Jakarta, CNN Indonesia --
Warsiti, seorang nenek berusia 75 tahun, berhasil mengembangkan usaha olahan tanaman lidah buaya (aloe vera) dari nol sampai berhasil menjualnya ke berbagai daerah di Indonesia.
Warsiti awalnya membuat pupuk organik dari sampah-sampah dapur rumah tangga pada 2006 silam. Ia juga merawat tanaman hias anthurium plowmaniiatau yang dikenal gelombang cinta.
Warsiti lalu mencoba menanam lidah buaya karena memiliki beragam manfaat. Ia tak mengira pupuk organiknya membuat tanaman lidah buaya tumbuh subur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya mulai menanam lidah buaya itu 2007, awalnya iseng-iseng ya, dari lima pot, kemudian saya ajak tetangga juga menanam," kata Warsiti di rumahnya, Jalan Jengki, Kebon Pala, Kecamatan Makassar, Jakarta Timur, Sabtu (21/3).
Warsiti membaca bahwa lidah buaya bisa menjadi obat. Ia pun mencoba mengolah tanaman ini menjadi minuman. Lidah buaya baru bisa dipanen setelah usainya satu tahun.
"Awalnya saya mengolah untuk minuman segar, saya lalu mengembangkan bagaimana membuat lidah buaya biar awet (tahan lama)," ujarnya.
Warsiti fokus mengembangkan olahan lidah buaya dari 2008. Ia pun tergabung dalam Kelompok Wanita Tani. Ia rutin mengikuti pelatihan-pelatihan yang dibuat pihak kecamatan.
Dari sini Warsiti mencoba membuat serbuk lidah buaya. Proses membuatnya membutuhkan waktu lima jam. Ia mengaku tak langsung berhasil membuatnya, beberapa kali gagal.
Setelah melewati beberapa kali percobaan, Warsiti akhirnya menemukan teknik untuk membuat serbuk lidah buaya. Ia mencoba menjualnya dan ternyata ada yang membelinya.
Warsiti lalu mengajak tetangganya untuk terus membudidaya lidah buaya. Ia meyakinkan bahwa lidah buaya ini memiliki nilai ekonomis. Beberapa orang tertarik dan ikut menanamnya.
"Awalnya saya jualan ini di pengajian, di pertemuan organisasi," ujarnya.
Warsiti membutuhkan modal untuk mengembangkan bisnis kecil-kecilannya ini. Ia lalu mengajukan pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KURI) PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BRI).
Ia meminjam Rp5 juta untuk membeli bahan baku dan pengemasan. Usahanya terus berkembang. Di tengah jalan merintis usaha, suaminya meninggal dunia pada 2009.
Warsiti memiliki tiga orang anak. Ia tetap melanjutkan usaha lidah buayanya. Karena menjadi nasabah BRI, Warsiti mengaku kerap diajak dalam acara pameran yang digelar bank BUMN tersebut.
Warsiti juga kerap mengambil uang pensiun suaminya di BRI. Suaminya seorang pensiunan sebuah perusahaan farmasi milik negara.
Warsiti lalu menawarkan produk lidah buayanya ke rekannya yang merupakan agen obat herbal pada 2010. Rekannya itu bersedia untuk mendistribusikan produk lidah buaya tersebut.
Warsiti pertama-tama membuat kemasan serbuk lidah buaya dalam botol berukuran 150 mililiter (ml). Kemudian ada permintaan untuk membuat kemasan 250 ml.
"Dari 5 botol, 10 botol, lama-lama 20, 30, 50 botol sebulan. Sampai sekarang itu, dia yang mengedarkan antarprovinsi," ujarnya.
Warsiti mendapat pasokan lidah buaya dari para tetangganya yang ikut menanam. Ia membelinya dengan harga bervariasi, tergantung kualitas lidah buayanya. Mulai dari Rp3.000 per kg sampai Rp7.000 per kg.
Jenis lidah buaya yang digunakan yakni aloe vera chinensis. Lidah buaya ini banyak dibudidaya di Pontianak, Kalimantan Barat. Berat satu pelepah lidah buaya jenis ini bisa mencapai 1 kilogram (kg).
Kemudian yang kedua jenis lidah buaya barbadensis (Aloe barbadensis Miller). Jenis ini memilik daging tebal dan banyak ditanam di daerah Bogor dan Sukabumi.
Sejumlah produk minuman dari lidah buaya yang dibuat Warsiti (75) di rumahnya, Kecamatan Makassar, Jakarta Timur. (CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan)
Warsiti (75) mengembangkan bisnis olahan dari lidah buaya di rumahnya, Kecamatan Makassar, Jakarta Timur. (CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan)
Membentuk PT perseorangan
Warsiti aktif mengikuti pelatihan-pelatihan dan pameran UMKM yang digagas BRI serta lembaga lain. Ia sempat mengikuti pameran produk di Brunei Darusallam dan Singapura. Ia lalu mendirikan toko bernama FaFa, diambil nama depan kedua cucunya.
Produk lidah buaya Warsiti juga sudah mendapat sertifikasi Halal. Ia lalu mendaftarkan prodaknya ini ke dalam Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada 2015. Masa berlakunya 10 tahun, dan saat ini sedang proses memperpanjang.
Kemudian pada 2020, Warsiti membuat perseroan terbatas (PT) perorangan. Nama perusahaannya PT Ummi Aloevera Indonesia.
Warsiti terus berinovasi dengan lidah buaya ini. Ia juga membuat minuman segar berisi lidah buaya hingga beberapa makanan ringan yang mengandung lidah buaya.
Untuk serbuk instans lidah buaya, Warsiti menjualnya dengan harga Rp30.000. Kemudian sari lidah buaya ukuran 0,5 kg Rp20.000, dan minuman Rp10.000 per botol.
"Penghasilan dari serbuk lidah buaya sekitar Rp20 juta per bulan," katanya.
Warsiti juga sudah mendapat izin edar untuk Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada 2023 lalu. Izin edar ini berlaku 5 tahun. Ia membangun dapur pengolahan yang steril.
Warsiti ingin mewarisi bisnis ini kepada cucu pertamanya. Saat ini sang cucu kerap mendampingi ketika hadir dalam pertemuan UMKM. Bahkan cucunya ini juga pernah mengikuti pameran produk UMKM di Turki pada 2020 lalu.
"Cucu saya ini sudah bilang ke bapaknya, ingin melanjutkan usaha saya ini," ujarnya.
Pemberdayaan BRI
Sementara itu Kepala Departemen Usaha Mikro BRI RO Jakarta 2, Erwin Sapari mengatakan BRI memberikan pembinaan kepada UMKM yang mendapat pinjaman KUR. Pihaknya akan mengadakan pelatihan-pelatihan ke para UMKM.
Erwin menyebut BRI juga memfasilitasi para UMKM untuk ikut dalam pameran.
"Jadi untuk memperluas jaringan pasar mereka juga,dan juga untuk memperkenalkan produk-produk mereka juga," kata Erwin di kantornya, Menara BRIPens, Jakarta, Rabu (19/3).
"Kemudian kami juga pernah memberikan pelatihan-pelatihanseperti untuk pengenalan e-commerce," ujar Erwin menambahkan.
Erwin menyebut bahwa BRI juga berkomitmen memberikan akses yang mudah bagi UMKM mendapatkan modal usaha.
"Sehingga membuat biaya modalnya menjadi lebih terjangkau bagi UMKM," kata Erwin di kantornya, Menara BRIPens, Jakarta, Rabu (19/3).
Menurut Erwin, pelaku usaha yang mengakses KUR BRI di wilayahnya ini sekitar 47 persen dari usaha perdagangan, kemudian 17 persen industri pengolahan, 16 ersen dari jasa.
"Jadi memang segmennya kalau di Jakarta,umumnya memang dari perdagangan," ujarnya.
Erwin menyebut KUR BRI ini menawarkan bunga yang relatif lebih rendah dibanding pinjaman dari yang lain. Untuk KUR Mikro pinjaman Rp10 sampai Rp100 juta, bunganya sekitar 6 persen. Kemudian KUR Kecil yang di atas Rp100 juta sekitar 9 persen.
"Sehubungan dengan suku bunga, lebih rendah dari suku bunga komersial lainnya," katanya.
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI mencatatkan penyaluran KUR sebesar Rp184,98 triliun di sepanjang tahun 2024. Pendistribusian KUR BRI itu menjangkau lebih dari 4 juta debitur atau pelaku UMKM di seluruh wilayah Indonesia.
Komitmen BRI untuk mendorong ekonomi kerakyatan itu terlihat melalui kontribusi sebagai bank penyalur KUR terbesar di Indonesia.
(fra/fra)