Menyalakan Api Sepak Bola Putri dari Tanah Kudus

6 hours ago 1

Nada suara Katrina Neeltje Hosang (65 tahun) tiba-tiba sendu. Pemain Timnas Putri Indonesia pada 1977 ini diserbu haru saat menceritakan sepak bola putri Indonesia kala itu.

“Waduuuh, dulu itu banyak sekali tantangannya,” kata Katrina mengenang.

“Dulu itu, ibu negara saja, Ibu Tien [Soeharto], tidak menyetujui. Katanya tidak pantas perempuan main bola. Sedih juga kalau ingat masa-masa itu.”

Saya dan katarina berbincang tentang sepak bola perempuan lewat sambungan telepon pada suatu hari di akhir Januari. Hanya berselang beberapa hari setelah penyelenggaraan kompetisi sepak bola putri usia dini MilkLife Soccer Challenge All-Stars yang digelar di Supersoccer Arena, Kudus. Mereka punya api yang sama dengan Katarina: kecintaan pada sepak bola.

Katrina bercerita, ia dan kawan-kawan tak pernah patah arang. Dengan segala stigma dan kontroversi, sepak bola tetap mereka tekuni.

Perlahan tapi pasti, pengakuan dari dunia internasional menghampiri.

Pada 1973, Buana Putri, klub asal Jakarta yang dibina Dewi Wibowo, istri pemilik harian Berita Yudha (Hadi Wibowo), diterima jadi anggota Asian Ladies Football Confederation (ALFC). Keanggotaan ini membuat Indonesia diundang tampil dalam Asian Women Cup II di Taiwan pada 1977.

“Kami itu latihan pagi-pagi sekali. Dari jam lima subuh. Latihannya di Senayan, tapi bukan di lapangan bolanya. Di depan Lapangan ABC dulu itu ada ruang terbuka yang banyak pohonnya. Kami latihan di situ. Sudah biasa kami itu lagi ngejar bola nabrak pohon,” ucapnya terkikih.

Kendati begitu, penampilan srikandi Indonesia tak mengecewakan. Indonesia lolos ke babak semifinal sebagai runner up Grup A. Bahkan mereka mengalahkan Jepang 1-0.

Satu-satunya gol Indonesia dalam laga pada 5 Agustus 1977 itu dilesakkan Tineke Lantang, libero yang juga kapten pertama Timnas Putri Indonesia.

“Waktu itu Tineke yang paling keras. Paling kuat. Paling susah dilewati. Makanya jadi kapten. Tineke ini juga wasit perempuan pertama Indonesia, loh,” ujar Katrina.

Dalam laga semifinal, pada 9 Agustus 1977, Indonesia kalah 1-2 dari Thailand.

Terbentuk Persatuan Wanita Olahraga Seluruh Indonesia (Perwosi).

Perwosi tergabung dalam International Association of Physical Education and Sports for Girl and Women (IAPESGW).

Berdirinya Kesatuan Sepak bola Wanita (KSW) Putri Priangan sebagai klub internal Persib Bandung.

Pertandingan sepak bola putri pertama di Indonesia antara Putri Priangan versus SMOA Bandung di Stadion Siliwangi.

Pertandingan internasional sepak bola putri pertama di Indonesia antara KSW Putri Priangan versus KSW Penang (Malaysia).

Klub Indonesia (Putri Priangan) untuk pertama kalinya ambil bagian dalam ajang internasional, Pesta Sukan Ladies Competitions di Singapura.

Terbentuk Lembaga Sepakbola Wanita (Galanita) di Jakarta.

Buana Putri, klub asal Jakarta, diterima menjadi anggota Asian Ladies Football Confederation.

Berlangsung turnamen sepak bola putri nasional pertama, Soeharto Cup, di Stadion Utama Senayan.

Indonesia ikut turnamen internasional pertama, Asian Women Cup II di Taiwan.

Galanita diakui menjadi Lembaga independen di bawah PSSI.

Berdiri Badan Kerjasama Sepakbola Wanita Indonesia (BKSWI) yang dibina oleh KONI Pusat.

Terlaksana Piala Kartini untuk pertama kalinya.

Terselenggara Piala Invitasi Galanita untuk pertama kalinya dengan nama Piala Ibu Tien Soeharto I.

Komisi Galanita dihapus di dalam kepengurusan PSSI dan menjadi lembaga otonom di bawah PSSI.

Galanita dibubarkan dan diserahkan kembali ke PSSI.

Untuk pertama kalinya dilangsungkan Piala Pertiwi sebagai wadah sepak bola wanita setelah mati suri sejak Reformasi 1998.

Asosiasi Sepak Bola Wanita Indonesia (ASBWI) berdiri dan resmi menjadi anggota PSSI.

Untuk pertama kalinya terlaksana kompetisi Liga 1 Putri.

Momentum kedua sepak bola putri Indonesia terjadi pada 1982, ketika Timnas Putri resmi dinaungi PSSI dan Liga Sepakbola Wanita (Galanita) bergulir. Sayangnya setelah itu Galanita tak menjadi program prioritas PSSI karena kondisi sosial politik Indonesia.

PSSI memang tetap mengirim tim ke Piala AFF (ASEAN) Women Championship sejak diadakan pada 2004, juga SEA Games, tetapi tak pernah lolos babak grup. Pun dengan Piala Pertiwi 2006 yang tak bisa mengatrol geliat sepak bola putri.

Liga 1 Putri yang sempat bergulir pada 2019 pun hanya berlangsung satu musim, karena terintang Covid-19.

Kini asa baru muncul lagi. PSSI di bawah kepemimpinan Erick Thohir mulai serius membentuk Timnas Putri Indonesia dari kelompok umur U-15. PSSI juga berencana menggelar kompetisi sepak bola putri mulai 2026, serta Pertiwi Cup level U-17 dan senior.

Salah satu pihak yang bergairah menyiapkan kolam talenta muda pesepakbola putri adalah Bakti Olahraga Djarum Foundation. President Director Djarum Foundation Victor Rachmat Hartono bertekad membantu PSSI dan klub sepak bola Indonesia.

“Waktu pak Erick Thohir terpilih [menjadi Ketua Umum PSSI], saya bilang, saya akan bantu. Saya akan bantu lewat sepak bola putri,” kata Victor saat kami temui di sela-sela pelaksanaan MilkLife Soccer Challenge All-Stars di Supersoccer Arena.

Erick terpilih menjadi Ketua Umum pada 16 Februari 2023. Berselang tiga bulan, tepatnya pada Juni 2023, MilkLife Soccer edisi perdana digelar Bakti Olahraga Djarum Foundation.

MilkLife Soccer adalah turnamen sepak bola putri kategori usia (KU) U-10 dan U-12 untuk siswi Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Sekolah Dasar (SD). Pada tahap pertama, MilkLife Soccer hanya berlangsung di Kudus.

Victor mengatakan, salah satu gol Bakti Olahraga Djarum Foundation adalah mengiringi kejayaan olahraga Indonesia. Setelah puluhan tahun di bulutangkis, kini mulai membangun pondasi sepak bola putri.

“Kami ini sudah lama menjadi pendukungnya Indonesia lewat kejayaan sports [olahraga]. Kita dari tahun 1969 sudah dukung badminton. Sekarang kita melihat ada satu celah lagi untuk Indonesia bisa mendapat kejayaan sports, di sepak bola putri, di olahraga nomor satunya Indonesia,” kata Victor.

“Ini sepak bola putri adalah tempat kita bisa berkontribusi,” ucap pria kelahiran 11 Februari 1972 ini menegaskan.

Victor menjelaskan, kategori usia U-10 dan U-12 dipilih pada tahap awal sebagai embrio. Menurutnya Bakti Olahraga Djarum Foundation tak bisa langsung dimulai dari kategori U-6, sebab anak-anak butuh role model.

“Nanti di 2025 ini kami akan mulai KU delapan. Kenapa KU U-10 sama U-12 dulu, karena KU delapan sama enam, mesti lihat kakak-kakaknya main dulu.”

“Kami pikir untuk permulaan bagus 10 sama 12 dulu, baru kemudian masuk ke KU delapan sama enam. Kalau di badminton, kenapa Indonesia sampai sekarang kuat? Karena dimulai dari KU enam,” ucap Victor menjelaskan.

Selain menggelar MilkLife Soccer, pada 2025 ini Djarum juga akan bekerja sama dengan PSSI untuk menggelar Hydroplus Pertiwi Cup U-14 dan U-16. Djarum Foundation juga mengajukan diri agar Supersoccer Arena, Kudus menjadi lokasi penyelenggaraan Piala AFF Putri.

Jika merujuk sejarah, sejak kelahirannya pada 1969, sepak bola putri Indonesia selalu musiman. Ada kalanya hidup sehidup hidupnya, tetapi tak jarang mati suri seperti hibernasi.

Situasi inilah yang membuat kiprah Timnas Putri Indonesia dominan mundur.

Direktur Program Bakti Olahraga Djarum Yoppy Rosimin menegaskan, MilkLife Soccer Challenge dipastikan bergulir hingga 10 tahun ke depan. Ini dijamin sebagai bentuk keseriusan.

“Kami ingin memastikan, selama ini kan tidak ada turnamen sepak bola putri yang pasti. Up and down. Kadang muncul, kadang hilang. Sekarang kami ingin memastikan di delapan kota pasti digelar setahun dua kali,” kata Yoppy.

“Itu untuk menjaga komitmen sepak bola putri pasti ada. Di putra kan selalu ada. Nah, di putri kami mulai membina. Harapannya muncul pemain-pemain bintang setelah turnamen ini.”

Yoppy mengisahkan, MilkLife Soccer sengaja diadakan pertama kali di Kudus pada 2023. Ini sebagai proyek percontohan. Dari Kudus sinar sepak bola putri coba dipancarkan.

Setelah edisi pertama hanya di Kudus, meliputi Kabupaten Kudus, Kabupaten Pati, Kabupaten Jepara, dan Kabupaten Rembang, MilkLife Soccer Challenge 2024 dilangsungkan di delapan kota.

Delapan kota yang dipilih itu adalah Kudus, Surabaya, Jakarta, Tangerang, Bandung, Solo, Yogyakarta, dan Semarang – kota-kota yang memang memiliki riwayat panjang dalam sepak bola Indonesia. Dari delapan kota ini lantas dipilih pemain-pemain terbaik untuk tampil dalam MilkLife Soccer Challenge Allstars 2025.

Kegiatan yang berlangsung di Supersoccer Arena pada 24-26 Januari 2025 tersebut juga dipastikan Yoppy akan berlangsung tiap tahun.

Pertandingan antartim dari kumpulan pemain terbaik dari masing-masing kota ini dinilai sangat membantu mentalitas pemain muda. Gairah dan antusiasme juga tumbuh.

Teddy Tjahjono, Program Director MilkLife Soccer Challenge mengatakan, potensi putri-putri Indonesia sangat besar. Karena itu potensi-potensi itu akan coba dikuatkan dengan cara mengirim pemain pilihan dalam turnamen internasional.

“Ini kan ada 120 anak yang ikut di MilkLife Soccer Challenge Allstars 2025 yang merupakan perwakilan dari delapan kota. Dari ini akan diseleksi sejumlah 24 pemain, dari U-12 sebanyak 12 anak dan U-14 sebanyak 12 anak, rencananya akan kita berikan latihan tambahan,” kata Teddy.

“Nantinya mereka akan tergabung dalam tim Milklife Shakers dan akan kita kirim bertanding dalam turnamen JSSL [Junior Soccer Schools and League] sekitar 17-20 April di Singapura,” ucap mantan Direktur Persib Bandung ini.

Yoppy serta Teddy menggaransi, terobosan MilkLife Soccer tak akan berhenti sampai di sini. Seiring berjalan waktu, inovasi dan program baru akan ditelurkan.

Untuk edisi ketiga (2025) misalnya, MilkLife Soccer Challenge akan berlangsung di 10 kota. Penambahan kota ini dilakukan untuk menghidupkan sebanyak-banyaknya talenta.

“Berikutnya [2025] akan kami tambah di dua kota, Bekasi sama Malang. Pertimbangannya dua kota ini juga punya sejarah panjang sepak bola. Malang misalnya, punya Arema,” kata Yoppy.

Timo Scheunemann masih ingat betul bagaimana MilkLife Soccer Challenge dimulai di Kudus pada 2023. Saat pertama kali dibuka pendaftaran, hanya satu pemain yang datang.

“Di Kudus kita mulai dengan Syifa [Asyifa Sholawa]. Saat pendaftaran awal cuma satu orang, Syifa. Sekarang [seri ketiga 2024] ada 2000 anak,” kata Timo yang menjadi salah satu anggota tim pencari bakat di Kudus.

Pemegang lisensi kepelatihan UEFA A Jerman ini mengisahkan, perjuangan untuk mendapatkan siswi yang mau bermain bola sangat tidak mudah. Pasalnya Timo harus meyakinkan sang atlet, orang tua, guru olahraga, kepala sekolah, hingga pemuka agama.

“Itu kendalanya luar biasa di awal, karena banyak sekolah yang diundang enggak mau ikut. Guru-guru olahraga kesulitan mencari pemain,” ujarnya.

“Sepak bola putri ini tantangannya besar. Jadi kami mendekati Dinas Pendidikan, bahkan kami mendekati Dinas Keagamaan. Semuanya kami rangkul. Orang tua, kepala sekolah, guru-guru olahraganya, supaya mau. Itu pendekatan yang luar biasa membutuhkan effort.”

Timo tak pernah patah semangat. Pria 51 tahun ini begitu yakin jalan akan terbuka, sebab Bakti Olahraga Djarum Foundation tak kalah gigih. Niat mereka begitu mengepal.

Bakti Olahraga Djarum Foundation pun tak berpikiran instan. Semuanya dipikirkan dengan masak. Bahkan, soal pemilihan kategori usia ditimbang matang.

“Djarum mengawalinya dengan membangun stadion ini [Supersocer Arena]. Jadi Djarum membangun stadion sebelum menyelenggarakan acara ini. Jadi stadionnya dulu ada baru mereka punya komitmen jangka panjang.”

“Kita sudah memulainya dengan benar,” kata Timo menegaskan.

Kesulitan mencari siswi yang mau bermain bola juga dialami Maya Susmita di Solo. Dara pemegang lisensi C AFC yang juga guru SD ini sampai tak bisa mengirim wakil dari sekolahnya.

Namun, jalan Tuhan selalu tak terduga. Bermula dari ikut coaching clinic bersama Timo yang diadakan Bakti Olahraga Djarum Foundation, Maya ditawari melatih SD lain.

Tak dinyana pula, alumnus pasca sarjana Universitas Negeri Surakarta ini meraih kesuksesan. SD Negeri Tempel yang ia latih menjadi kampiun kategori usia U-12.

Maya mengisahkan, saat mulai aktif di sekolah sepak bola (SSB) Putri Surakarta pada 2015, yang berlatih cuma empat hingga lima orang. Mencari siswi yang mau main bola, begitu sulit.

“Awalnya dari 2015 bikin SSB cewek, namanya Putri Surakarta, sama teman-teman. Awalnya yang ikut tidak banyak, cuma empat sampai lima,” kata Maya.

“Habis itu ada turnamen Bengawan Cup 2015. Nah, dari situ jumlah siswi yang latihan makin banyak. Kalau sekarang sangat berkembang pesat. Di Solo saja awalnya satu SSB, sekarang sudah ada dua. Bibit-bibitnya sekarang sudah banyak.”

Atas sukses itu, Maya dipilih Timo menjadi pelatih Solo Allstars dalam MilkLife Soccer Challenge Allstars 2025. Maya jadi satu-satunya pelatih perempuan di antara pelatih pria.

Tangan dingin Maya membuat Solo meraih posisi runner up. Sempat diragukan pada dua laga awal, tim asuhan Maya membuat kejutan di laga pamungkas grup dan semifinal, meski kemudian kalah 0-1 dari Kudus di partai final.

Bagi Maya, melatih sepak bola putri itu punya tantangan sendiri. Sebagai pemula, Maya kini sudah dapat pengalaman besar tampil di level regional dan nasional. Ia percaya talenta sepak bola putri Indonesia akan terus tumbuh.

“Bu, kok ga ada acara sepak bola cowok yang begini [MilkLife Soccer Challenge],” ucap Maya menirukan pernyataan siswa SD di sekolah tempatnya mengajar.

Cerita Yayat Hidayat lain lagi. Pemegang lisensi A AFC yang sudah malang melintang di belantika sepak bola nasional ini diminta tolong Timo turun ke sepak bola akar rumput putri.

Sebelum menangani Kudus Allstars, Yayat adalah pelatih di PSIS Semarang Development. Jam terbang Yayat di sepak bola putra diharapkan bisa mewarnai sepak bola putri.

Dan, benar saja, tim Kudus Allstars yang diasuh Yayat menjadi kampiun MilkLife Soccer Challenge Allstars 2025. Pada partai final Kudus menang 1-0 atas Solo.Yang menggembirakan, Kudus tampil rancak. Mereka membangun serangan dari bawah, tidak pragmatis; main bola panjang. Meski belum sempurna, strategi main Kudus paling menonjol.

Bagi Yayat, menangani tim sepak bola putri adalah pengalaman baru. Dari sepak bola putri ini ia banyak belajar dan menimba ilmu baru. Pendekatan melatih tim putri pun relatif berbeda.

“Dalam menangani anak-anak perempuan ini banyak sekali yang harus kita gali, karena anak perempuan ini dari nol. Dari nol,” kata Yayat.

“Saya baru enam bulan di sepak bola putri. Tantangannya kita membuat anak-anak selalu happy setiap latihan, selalu datang hadir latihan, karena anak-anak ini punya kegiatan lain. Yang penting mau datang latihan dulu.”

Oleh sebab itu Yayat sangat menyambut gembira gelaran MilkLife Soccer Challenge. Baginya ini adalah salah satu jalan terang untuk sepak bola putri Indonesia.

“MilkLife Soccer Challenge ini sangat luar biasa untuk sepak bola putri Indonesia. Acara ini membuat anak-anak, perempuan khususnya di Indonesia, ikut aktif di sepak bola sehingga nanti kita punya bibit-bibit,” ujar Yayat.

Karena itu, tak berlebihan jika Timo begitu berbunga-bunga saat mengumumkan daftar 24 pemain seleksi MilkLife Soccer Challenge Allstars 2025 yang akan mewakili Indonesia tampil di JSSL Singapura pada April 2025 ini.

Dari awalnya cuma punya satu nama, kini Timo punya ribuan bank data. Dan, ribuan talenta lainnya akan muncul lagi seiring perjalanan waktu.

Locita Waranggani menangis tak karuan usai Surabaya kalah adu penalti dari Kudus pada babak semifinal MilkLifeSoccer Challenge Allstars pada Sabtu, 25 Januari 2025.

Saat diajak ke wawancara selepas laga, siswi SDN Pacarkeling 5 ini masih tampak kesal. Ia terlihat beberapa kali menghempaskan tangan ke bawah.

Namun, air muka Locita mekar merona saat diumumkan sebagai salah satu dari 12 pemain U-12 yang akan tampil di JSSL Singapura. Air mata luruh di wajahnya. Kali ini air mata bahagia. Sang ibu, Mala Damayanti, mengakui sempat gusar saat anaknya mulai aktif bermain bola. Ia tak tega si buah hati yang mungil itu berlatih bola di tengah terik matahari.

“Awalnya sih, sebagai seorang ibu, saya khawatir dan sama sekali tidak mendukung. Saya itu maunya Locita menari. Dulu saya kan penari. Tapi dia ngotot,” kata Mala bercerita.

“Dia pernah kena tendang bola di sini [perutnya]. Saya coba menguatkan, walaupun sakit sebenarnya. Saya pernah tanya, ‘Gimana dek kalau kakinya sakit?’ Dijawab, ‘Gampang diganti saja kakinya.’ Perjuangannya luar biasa. Setiap minggu libur hanya sekali. Dari situ [saya dukung]. Anak ini tekadnya kuat.”

Ada pula gadis mungil yang rela datang jauh-jauh dari Amerika Serikat untuk tampil di MilkLife Soccer Challenge Allstars 2025, Giada Soebianto. Dara 11 tahun ini tampil di MilkLife Soccer dengan status bintang tamu.

Giada baru tiba di Jakarta dari Los Angeles pada Rabu (22/1). Dari Jakarta Giada dan orang tuanya langsung terbang ke Semarang untuk selanjutnya ke Kudus lewat darat.

Meski cuma punya waktu satu hari, Kamis (23/1), sebelum menjalani laga perdana bersama Kudus Allstars, Giada bisa beradaptasi dengan baik. Kondisi jet lag bisa diatasi.

Giada adalah siswi sekolah dasar berusia 11 tahun. Ia lahir di lahir Los Angeles, Amerika Serikat. Ibunya berasal dari California dan ayah dari Indonesia.

Aksi Giada cukup menjadi perhatian di MilkLife Soccer Challenge Allstars 2025. Bukan hanya karena teknik individunya, tetapi juga karena daya juangnya. Giada selalu berlari tanpa lelah, ke kiri ke kanan dan ke depan ke belakang. Etos mainnya luar biasa.

“Saya mulai main bola umur lima atau enam tahun,” kata Giada menceritakan.

“Atmosfer pertandingan di sini [Supersoccer Arena lokasi MilkLife Soccer Challenge Allstars 2025] sangat ramai. Kalau di Amerika, yang hadir menonton biasanya cuma orang tua pemain. Tidak seramai di sini.”

Selepas turnamen ini, Giada kembali ke Los Angeles. Ia baru akan kembali lagi ke Indonesia pada April nanti untuk mengikuti turnamen JSSL di Singapura.

Bagi kapten Timnas Putri Indonesia Shafira Ika Putri, yang hadir pada laga final turnamen pada 26 Januari 2025, ajang ini adalah oase sepak bola putri Indonesia.

Saat diminta memberikan trofi pemain terbaik, Shafira tampak semringah. Seperti ada bahagia bercampur haru di matanya. Dara 21 tahun ini terlihat anggun dengan jersey merah Timnas.

“Aku waktu kecil main bola sama cowok. Belum ada turnamen seperti ini. Mereka beruntung sekarang karena ada turnamen khusus cewek,” ucap Shafira mengingat masa kecilnya.

Sheva Imut Furyzcha, gelandang Timnas Putri Indonesia saat juara Piala AFF 2024, juga senang bukan kepayang dengan kehadiran turnamen sepak bola putri usia dini ini.

Seandainya bisa memutar waktu, kata Sheva berandai-andai, ia ingin jadi anak usia 10 lagi. Ini diucap Sheva karena baru melihat ekosistem sepak bola putri seperti ini. Saat masih belia dulu, Sheva tak pernah tampil dalam turnamen yang isinya perempuan semua.

“Tadi lihat adik-adik, luar biasa ya permainannya. Masih di bawah 12 tahun, tapi permainan mereka sudah terstruktur. Sudah enak dilihat. Beda sama zaman aku dulu,” kata Sheva.

Striker Timnas Putri Indonesia Claudia Scheunemann pun bahagia luar biasa. Di depan anak-anak yang mengantre meminta tanda tangan dan foto bersama, Claudia melihat harapan cerah.

“Clau mau berterima kasih sama Djarum dan MilkLife sudah menyelenggarakan turnamen begini, karena waktu Clau kecil, tidak ada turnamen khusus cewek,” kata Claudia.

“Sekarang bisa melihat turnamen khusus wanita begini luar biasa banget. Dari bakatnya terlihat beberapa pemain yang kualitasnya ada. Clau bangga banget bisa melihat itu. Semoga tidak sampai sini saja, tetapi juga di kategori usia lainnya, 14, 15, 16, dan seterusnya.”

Pelatih Timnas Putri Indonesia Satoru Muchizuki tak kalah bahagia. Pria asal Jepang ini mengaku kian optimistis melihat masa depan sepak bola putri Indonesia.

Jumlah pemain misalnya, meski masih belia, kian banyak. Ini aset masa depan Indonesia.

“Untuk menjadi seorang pemain nasional [Timnas] memang jalannya masih jauh. Masih lama. Namun, akan bagus kalau dimulai dari usia dini. Pada hari ini semua pemain berusaha dengan sekuat tenaga. Itu yang jadi poin penting,” katanya.

Vibrasi suara Victor tenang. Bicara sepak bola, ia menguasai. Menurutnya tak ada jalan instan untuk prestasi. Baginya, prestasi hanya bisa dibangun dari usia dini.

Victor juga tak mau jadi ‘one man show’. Dalam filsafat Victor, prestasi bisa diraih dengan kerja keras kolektif dan sumbangsih banyak pihak.

Dalam waktu dua hingga lima tahun ke depan, Victor percaya diri sepak bola putri Indonesia bisa berprestasi. Meraih gelar dari bawah dinilai penting, sebab kesuksesan ini menular. Kisah sukses selalu bisa menjadi inspirasi generasi berikutnya.

“Golnya, dalam lima tahun ke depan kita [Timnas Putri Indonesia] bisa menang Piala AFF U-16,” kata Victor.

“Terus masuk secara konsisten di Piala Asia untuk U-17. Itu konsisten masuk delapan besar dulu. Terus habis itu kalau bisa masuk top tiga, agar bisa ke World Championship yang U-17. Itu turnamennya setiap tahun di Maroko sampai 2029.”

Agar asa itu tercapai, Victor berkomunikasi dengan banyak pihak. Pelaku sepak bola Indonesia di kasta tertinggi dari mulai Persija, Persib, Persebaya, hingga Bali United, diajak bicara. Mereka dimintai pandangan.

“Saya sudah ketemu pemiliknya Persija, Persebaya, PSIS, Persib, Dewa United, Rans, Persis, PSIM, bla bla bla. Intinya, saya sudah janjian nih, saya ga mau bikin klub, loh.”

“Tapi, 2026 PSSI mau bikin liga putri, nih. Kan, perlu pemain. Saya rencananya untuk memberi opsi, pilihan pemain di daerahnya Anda, sebanyak-banyaknya opsi yang bagus. Anda tinggal pilih 25 pemain misalnya, mewakili klub,” kata Victor.

Ini sepemikiran dengan Ketua Umum PSSI Erick Thohir. Menteri BUMN ini yakin talenta pesepak bola putri Indonesia akan muncul dari banyak turnamen dan liga.

Oleh karena itu Erick mendukung penuh pelaksanaan MilkLife Soccer Challenge. Bagi mantan presiden klub Inter Milan ini, nama Indonesia harus diperjuangkan bersama-sama.

“Saya optimistis, jika kita semua tekun dan saksama mencari bakat-bakat terpendam atlet belia putri di ajang MilkLife Soccer Challenge atau di berbagai sekolah atau klub-klub sepak bola putri yang mulai bermunculan, secara perlahan namun pasti kita akan mendapatkan talenta-talenta terbaik yang bisa lebih berkembang di masa depan,” kata Erick.

“Tak ada jalan yang instan di olaharaga. Saya berharap MilkLife Soccer Challenge Allstars menjadi embrio awal, sekaligus contoh yang akan diikuti banyak pihak dan sponsor dalam membangun sepak bola putri demi terus mengibarkan nama Indonesia.”

Menurut mantan Ketua Umum Asosiasi Sepak Bola Wanita Indonesia (ASBWI) Papat Yunisal, sepak bola putri usia dini adalah keharusan. Sepak bola pembinaan tak bisa ditawar.

Namun, yang tak kalah penting, adalah juga melaksanakan kompetisi. Bagi pemain Timnas Putri Indonesia pada 1982 ini, liga adalah jalan untuk prestasi. Tanpa adanya kompetisi, angan masuk piala dunia cuma pepesan kosong.

“Sepak bola putri ini sangat butuh sokongan dan dukungan. Saat ini kompetisi sepak bola wanita jadi salah satu olahraga yang populer dunia. Kita harus punya agenda yang rutin,” kata Papat.

“Semua stakeholder harus berani mengadakan kompetisi, mulai dari daerah, provinsi untuk meningkatkan level nasional. Kompetisi adalah suatu keharusan. Kalau SSB dan klub ada, tapi kompetisi tidak digulirkan, akan jadi demotivas,” ujarnya.

Jika rancangan ini semua berjalan dengan baik, bukan tidak mungkin era jaya Timnas Putri Indonesia akan terbuka. Keseriusan Bakti Olahraga Djarum Foundation setidaknya memberi secercah harapan itu.

Dan, bisa jadi mimpi Katrina Neeltje Hosang kembali melihat Timnas Putri Indonesia berlaga di kompetisi tertinggi Asia, segera tiba. Katrina meyakini itu.

“Kemarin ada turnamen sepak bola putri U-12 di Kudus,” kata Katrina tanpa ditanya. “Saya bangga.” Suaranya lantas terjeda lima detik. “Saya haru ada acara begitu. Dulu, di zaman saya masih main bola, tidak ada pembinaan begitu.”

“Semoga sepak bola putri Indonesia bisa diperhitungkan lagi,” ucap Katrina.

Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi