Jakarta, CNN Indonesia --
Sebuah studi baru mengungkap misteri pengawetan mumi Austria yang dikenal dengan nama "air-dried chaplain" atau "pendeta yang dikeringkan dengan udara."
Mumi yang terawetkan dengan baik ini disimpan di ruang bawah tanah gereja di sebuah desa terpencil di pegunungan Alpen. Mumi ini telah lama memicu rumor dan spekulasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut cerita setempat, tubuh mumi tersebut diduga merupakan tubuh seorang pendeta dari abad ke-18 yang meninggal karena penyakit menular. Jasad tersebut ditemukan di sebuah kuburan beberapa tahun setelah kematiannya dan dipindahkan ke ruang bawah tanah di St. Thomas am Blasenstein, sebuah gereja di sebuah desa di sebelah utara Sungai Donau, Austria.
Pengawetan jasad yang dialami mumi ini cukup ajaib karena kulit dan jaringannya masih utuh. Pengawetan jasad ini sejak awal menarik perhatian para peziarah yang mengira bahwa jasad tersebut mungkin memiliki khasiat penyembuhan.
Berabad-abad kemudian, sebuah benda berbentuk kapsul yang terlihat dalam pemindaian sinar-X pada mumi tersebut mengungkapkan bahwa sang pendeta kemungkinan menemui ajal dengan cara yang tidak wajar, yakni diracun.
Kini, sebuah tim ilmuwan menawarkan gagasan baru ke dalam banyak pertanyaan yang belum terjawab seputar mumi misterius tersebut. Pengungkapan ini muncul setelah renovasi baru-baru ini yang dipicu oleh kebocoran air di ruang bawah tanah menciptakan peluang tak terduga untuk melakukan analisis ilmiah terhadap mayat tersebut.
"Kami membawa mumi tersebut selama beberapa bulan untuk diperiksa oleh tim khusus kami, CT scan dan sebagainya. Sementara itu, mereka memiliki waktu untuk merenovasi," kata Andreas Nerlich, pemimpin studi sekaligus profesor kedokteran di Ludwig-Maximilians University of Munich, Jerman, dikutip dari CNN, Selasa (6/5).
"Ini adalah situasi yang saling menguntungkan. Kami mendapatkan mumi itu cukup lama untuk melakukan analisis yang sempurna," tambahnya.
Melalui CT scan, penanggalan radiokarbon, dan analisis kimiawi dari sampel tulang dan jaringan, Nerlich dan rekan-rekannya dapat mengonfirmasi identitas mumi tersebut dan menentukan cara unik bagaimana tubuh tersebut diawetkan selama ini.
Para peneliti melaporkan temuan mereka dalam sebuah makalah yang diterbitkan pada di jurnal Frontiers in Medicine.
Kejutan terbesar dari penelitian ini adalah hasil dari CT scan.
Para ilmuwan menemukan rongga perut dan panggul mumi penuh dengan material seperti serpihan kayu dari pohon cemara, linen, rami, dan kain rami, termasuk beberapa yang disulam dengan halus. Analisis toksikologi tambahan mengungkapkan jejak seng klorida dan elemen lainnya.
"Ini benar-benar tidak terduga karena bagian luar tubuh benar-benar utuh," katanya.
Untuk menjelaskan kontradiksi yang tampak jelas ini, para peneliti berteori bahwa bahan tersebut kemungkinan dimasukkan melalui dubur. Para peneliti juga meyakini campuran bahan itulah yang membuat mumi tersebut tetap dalam kondisi kering di udara.
"Serpihan dan kain itu pasti memiliki (ikatan) air. Seng klorida akan memiliki efek mengeringkan dan mengurangi beban bakteri di usus," kata Nerlich.
Pendekatan pembalseman ini berbeda dengan metode yang lebih umum yang digunakan di Mesir kuno di manaproses membuka tubuh diperlukan. Nerlich menyebut teknik yang terlihat pada pendeta itu juga belum pernah dilaporkan dalam literatur ilmiah sebelumnya.
Dia mengatakan bahwa dia yakin metode ini mungkin telah digunakan secara luas pada abad ke-18 untuk mengawetkan mayat untuk diangkut atau dilihat.
Lebih lanjut, Gino Caspari, seorang arkeolog dan editor "The Book of Mummies: Sebuah Pengantar ke Dunia Orang Mati" mengatakan praktik mumifikasi kemungkinan jauh lebih luas dan beragam di masa lalu.
Caspari menyebut mumi yang diteliti dengan teknik analisis interdisipliner baru memberikan sumber yang lebih kaya untuk mempelajari masa lalu daripada sisa-sisa kerangka.
"Kita bisa mendapatkan banyak pengetahuan dari sisa-sisa mumi: Mulai dari studi tentang penyakit dan perawatan medis hingga penggunaan obat-obatan dan aspek budaya seperti sikap terhadap kematian dan tubuh," kata Caspari, yang tidak terlibat dalam penelitian ini.
(lom/dmi)