Jakarta, CNN Indonesia --
Pelbagai insiden kecelakaan mengguncang dunia penerbangan dunia belakangan ini. Salah satunya yang mendapatkan sorotan luas adalah pesawat penumpang American Airlines bertabrakan dengan helikopter Black Hawk milik Angkatan Darat AS di dekat Washington, D.C., menewaskan 67 orang di kedua pesawat.
Tragedi di Washington, D.C., merupakan kecelakaan fatal pertama maskapai penerbangan komersial AS dalam hampir 15 tahun
Kemudian sebuah jet medis Learjet 55 jatuh tak lama setelah lepas landas di Philadelphia, menewaskan enam orang di pesawat dan satu orang di darat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian kecelakaan pesawat juga dialami Jeju Air di Bandara Muan, Korea Selatan pada 29 Desember. Kecelakaan Jeju Air 2216 ini menewaskan 179 orang yang terdiri dari seluruh penumpang, pilot, dan beberapa awak kabin. Dua orang yang selamat yakni dua pramugari yang saat kecelakaan duduk di bagian ekor pesawat.
Pengamat penerbangan Alvin Lie mengatakan faktor kelalaian manusia atau human error masih berkontribusi besar terhadap kecelakaan pesawat selama ini.
"Dari statistik yang ada, memang faktor terbesar adalah human error. Human error jadi contributing factor," kata Alvin dalam program Insight with Desi Anwar di CNN Indonesia, Sabtu (8/2).
Alvin mengatakan faktor kelalaian manusia berkontribusi terhadap lebih dari dua per tiga kecelakaan pesawat di dunia ini. Kelalaian ini, lanjutnya, tak cuma terjadi terhadap orang yang berada di dalam pesawat, melainkan yang di luar pesawat juga berkontribusi.
"Technical problem yang disebabkan oleh manusia. Karena tidak hati-hati. Flight attendants, teknisi, atau ATC, penumpang juga," kata dia.
Alvin kemudian mencontohkan teknologi sistem tambahan gerakan khusus (MCAS) dalam Boeing 737 MAX yang belakangan ini menuai sorotan. Anomali pada sistem tersebut dianggap sebagai biang keladi pesawat buatan Boeing yang jatuh seperti Lion Air dan Ethiopian Airlines beberapa tahun terakhir ini
Baginya, kesalahan tersebut ujung-ujungnya adalah faktor human error lantaran pilot masih banyak yang belum mengetahui teknologi tersebut.
"Kalau MAX itu memang ada salah ini dari pabrikannya. Dan MAX itu ceritanya panjang. Tapi menaruh sebuah teknologi yang disebut sebagai MCAS tanpa memberitahukan pilot. Jadi pilot tidak tahu ada teknologi itu. Karena itu kurang well inform," tambahnya.
Di sisi lain, Alvin mengatakan kecelakaan pesawat karena disumbang faktor cuaca dan kejadian turbulensi masih tergolong rendah. Hal itu lantaran, cuaca pada zaman modern saat ini sudah bisa diprediksi dan diinformasikan kepada para pilot.
Bahkan, ia mengatakan sudah ada teknologi radar cuaca di kokpit untuk membantu pilot menghindari cuaca buruk.
"Kalaupun kena turbulence. Turbulence yang ekstrem pun, pesawat itu masih selamat. Masih selamat. Enggak masalah. Asalkan penumpangnya duduk dan pakai seatbelt," kata dia.
Alvin mengatakan faktor cuaca yang paling membahayakan bagi penerbangan adalah ketika terjadinya wind shear dan microburst.
Wind Shear adalah angin yang berubah secara tiba-tiba. Paling berbahaya jika terjadi perubahan 180 derajat. Angin dari arah depan mendadak berubah arah menjadi dari arah belakang mengakibatkan pesawat kehilangan gaya angkat secara tiba-tiba. Sedangkan microbust diakibatkan dari awan comulunimbus (Cb).
Alvin mengatakan dua faktor tersebut terjadi pada jelajah ketinggian rendah atau ketika pesawat baru lepas landas dan mendarat.
"Ketika kita baru take off atau landing, ketinggian belum cukup. Kemudian ada tekanan udara dari atas sehingga pesawat itu turun. Jadi cuaca itu berbahaya ketika kita take off landing. Terjadi microbust dan wind shear itu," kata dia.
(rzr/isn)