Jakarta, CNN Indonesia --
Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menetapkan transisi energi berkelanjutan sebagai salah satu fondasi utama pembangunan nasional.
Sejak awal masa jabatannya, Jokowi konsisten menunjukkan komitmen kuat untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada energi fosil dan beralih ke sumber energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan.
Bahkan, pemerintah menargetkan porsi energi terbarukan mencapai 23 persen dalam bauran energi nasional pada 2025, sebagai bagian dari visi besar menuju netralitas karbon pada tahun 2060.
Untuk mempercepat transisi ini, pemerintah terus mendorong pengembangan proyek energi hijau, seperti tenaga surya, angin, panas bumi (geothermal), dan biomassa, dengan harapan dapat mendorong Indonesia menjadi negara yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Salah satu sumber energi terbarukan yang menjadi fokus utama pemerintahan Jokowi adalah tenaga surya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indonesia, dengan garis khatulistiwa dan iklim tropis, memiliki potensi besar dalam pengembangan energi matahari. Kementerian ESDM juga aktif mempromosikan pemasangan panel surya di gedung-gedung pemerintah, fasilitas umum, dan kawasan perumahan.
Bahkan, pada 2023 pemerintah meluncurkan PLTS Terapung Cirata di Jawa Barat, yang merupakan salah satu proyek panel surya terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 192 MWp (megawatt peak). PLTS ini diresmikan langsung oleh Presiden Jokowi.
"Hari ini merupakan hari yang bersejarah, karena mimpi besar kita untuk membangun pembangkit energi baru terbarukan (EBT) dalam skala besar akhirnya bisa terlaksana. Dan, kita berhasil membangun salah satu pembangkit listrik tenaga surya terapung yang terbesar di Asia Tenggara dan nomor tiga di dunia," ujar Jokowi, pada November 2023.
Presiden mengatakan, pengoperasian PLTS terapung ini dapat terlaksana atas kerja sama Kementerian ESDM, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), serta Masdar dari Uni Emirate Arab.
"Di Cirata ini sudah ada PLTA dengan kapasitas 1.000 MW dan sekarang ditambah dengan PLTS Terapung sebesar 192 MWp. Ke depan, kalau dimaksimalkan bisa menambah kurang lebih 1.000 MWp. Jadi, nanti tenaga airnya bisa untuk energi hijau juga," ujarnya.
Lebih lanjut, Presiden juga mendorong pemanfaatan seluruh potensi energi baru terbarukan (EBT) yang ada di Indonesia. Dengan pemanfaatan teknologi yang ada saat ini, Jokowi menyampaikan optimismenya dapat mengatasi tantangan dalam pengembangan energi baru terbarukan.
"Misalnya, di pembangkit surya ini juga ada pembangkit angin, dalam prosesnya ada tantangan cuaca memang, tapi bisa kita atasi dengan membangun smart grid, sehingga meskipun cuaca berubah-ubah listriknya tetap stabil," ujarnya.
Selain tenaga surya, energi angin juga menjadi bagian penting dalam transisi energi di Indonesia. Salah satu proyek andalan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap di Sulawesi Selatan yang mulai beroperasi pada 2018. PLTB dengan kapasitas 75 MW ini juga diresmikan langsung oleh Jokowi.
Pun demikian dengan sumber daya air yang melimpah di Indonesia juga memberi peluang besar untuk mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Indonesia telah lama memanfaatkan tenaga air sebagai sumber energi, dan saat ini, pemerintah berencana memperluas kapasitas PLTA untuk mendukung transisi energi bersih.
Teknisi memeriksa solar panel pada proyek PLTS Terapung di Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Selasa (26/9/2023). (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/tom.)
Salah satu proyek PLTA terbesar yang sedang dalam tahap pengembangan adalah PLTA Kayan di Kalimantan Utara, yang diproyeksikan memiliki kapasitas mencapai 9.000 MW. Proyek ini akan menjadi salah satu PLTA terbesar di dunia dan memainkan peran kunci dalam transisi energi Indonesia.
Selain PLTA Kayan, pemerintah juga terus mengembangkan pembangkit listrik tenaga air lainnya di seluruh Indonesia, terutama di wilayah Sumatera, Sulawesi, dan Papua yang kaya akan potensi sungai besar. Energi air dianggap sebagai salah satu bentuk energi terbarukan paling stabil dan dapat diandalkan, sehingga menjadi komponen penting dalam bauran energi masa depan.
Tak hanya itu, Jokowi juga mengklaim target nol emisi yang ingin dicapai Indonesia ke depannya mampu berkontribusi lebih jauh bagi dunia. Sebab, Indonesia punya potensi energi lebih dari 3.600 gigawatt.
"Jangan meragukan komitmen Indonesia dalam mencapai net zero emission dan berkontribusi bagi dunia yang lebih jauh," ujar Jokowi dalam sambutannya pada pembukaan Indonesia Sustainability Forum (ISF) di JCC, Senayan, Jakarta, Kamis (5/8).
Di sisi lain, pada kesempatan berbeda Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, memaparkan sampai 2023, pengembangan pembangkit EBT telah mencapai 8.786 megawatt (MW).
Dari total daya tersebut, pembangkit listrik berbasis hidro (PLTA/PLTMH) mencapau 5.777 MW, pembangkit berbasis panas bumi (PLTP) sebesar 2.519 MW, dan sisanya berasal dari surya (PLTS), angin (PLTB) dan biomassa.
"Tantangan di masa depan terkait pemanasan global atau perubahan iklim, termasuk target emisi nol pada tahun 2060, menjadi fokus utama PLN. Berbagai upaya telah dilakukan oleh PLN untuk mencapai target tersebut, termasuk peralihan dari energi berbasis fosil ke energi terbarukan," ujarnya, Selasa (6/8).
Di samping terlibat dalam berbagai proyek pembangkit listrik berkelanjutan yang digagas pemerintah tersebut, ia menambahkan, PLN juga ikut memainkan perannya dalam mendukung agenda pemerintah terkait transisi energi.
Hal ini seiring dengan komitmen perseroan menjadi salah satu aktor utama transisi energi di sektor transportasi dengan pengembangan ekosistem electric vehicle (EV) di tanah air.
Komitmen ini dibuktikan PLN dengan mengoperasikan 1.615 unit Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU), 9.956 Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU) dan 2.182 Stasiun Penukaran Baterai Listrik Umum (SPBKLU) di seluruh Indonesia sampai saat ini.
Kekayaan EBT di RI
Selain PLN, BUMN lain di bidang energi seperti PT Pertamina (Persero) juga turut memainkan peran penting dalam mendukung transisi energi melalui pengembangan energi panas bumi.
Pertamina melalui anak usahanya PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) saat ini mengelola 15 wilayah kerja panas bumi (WKP) dengan kapasitas terpasang 672 MW yang akan dinaikkan menjadi 1 GW dalam beberapa tahun ke depan, dengan total potensi cadangan panas bumi sebesar 3 GW yang siap dikembangkan dari 10 WKP yang dikelola sendiri.
Selain itu, upaya lain yang dilakukan pertamina adalah program pencampuran Bahan Bakar Nabati (BBN) jenis biodiesel berbasis minyak sawit ke dalam minyak Solar. Bahkan program ini sudah berhasil mencampurkan 35% minyak sawit ke dalam minyak solar atau (B35).
Dengan pelaksanaan B35 ini, Indonesia dinilai menjadi negara yang paling konsisten dalam menerapkan energi hijau di dunia. Selain itu, implementasi ini dinilai akan menyumbang penghematan devisa negara dan meningkatkan nilai tambah hilir sawit serta mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 34,9 juta ton CO2.
Sebab, dengan implementasi B30 saja sudah banyak membawa manfaat. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan dengan adanya program B30 tahun lalu, Indonesia bisa menghemat devisa hingga Rp122 triliun. Hal tersebut juga berdampak pada penurunan volume impor.
"Di tahun 2022 saja selama setahun kita berhasil menurunkan karbon emisi 28 juta ton. Selain itu juga mengurangi impor sehingga menghemat devisa sebesar Rp 122 triliun besar sekali dampaknya," ujar Nicke dalam acara Pertamina Research & Innovation Day, Kamis (22/6/2023).
Tidak sampai di situ, melalui Kilang Pertamina Cilacap, perusahaan pelat merah ini juga berhasil memproduksi Sustainable Aviation Fuel (SAF) atau bahan bakar penerbangan berkelanjutan. Bahan bakar alternatif untuk penerbangan komersial ini disebut dapat mengurangi karbon hingga 80%.
Nicke menyampaikan, strategi transisi energi yang dijalankan Pertamina adalah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional dan target NZE 2060 yang dicanangkan pemerintah Indonesia.
"Energi transisi Pertamina bisa mendukung pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus menguatkan peningkatan kemampuan Indonesia dalam menghadapi energi trilema," ujar Nicke.
Terpisah, pengamat Energi Komaidi Notonegoro meminta Pertamina maupun PLN berhati-hati saat bisnisnya beralih ke energi bersih terbarukan (EBT). Pasalnya, pendapatan Pertamina mayoritas masih berasal dari bisnis fosil.
"Kalau dilihat streaming pendapatan Pertamina, EBT saat ini hanya di panas bumi, uap, dan listrik. Kalau dihitung dari 2019-2023 itu hanya 0,7-1,1 persen. Artinya 98-99 persen pendapatan Pertamina masih dari fosil," katanya dalam media briefing.
Sementara untuk PLN, dia juga menuturkan, komposisi bauran energi pembangkit listrik PLNsebesar 61 persen atau mayoritas masih berbasis batu bara sehingga BUMN itu juga harus berhati-hati saat memutuskan pindah ke EBT.
Jokowi pun menilai transisi RI dari batu bara ke energi bersih tidak mudah dan menghadapi sejumlah tantangan.
Dalam acara Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition 2024 di Jakarta Convention Center (JCC) pada Rabu (18/9), Jokowi menyoroti tantangan yang dihadapi negara berkembang dalam transisi menuju energi hijau. Salah satu dilema utama yang dihadapi adalah keterjangkauan harga.
"Kita semua tahu dalam melakukan transisi hijau, ini setiap pemerintahan di negara berkembang, hampir semua di negara berkembang dihadapkan pada dilema mengenai keterjangkauan harga," kata Jokowi.
Meski begitu, ia menegaskan komitmen Indonesia untuk menjadi bagian penting dalam upaya global menuju ekonomi hijau, mengembangkan industri berkelanjutan, dan beralih dari energi fosil ke energi terbarukan.
(asa)