Nuklir vs Energi Terbarukan: Mana Lebih Realistis untuk RI?

2 days ago 2

Jakarta, CNN Indonesia --

Koran terkemuka The New York Times (NYT) menyorot fenomena aneh dalam arena COP29, November 2024 lalu. Nuklir yang selama puluhan tahun dicibir sebagai sumber energi berbahaya tiba-tiba sekarang disambut meriah.

"Pada konferensi iklim tahun lalu (2023) di Uni Emirat Arab, 22 negara berjanji untuk pertama kalinya, untuk meningkatkan penggunaan tenaga nuklir sebanyak tiga kali lipat pada pertengahan abad ini untuk membantu menahan pemanasan global. Pada pertemuan puncak tahun ini di Azerbaijan, enam negara lagi menandatangani janji tersebut," demikian bunyi artikel NYT.

Pendeknya, nuklir sedang naik daun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pemicu terbesarnya adalah Invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 yang berujung pada penghentian pasokan gas Rusia ke Eropa. Maklum, Rusia adalah pemasok utama gas alam untuk Eropa.

Negara Eropa Barat seperti Jerman dipaksa memikirkan sumber energi baru yang mendesak dipenuhi secara mandiri.

Padahal bertahun-tahun sebelumnya, Jerman sudah memutuskan mengurangi operasi reaktor nuklirnya dan mengalihkan investasi besar-besaran pada pembangkit bersumber bayu dan solar. Pasokan gas dipakai sebagai fase transisi sebelum energi benar-benar beralih ke sumber terbarukan.

Tidak menunggu lama, Perang Rusia-Ukraina langsung membuat banyak negara memikirkan kembali opsi nuklirnya.

Negara-negara tetangga Jerman seperti Inggris dan Prancis, serta Korea Selatan serta Jepang di Asia segera mengumumkan rencana meningkatkan kapasitas nuklir mereka.

"Tenaga nuklir sedang bangkit kembali," kata Direktur Eksekutif Badan Energi Internasional Fatih Birol di penghujung 2022.

Di sisi lain, sejumlah analis energi dunia juga menilai upaya berbagai negara beralih pada energi terbarukan belum sepenuhnya berhasil sehingga terjadi ancaman kekosongan pasokan listrik yang perlu ditambal dari sumber lain seperti nuklir. Argumen ini disambut dengan cibiran kelompok anti-nuklir yang menilai nuklir mendistraksi dunia dari kebutuhan energi yang jauh lebih aman dan terjangkau untuk semua kalangan.

Nuklir Penumpang gelap

Greenpeace adalah salah satu organisasi yang paling vokal menentang opsi nuklir ini. Direktur Eksekutif Greenpeace Indonesia Leo Simanjuntak kepada CNN Indonesia menuding nuklir sebagai penumpang gelap dalam transisi energi di Indonesia.

"Ini yang pro-nuklir kan riding the wave ya. Bukannya benar-benar melakukan perubahan secara fundamental, transisi energi dengan membangun kapasitas energi terbarukan, malah diarahkan ke situ. Dengan memanfaatkan ketidaksabaran publik melihat dampak krisis iklim yang harusnya diakhiri," tukas Leo.

Kritik terhadap nuklir juga diarahkan oleh lembaga pemikir kebijakan energi IESR. Dalam laporan yang disusun IESR dua tahun lalu, nuklir dibandingkan dengan berbagai sumber energi terbarukan. Hasilnya, menurut Direktur eksekutif IESR Fabby Tumiwa, harganya masih lebih mahal.

"Untuk Indonesia, persoalan nuklir setidaknya ada 3: pembangunannya terlalu mahal, proses terlalu lama, dan potensi mismanajemen di tata kelolanya," kata Fabby.

Faktor biaya dan lama pengerjaan menjadi isu kunci dalam pembangunan PLTN. Menurut kalkulasi World Nuclear Association (WNA), PLTN dengan reaktor skala standar (produksi di atas 1 GW) akan butuh biaya sekitar USD8 miliar.

"Sebenarnya sulit memperkirakan dengan tepat. Semuanya tergantung lokasi, desain, teknologi. Tapi kalau mau dikira-kira misalnya Reaktor Barakah di UEA, 4 reaktor jadi satu lokasi biayanya sekitar USD24 miliar dolar (sekitar Rp130 triliun)," kata Jonathan Webb dari WNA kepada CNN Indonesia.

Ia menambahkan, perlu setidaknya delapan tahun untuk membangun satu reaktor kapasitas standar.

Perhitungan biaya adalah salah satu alasan kenapa kemudian pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak membangun PLTN skala besar. Yang dipilih adalah reaktor modular kecil (SMR) yang rencananya dibangun untuk memenuhi kebutuhan listrik luar Jawa.

SMR diproyeksikan mampu memproduksi sekitar seperempat kemampuan reaktor besar, yakni antara 250 sampai 300 MW.

Biayanya, menurut hitungan PT ThorCon Power yang berminat membangun PLTN pertama Indonesia di Pulau kelasa Propinsi Bangka Belitung, tidak lah murah.

"USD1,2 juta. Sekitar RP17 triliun," kata COO ThorCon Power Bob F Effendi kepada CNN Indonesia.

Pembiayaan ini menurut Bob sepenuhnya akan dicari dari sumber non-APBN. ThorCon juga berani menawarkan harga listriknya sebesar 6,9 sen per kwh, yang diklaim setara dengan harga listrik industri saat ini dari batubara.

"PLTN memberi jaminan kestabilan pasokan energi dalam 60, 70, bahkan 80 tahun Setiap delapan tahun reaktornya diganti, tapi dia sanggup bertahan sampai 80 tahun kalau dirawat dengan benar," tambah Bob.


Read Entire Article
Berita Olahraga Berita Pemerintahan Berita Otomotif Berita International Berita Dunia Entertainment Berita Teknologi Berita Ekonomi