjadi Rp14,36 triliun, sudah termasuk penambahan untuk dana abadi penelitian sebesar Rp5 triliun per tahun.

Eijkman dan BRIN dipermasalahkan

Satryo Soemantri Brodjonegoro sempat menjabat sebagai Dirjen Pendidikan Dikti (1999-2007) di bawah pemerintahan tiga presiden sekaligus: Gus Dur, Megawati Sukarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Satryo kemudian juga menjabat sebagai Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), lembaga paling prestisius yang mewadahi saintis terkemuka di Indonesia. Jabatan Ketua AIPI disandangnya hingga tahun 2023, di bawah pemerintahan Presiden Jokowi.

Meski pernah menyempatkan diri bertemu para peneliti LIPI sebelum dilantik, menurut Satryo setelah menjabat Jokowi justru menjaga jarak dengan ilmuwan. Berkali-kali Presiden menolak bertemu AIPI.

"Jokowi enggak mau. (AIPI) Minta ketemu, enggak dikasih," kata Satryo Satryo kepada CNN Indonesia Juli lalu.

Bukan kali ini saja AIPI ditolak bertemu presiden. Sebelunya di era Presiden SBY, AIPI juga ditolak.

"Puluhan tahun mau ketemu presiden enggak dikasih sebagai ketua AIPI itu. Itu aneh. Kalau di Amerika Serikat, Science Academy respected oleh presiden dan sebagainya. Cina apalagi. (Di) Indonesia AIPI nggak penting," katanya.

Komunikasi buntu ini menurut Satryo turut menyumbang pada kebijakan sains yang merugikan pengembangan sains. Para pengambil keputusan beranggapan riset harus berujung pada penciptaan produk dan inovasi baru untuk menjustifikasi turunnya anggaran. Sampai saat ini menurut Satryo Indonesia tak punya riset dasar memadai.

"Hasil riset diharuskan berwujud. Hal ini membuat kita punya riset itu nggak berkembang sama sekali," katanya.

Padahal menurut Satryo, tanpa riset dasar, otomatis riset yang lain juga tidak berjalan.

Akibatnya selama ini riset di Indonesia tidak murni sebuah riset, namun hanya sekadar memperbaharui, meningkatkan atau memodifikasi teori, produk sistem dan sebagainya,.

"Itu yang saya alami," ujar Satryo.

BRIN dibentuk, Eijkman 'hilang'

Sebagian kalangan akademisi kemudian juga mempertanyakan dibentuknya BRIN yang menggabungkan sedikitnya 47 unit litbang di berbagai lembaga pemerintah secara paksa.

Termasuk dalam peleburan itu adalah dipindahkannya Lembaga Penelitian Biomolekuler Eijkman, sebuah laboratorium penelitian biologi molekuler peninggalan Belanda yang sudah berdiri sejak 1888. Eijkman adalah nama penerima hadiah Nobel Kedokteran yang meneliti tentang penyakit beri-beri di Indonesia.

Sempat diakui sebagai salah satu pusat penelitian biomolekuler yang dihormati di Asia, tahun 2021 Eijkman yang semula berada di bawah Kementerian Riset dan Teknologi era Presiden Habibie, ditarik menjadi unit di bawah BRIN. Meski sebagian pegawai dan peneliti tetap berada di bawah Eijkman dengan status aparatur sipil negara (ASN), 113 lainnya keluar.

Laboratorium Eijkman yang semula menempati gedung dalam komplek RS Cipto Mangunkusumo milik Kementerian Kesehatan, dipindahkan ke pusat penelitian BRIN Cibinong.

Semua ini terjadi di tengah upaya Eijkman meneliti vaksin Covid-19.

"Habis sudah, kan? Padahal itu dulu lembaga yang punya reputasi karena (hadiah) Nobel kan dari situ. Dari Eijkman kan ada hadiah Nobel. Dimatikan, dihilangkan bekas-bekasnya. Sampai gitu, kayak dendam kesumat gitu. Dimatikan aja," tambah Satryo.


Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi