Jakarta, CNN Indonesia --
Tarif impor dipakai Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengobarkan perang dagang dengan 60 negara.
Trump mengumumkan penetapan tarif tersebut pada Rabu (2/4) lalu. Indonesia menjadi salah satu korbannya dengan hantaman tarif 32 persen.
Orang nomor satu di AS itu menyebutnya dengan istilah tarif resiprokal alias tarif 'liberation day'. Besaran tarif tinggi ini resmi berlaku mulai 9 April 2025.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dalam banyak kasus, kawan lebih buruk daripada lawan dalam hal perdagangan," kata Trump, dikutip dari Channel News Asia, Rabu (9/4).
"Selama beberapa dekade, negara kita telah dijarah, dirampok, diperkosa, dan dijarah oleh negara-negara dekat dan jauh, baik kawan maupun lawan," jelasnya.
Alasan utama Trump memungut tarif tinggi adalah demi menekan defisit neraca perdagangan AS. Misalnya, perdagangan Amerika dan Indonesia yang tercatat defisit sekitar US$18 miliar.
Dengan mematok tarif impor tinggi untuk produk-produk Indonesia, Trump ingin neraca perdagangannya impas. Besarnya tarif dipastikan membuat barang dari Indonesia tak menarik lagi atau kalah kompetitif dari negara lain.
Upaya Trump juga memaksa negara lain membeli produk-produk AS lebih banyak. Tujuannya lagi-lagi demi menyeimbangkan neraca perdagangan Amerika yang defisit, bahkan bisa sampai membawa Negeri Paman Sam surplus.
AS bahkan malah menuduh Indonesia menetapkan tarif impor 64 persen untuk produk mereka. Gedung Putih mengklaim tarif sebesar itu berasal dari manipulasi mata uang dan hambatan perdagangan lainnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan aksi yang dilakukan Trump bukan berdasarkan ilmu ekonomi. Ia menegaskan tingkah orang nomor satu di AS itu murni urusan transaksional.
"Tarif resiprokal yang disampaikan oleh Amerika terhadap 60 negara menggambarkan cara perhitungan tarif tersebut, yang saya rasa semua ekonom yang sudah belajar ekonomi tidak bisa memahami (dasar perhitungan tarif Trump)," bebernya dalam Sarasehan Ekonomi di Menara Mandiri Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa (8/4).
"Jadi, ini juga sudah tidak berlaku lagi ilmu ekonomi, yang penting pokoknya tarif duluan ... Tidak ada ilmu ekonominya di situ, menutup defisit (perdagangan AS). It's purely transactional. Enggak ada landasan ilmu ekonominya," kritik Sri Mulyani.
Sementara itu, Presiden Prabowo Subianto menyebut Indonesia selama ini Indonesia memang mencatatkan surplus perdagangan dengan AS di kisaran US$17 miliar. Ia menegaskan data tersebut yang membuat Trump memukul Indonesia dengan tarif tinggi.
Prabowo tidak melawan atau melakukan retaliasi selayaknya China yang dibebankan tarif awal 34 persen. Ia memilih jalur diplomasi dan negosiasi untuk merundingkan masalah ini.
Ia menunjuk Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan sejumlah stakeholder lain untuk memimpin negosiasi tersebut. Ada juga perwakilan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, sampai Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang bakal ikut mendampingi.
Ketua DEN Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan delegasi Indonesia akan bertemu sejumlah pejabat Pemerintah AS pada 17 April 2025 mendatang. Pihaknya juga ikut menyiapkan sejumlah strategi untuk negosiasi nanti.
Prabowo pun sudah membocorkan salah satu poin yang akan ditawarkan ke AS. Ia menyebutnya dengan istilah bisnis 'pa po' atau 'pekpok' yang berarti tidak rugi dan tidak untung alias impas.
"Kita bisa bikin 'pa po' (tidak rugi, tidak untung), ada istilah bisnis. Saya tawarkan mereka 'pa po'. US$17 miliar surplus kita, US$17 miliar kita akan beli dari Amerika. Kita bukan negeri miskin!" tegas Prabowo.
"Kita bisa beli (impor) US$17 miliar dari Amerika. Kita butuh LPG US$9 miliar, minyak BBM, kita bisa impor lagi. Kita butuh alat-alat teknologi, rig drilling dari mereka, kita akan membuka 10 ribu sumur lama dengan teknologi baru. Mungkin 3 item-4 item (komoditas) 'pa po'. Kedelai, gandum, kapas, pesawat terbang," imbuhnya.
Di lain sisi, Prabowo memerintahkan para pembantunya untuk mengubah aturan tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Ia menegaskan aturan tersebut yang dipaksakan justru membuat Indonesia semakin tidak kompetitif.
Sementara itu, Kementerian Keuangan juga menawarkan empat menu untuk meringankan beban pengusaha. Ini juga sejalan dengan komplain yang datang dari United States Trade Representative (USTR) alias Kantor Perwakilan Dagang AS.
Pertama, pengurangan beban 2 persen yang berasal dari reformasi administrasi perpajakan dan bea cukai. Kedua, pemangkasan tarif pajak penghasilan (PPh) impor dari 2,5 persen menjadi 0,5 persen atau ekuivalen dengan pengurangan beban 2 persen.
Sedangkan menu ketiga yang disiapkan adalah penyesuaian tarif bea masuk produk impor. Mulanya, pengusaha dibebankan tarif 5 persen-10 persen dan bakal dipangkas menjadi 0 persen sampai 5 persen.
Keempat, Ani juga akan menurunkan tarif bea keluar crude palm oil (CPO) yang ekuivalen dengan pengurangan beban pengusaha sebesar 5 persen. Total empat menu yang ditawarkan Indonesia ini akan mengurangi beban tarif pengusaha sekitar 14 persen dari semula 32 persen.
"Jadi, anything yang bisa mengurangi tarif karena sudah adanya beban tarif (32 persen), selama belum turun dari Amerika, kita akan coba lakukan (pengurangan beban pengusaha)," janji sang Bendahara Negara.
"Jadi, kami akan terus melakukan reform, terutama di bidang pajak, bea cukai, dan prosedur supaya ini betul-betul mengurangi beban. Sesuai dengan penekanan Bapak Presiden (Prabowo Subianto) ini adalah waktu yang tepat untuk deregulasi dan reform yang lebih ambisius," tutupnya.
(skt/agt)