Jakarta, CNN Indonesia --
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tiga kali berturut-turut jadi partai pemenang pemilu pada 2014, 2019, dan 2024. Pada Pemilu 2024, PDIP berhasil meraih 25,3 juta suara atau 16,72 persen dari suara sah nasional.
Partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu bahkan mengalahkan Gerindra, yang ketua umumnya, Prabowo Subianto, terpilih jadi presiden.
Namun, raihan itu berbanding terbalik dengan citra positif PDIP di mata publik. Menurut survei Litbang Kompas yang dirilis Kamis (30/1), PDIP menjadi partai politik dengan citra positif paling rendah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
PDIP mencatat citra positif hanya 56,3 persen dengan tingkat kepuasan publik sebesar 53,1 persen. Sebaliknya, partai dengan citra positif paling tinggi di mata publik diduduki Partai Gerindra dengan 88,3 persen dan tingkat kepuasan publik 83 persen.
Direktur Trias Politika Strategis Agung Baskoro menilai ada anomali pada PDIP. Menurut dia, salah satu alasannya karena PDIP sampai saat ini belum tampak punya sikap yang tegas terhadap pemerintahan Prabowo.
"Walaupun tidak di seberang-seberang banget ya. Jadi ya anomali sih akhirnya," kata Agung kepada CNNIndonesia.com, Kamis (30/1).
Agung menganggap ada dua faktor kecenderungan citra PDIP menurun di mata publik. Pertama, PDIP memiliki 'wajah ganda' karena tak punya posisi jelas di pemerintahan saat ini.
"Wajah ganda PDIP akhirnya historis gitu, ataupun bingung dengan posisi PDIP dalam konteks hari ini. Ya, apakah dia di seberang kekuasaan atau di dalam gitu, karena tidak pasti, tidak jelas arahnya mau ke mana," ucap dia.
Agung berpendapat Prabowo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka banyak mengeluarkan kebijakan populis, seperti makan bergizi gratis (MBG) hingga janji menaikkan gaji guru. PDIP tampak belum satu suara menanggapi kebijakan-kebijakan itu.
Ia juga mencontohkan juga rencana kenaikan PPN jadi 12 persen. PDIP ikut mengkritik rencana itu meskipun ikut terlibat dalam pembahasan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Karena itu, Agung berharap PDIP berbenah untuk menentukan sikap politiknya di Kongres PDIP yang rencananya digelar pada April 2025. Ia berpendapat keputusan sikap politik PDIP pada pemerintahan Prabowo dapat membuat publik lebih jelas dalam menilai.
"Jadi saya kira ke depan ya nanti kalau memang kongres, ada kepengurusan yang definitif, bisa ditegaskan posisi PDIP seperti apa. Karena dalam politik kadang enggak bisa hitam dan putih kan," kata dia.
Faktor kedua, lanjut Agung, adalah citra PDIP tergerus lantaran kasus hukum yang menimpa sejumlah kader dan menjadi perhatian publik belakangan ini.
Beberapa kader yang terjerat dugaan korupsi yaitu Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan Harun Masiku yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Kemudian kader PDIP lainnya juga sempat diperiksa KPK, seperti Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan Yasonna Laoly.
Sementara itu, PDIP terus-terusan bersikap defensif atas persoalan ini. Ia menganggap PDIP sudah sepatutnya melangkah maju dan tak perlu berlarut-larut menghadapi kasus hukum para kadernya.
"Jadi di depan panggung akan mendukung penegakan hukum. Tapi di belakang panggung itu malah melawan ya. Jadi itu sedikit banyak memberikan pengaruh ya. Jadi terhadap citra dan persepsi terhadap PDIP gitu," kata Agung.
Efek Jokowi?
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah mengatakan citra positif PDIP yang rendah merupakan buntut konflik yang berlarut-larut dengan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) dan keluarga.
Pada Desember 2024, PDIP mengumumkan Jokowi dan keluarga sudah bukan lagi bagian dari PDIP. PDIP beralasan Jokowi dan keluarga tak mendukung Ganjar Pranowo-Mahfud MD di Pilpres 2024.
"Terkait dengan temuan Kompas, besar kemungkinan itu dipengaruhi oleh pemberitaan konflik PDIP dan Jokowi," kata Dedi.
Dedi menuturkan persepsi citra dari sebuah partai hanya berdurasi pendek saat opini berkembang.
Bahkan, ia menganggap kasus korupsi yang menimpa kader partai seringkali tidak berdampak pada citra negatif partai tersebut. Menurutnya, hal ini dibuktikan dengan kemenangan PDIP di Pemilu 2024 meskipun banyak kadernya yang terjerat kasus korupsi.
"Begitu halnya Golkar, bahkan NasDem, sehingga citra positif dan negatif parpol seringkali tidak linear dengan kerja politik," kata dia.
Dedi mengatakan sudah sepatutnya PDIP berbenah dengan memperbaiki kinerja dan reputasi kader mereka di parlemen. Dengan demikian, partai terus mendapatkan reputasi baik di mata publik.
Juru Bicara PDIP Guntur Romli telah menegaskan bahwa hasil survei Litbang Kompas merupakan masukan bagi partai.
Menurut dia, hasil survei bukan untuk diperdebatkan. Namun, PDIP kata dia akan selalu bekerja untuk masyarakat.
Guntur pun menilai hasil survei Litbang Kompas juga belum tentu benar. Sebab, dalam Survei Indikator, PDIP masih menduduki posisi kedua.
"Jadi prinsipnya bagi kami, dapat pujian tidak melayang, dapat cacian tidak tumbang," kata Guntur saat dihubungi.
(rzr/tsa)