Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi
CNNIndonesia.comJakarta, CNN Indonesia --
"Setiap orang ada masanya, setiap masa ada Daddies-nya."
Jargon menarik yang bisa jadi kesimpulan tentang riwayat panjang karier Mohammad Ahsan dan Hendra Setiawan. Kalimat itu muncul dan wara-wiri di berbagai media sosial dan kolom komentar dalam beberapa tahun terakhir.
Kalimat tersebut bukan hanya sekadar gurauan belaka melainkan pujian dalam balutan dan bentuk yang berbeda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ahsan/Hendra sebagai pasangan sudah bertarung bersama sejak era Cai Yun/Fu Haifeng hingga era Liang Weikeng/Wang Chang. Ahsan/Hendra pernah berduel lawan Lee Yong Dae yang berganti-ganti partner hingga masa saat generasi baru ganda Korea tetap dengan pakem dan keberanian yang sama, yaitu berganti pasangan.
Di jajaran pemain-pemain Indonesia, Ahsan dan Hendra sudah pernah bersaing dengan pemain generasi Candra Wijaya dan bahkan masih mampu kompetitif di generasi Kevin Sanjaya.
Bahkan bila menarik lebih jauh saat era sebelum duet Ahsan dan Hendra terbentuk, keduanya benar-benar sudah berada di panggung dunia jauh lebih lama. Hendra mulai aktif mengikuti turnamen internasional di awal dekade 2000-an dan namanya mulai mencuri perhatian di pertengahan dekade 2000-an. Sedangkan Ahsan mengorbit beberapa tahun setelahnya.
Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan mulai berpasangan pada 2012 dan menorehkan berbagai prestasi sensasional untuk Indonesia. (AFP/TOSHIFUMI KITAMURA)
Karier panjang Ahsan/Hendra terjadi bukan karena mereka sekadar terus bertahan di lapangan. Karier mereka panjang karena mereka mampu tampil kompetitif dan berprestasi di waktu yang lama.
Ketika Ahsan/Hendra memutuskan pensiun, garis batas penegasan mereka adalah mereka tak lagi bisa berprestasi seperti tahun-tahun sebelumnya, sedangkan faktor usia hanya sebagai faktor tambahan. Ahsan/Hendra tanpa ragu menyebut tahun 2024 sebagai tahun yang jelek karena mereka hanya satu kali masuk final.
Tak sampai di situ, kegagalan lolos Olimpiade 2024 juga dianggap mereka sebagai sebuah pertanda bahwa waktu pamit mereka dari dunia badminton sudah dekat.
Ahsan/Hendra akhirnya mengucapkan pensiun dan selamat tinggal pada dunia yang telah membesarkan nama mereka. Saat mereka mengucapkan pensiun, pasangan berjuluk The Daddies ini menegaskan tidak ada penyesalan yang tertinggal.
Salah satu hal yang dianggap kegagalan mereka yaitu tak mampu merebut medali Olimpiade sebagai pasangan, tidaklah membuat mereka berlarut tenggelam dalam penyesalan. Mereka mengaku sudah berjuang maksimal di tiap kesempatan walau hasil yang didapat belum sesuai keinginan.
Olimpiade jadi turnamen yang meleset dari bidikan Ahsan/Hendra. (REUTERS/HAMAD I MOHAMMED)
Seiring dengan pesta perpisahan Ahsan/Hendra yang digelar hari ini, Minggu 26 Januari 2025, dimulailah perubahan konteks cerita tentang Ahsan/Hendra. Cerita tentang Ahsan/Hendra kini bakal mengalir dalam balutan bingkai kenangan.
Aksi-aksi Ahsan/Hendra tidak akan lagi bisa dilihat di masa depan dalam wujud nyata. Daddies bakal hanya bisa beraksi dan mengulang kejayaan-kejayaan mereka lewat video dan rekaman-rekaman pertandingan yang mungkin sebelumnya juga sudah ditonton berulang-ulang oleh banyak orang.
Esok ketika Ahsan/Hendra tak lagi ada di arena, pemain-pemain di generasi berikutnya harus siap menerima fakta bahwa mereka bakal dibandingkan dengan Ahsan/Hendra yang berlabel legenda.
Ahsan/Hendra telah menciptakan standar yang tinggi untuk generasi penerus mereka. Di satu sisi, hal tersebut seperti sebuah tantangan berat yang bakal sulit dilakukan. Namun di sisi lain, Ahsan/Hendra justru telah menunjukkan jalan tentang hal-hal yang selama ini dirasa tidak memungkinkan.
Salah satunya adalah soal karier panjang. Di era sebelum Ahsan/Hendra, bermain di level papan atas hingga usia 40 tahun 37 tahun bisa dibilang jadi hal yang sulit diwujudkan. Terlebih untuk ukuran ganda putra Indonesia dalam tiga dekade terakhir.
Ahsan/Hendra sudah menunjukkan jalan bahwa hal itu sangat mungkin untuk dilakukan. Namun untuk bisa mewujudkan hal itu, Ahsan/Hendra juga menunjukkan bahwa pemain tidak boleh hanya sekadar berpangku tangan.
Kedisiplinan dan komitmen harus ditanamkan. Mulai dari dalam pikiran lalu diubah jadi perilaku keseharian sehingga kata disiplin tak hanya beredar sebagai ucapan.
Motivasi tinggi mutlak dimiliki dan hal ini tidak akan mudah ditampilkan secara konsisten dari hari ke hari. Ujian terbesar menjaga motivasi adalah saat pemain ada di titik terendah atau tertinggi. Di titik terendah, pemain bisa kehilangan kepercayaan diri sedangkan di titik tertinggi, pemain bisa merasakan jenuh dan lupa diri.
Motivasi tinggi itu yang mampu dijaga Ahsan/Hendra sampai akhirnya mereka memutuskan gantung raket. Tak pernah terlintas di bayangan mereka untuk sekadar menjalani tahun-tahun terakhir dalam karier mereka untuk bersenang-senang. Tiap Ahsan/Hendra berdiri di lapangan, itu berarti mereka siap memburu kemenangan.
Ahsan/Hendra telah memberikan contoh baik tentang komitmen, kerja keras, dan kedisiplinan. (Arsip PBSI)
Esok ketika Ahsan/Hendra tak lagi ada di arena, itu berarti hilang satu sosok contoh ideal sebuah mental juara. Dalam karier mereka, tak sedikit momen ketika Ahsan/Hendra bisa jadi pemenang bukan karena kondisi fisik mereka prima melainkan lantaran mental juara selalu mereka pegang.
Momen medali emas Asian Games 2014 saat Ahsan belum sepenuhnya pulih dari cedera pinggang dan momen juara All England 2019 ketika Hendra bermain dengan cedera betis adalah contoh ketika mental juara mereka berbicara di saat tubuh mereka tidak berada dalam kondisi yang benar-benar prima.
Esok ketika Ahsan/Hendra tak lagi ada di arena, pemain-pemain muda harus sepenuhnya siap ketika sorotan langsung tertuju pada mereka. Selama ini, pemain-pemain muda seperti Leo Rolly Carnando, Bagas Maulana, Daniel Marthin, dan Muhammad Shohibul Fikri masih 'terlindung' di bawah bayang-bayang Ahsan/Hendra dan juga Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon.
Ahsan/Hendra dan Kevin/Marcus itu bergantian dan kemudian bersamaan menanggung sorotan utama di periode 2013-2022. Ahsan/Hendra adalah tulang punggung Indonesia di periode 2013-2016 dan kemudian mereka bisa mendampingi Kevin/Marcus sebagai wajah utama ganda putra Indonesia di periode berikutnya.
Menjadi wajah utama nomor ganda putra yang punya tradisi kuat di Indonesia tidaklah mudah. Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto sudah mulai merasakan beratnya jadi tulang punggung utama tim ganda putra Indonesia dalam dua tahun terakhir.
Kini setelah Ahsan/Hendra gantung raket, sorotan akan mengarah pada Leo/Bagas dan Fikri/Daniel dengan makin kuat. Mereka bakal menjelma jadi tokoh utama sepenuhnya dengan beban yang pastinya lebih berat.
Ahsan/Hendra resmi pensiun dari dunia badminton. (ANTARA FOTO/FAUZAN)
Esok ketika Ahsan/Hendra tak lagi ada di arena, segala tantangan besar bakal tersaji bagi pasukan ganda putra Indonesia. Tetapi yang harus diingat, Ahsan/Hendra pergi dengan meninggalkan jejak juara plus warisan-warisan berharga tentang beragam hal yang bisa dicontoh pemain lainnya yang selama ini bercengkerama langsung dengan mereka, baik di dalam maupun di luar lapangan.
Esok ketika Ahsan/Hendra tak lagi ada di arena, teriakan 'AH-SAN-HEN-DRA!' tak akan lagi menggema. Suara-suara teriakan itu tak lagi membahana, baik di Istora maupun di arena-arena lainnya.
(ptr/ptr)